Justru, dia memainkan Kevin de Bruyne sebagai 'pemain nomor 9' dengan didukung Phil Foden di kiri dan Riyad Mahrez di kanan. Strategi ini sangat berhasil. PSG kebingungan. City menang agregat 4-1 dengan trio KDB-Foden-Mahrez tampil dashyat.
Kokohnya pertahanan yang dijaga Ruben Dias dan John Stone juga menjadi alasan tampilnya City di final. Nama pertama bahkan langsung menjadi pemain penting di musim pertamanya.
Dias, bek asal Portugal yang masih berusia 24 tahun, menjadi jawaban dari pencarian Guardiola yang d musim 2019/20 gagal karena lini pertahanan yang rapuh.
Thomas Tuchel juga mengincar gelar pertamanya
Bagaimana dengan Chelsea?
Ketika menyebut frasa "selalu ada yang pertama dalam sepak bola", bukan berarti saya mendukung Manchester City di final nanti. Sebab, frasa itu juga cocok bagi Chelsea.
Memang, Chelsea sudah pernah dua kali tampil di final. Mereka juga pernah juara di 2012. Namun, tim yang tampil di final kali ini benar-benar baru.
Baru artinya, tidak ada satupun pemain di tim Chelsea sekarang yang menjadi bagian saat juara di tahun 2012 silam. Memang masih ada yang bermain seperti David Luiz ataupun Juan Mata. Tapi, mereka tidak lagi berkostum Chelsea.
Frasa selalu ada yang pertama dalam sepak bola itu juga pas disematkan kepada pelatih Chelsea, Thomas Tuchel. Pelatih asal Jerman ini mengincar gelar pertama Liga Champions setelah musim lalu kalah di final bersama PSG.
Menariknya, di Liga Inggris, Chelsenya Tuchel mampu mengalahkan Manchester City nya Guardiola. Chelsea menang 1-2 di markas City pada awal Mei lalu. Meski, kedua tim tidak tampil dengan starting XI terbaik.
Namun, itu bisa menjadi bukti bahwa Chelsea memang semakin kuat sejak kehadiran Tuchel pada 26 Januari lalu. Sebelumnya, di era Frank Lampard, Chelsea kalah 1-3 dari City di London.