Dia memang tahu betapa bersemangatnya saya ketika berolahraga. Dulu sebelum menikah, saya sering mengajaknya ke lapangan futsal ataupun lapangan bola ketika ada pertandingan. Termasuk bila kebetulan sedang tanding badminton.
Karenanya, dia tahu, ketika futsal, saya bisa bermain penuh sepanjang waktu. Tanpa diganti. Â
Tapi kini, saya menyadari situasinya kini sudah beda. Saya pun dalam berolahraga mulai beradaptasi dengan usia.
Meski masih rutin bermain bulutangkis dan terkadang masih futsal, tetapi intensitasnya tidak seperti saat muda dulu yang ketika sepekan bisa bermain dua kali. Bahkan bermain sepak bola di lapangan besar selama 90 menit pun masih kuat.
Ketika bermain bulutangkis pada Rabu malam, itupun bermain berpasangan (ganda). Tidak kuat bila harus bermain single yang sendirian di lapangan.Â
Memang, dalam sekali jadwal main bulutangkis, semalam bisa bermain dua hingga tiga kali. Tapi tidak pernah memaksakan diri. Tahu mengukur kekuatan badan. Main pertama. Istirahat. Tanding lagi. Istirahat.
Tetapi memang, berolahraga itu tidak boleh berlebihan. Bila memang lelah ya berhenti. Istirahat. Terlebih bagi saya dan bapak-bapak tetangga yang kini berusia 40 tahun-an.
Kalau dulu ketika masih muda, berolahraga itu mudah saja dilakukan. Sekalipun tanpa ada persiapan. Meski seharian sibuk bekerja, malamnya dilanjut dengan futsal ataupun bulutangkis, tidak ada masalah. Yang penting berkeringat. Senang. Bugar.
Sekarang beda. Jangan sampai niatan berolahraga agar badan menjadi lebih bugar, justru yang didapat malah keseleo, masalah otot, apalagi memicu serangan jantung.
Kita harus ingat, di usia yang semakin bertambah, kondisi tubuh berubah. Tubuh mungkin juga mulai mengalami penurunan fungsi. Pun, ketika mengalami cedera saat berolahraga, proses pemulihan tentunya akan berbeda dengan ketika kita masih muda.
Ancaman serangan jantung saat berolahraga juga sewaktu-waktu bisa terjadi. Terlebih, bila berolahraga setelah seharian bekerja.