"Ketika dia membawa bola, Anda tidak akan tahu seberapa muda dia. Secara fisik dan mental, dia sangat siap untuk menjadi pemain besar," ujar Antonio Sousa, mantan pemain Timnas Portugal.
Dalam wawancara dengan Benfica TV, ketika ditanya bila dirinya mengidolakan Edgar Davids--mantan pemain Timnas Belanda yang memiliki gaya rambut sepertinya--dia justru menganggap dirinya mirip Clarence Seedorf--rekan Davids.
"Cara memainkan bola dan mengumpan, juga intensitasnya di lapangan, memang mirip Clarence," ujar Pierre van Hoidjonk, mantan pemain Timnas Belanda.
Terlepas dari puji-pujian untuknya, Renato Sanches adalah cerminan sebagian dari kita.
Cerminan dari seorang anak muda yang karena potensi besarnya lantas mendapat kesempatan besar di usia sangat muda. Sayangnya, dia tidak langsung berhasil.
Sempat terpuruk selepas Euro 2016, gagal di Bayern Munchen
Selepas Euro 2016, kagum dengan potensinya, klub kaya Jerman, Bayern Munchen, datang kepadanya. Mengiming-iminginya segepok duit agar mau bergabung. Itu memang peluang besar.
Sanches pun tidak ragu memeluk peluang itu. Dia meninggalkan Benfica. Meninggalkan kampung halamannya. Merantau di negara lain di usia baru 18 tahun.
Bayern dengan segala kebesarannya, memang memesona. Namun, bak anak muda yang langsung bekerja di perusahaan top, ceritanya bakal tidak muda. Meski punya potensi, Sanches merasakan sulit menjadi dirinya sendiri di Bayern.
Di musim pertamanya, dia hanya bermain dalam 17 pertandingan di Bundeslia Jerman. Itupun lebih banyak sebagai pemain cadangan. Tanpa mencetak gol ataupun membuat assist.
Sanches kesulitan mendapatkan menit bermain karena harus bersaing dengan pemain senior yang lebih berpengalaman seperti Arturo Vidal, Xabi Alonso, dan Thiago.