Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Guardiola yang Tak Pernah Kalah dan Tuchel yang Penasaran di Final Eropa

29 Mei 2021   07:52 Diperbarui: 29 Mei 2021   08:07 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pep Guardiola (kanan) dan Thomas Tuchel, akan beradu strategi di final Liga Champions dini hari nanti. Mancehster City atau Chelsea yang juara/Foto: The Telegraph.co.uk

Manchester City atau Chelsea, siapa yang bakal mengangkat piala Liga Champions di akhir final yang digelar di Estadio do Dragao di Portugal, Minggu (30/5) dini hari nanti?

Apakah final ketiga antara dua tim Inggris di Liga Champions ini bakal berakhir dalam waktu normal seperti final 2019 lalu saat Liverpool mengalahkan Tottenham Hotspur 2-0 di Madrid?

Ataukah, pemenang harus ditentukan lewat titik putih alias adu penalti seperti saat Manchester United mengalahkan Chelsea pada final 2008 silam di Moskow?

Ada beberapa kemungkinan yang bisa dimunculkan dari beberapa pertanyaan tersebut. Tapi yang pasti, final nanti akan berujung pada satu frasa "selalu ada yang pertama dalam sepak bola".

Ya, saya percaya, akan selalu ada momen yang pertama di sepak bola. Seperti Manchester City yang di tahun ini akhirnya bisa merasakan final Liga Champions pertamanya.

Sejak menjadi 'tim sultan' usai ditopang kekuatan finansial dari Timur Tengah (Abu Dhabi Group) pada 2008 lalu, City memang sempat susah payah menembus final Eropa. Sebelumnya, mereka paling maksimal hanya mampu sampai semifinal di musim 2015/16 silam.

Pertanyaannya, apakah di kesempatan pertama tampil di final Liga Champions, Manchester City juga bisa langsung mencatatkan namanya di piala bertelinga lebar itu?

Sayangnya, final Liga Champions tidak selalu indah bagi 'tim penasaran' seperti Manchester City yang memburu gelar pertama. Tidak ada jaminan, tim yang pertama kali main di final bisa langsung juara.

Faktanya, dalam dua final terakhir, tim penasaran selalu gagal juara. Paris Saint Germain (PSG) gagal di tahun lalu. Sebelumnya, Tottenham Hotspur juga tak mampu juara saat mencapai final tahun 2019 silam.

Daftar tim penasaran bertambah panjang bila menyebut nama AS Monaco yang kalah di final 2004 dan Bayer Leverkusen di final 2002.

Dari semua itu, tim penasaran yang paling merana di final adalah Valencia.  Pasalnya, tim asal Spanyol berlogo kelelawar ini kalah beruntun di final edidi 2000 dan 2001.

Meski, selalu ada yang pertama di sepak bola. Selalu ada tim yang akhirnya juara di Liga Champions. Borussia Dortmund merasakannya di tahun 1997. Juga Chelsea di 2012 setelah sempat merana di final 2008.

Faktor Guardiola di final

Namun, bila menyebut tim-tim penasaran yang kalah di final itu, Manchester City berbeda. Sebab, mereka dilatih oleh pelatih yang tahu bagaimana menghadapi final Liga Champions.

Ya, pelatih Manchester City, Josep Guardiola i Sala, sudah pernah tiga kali mencicipi final baik sebagai pemain maupun pelatih.

Hebatnya, tiga kali hadir di final, Guardiola selalu juara. Dia juara sebagai pemain saat membawa Barcelona mengalahkan Sampdoria di final 1992. Itu gelar pertama Barcelona.

Lantas, sebagai pelatih, Guardiola lewat filosofi Tika-Taka, sukses membawa Barcelona juara dua kali di final 2009 dan 2011. Dua-duanya mengalahkan Manchester United yang masih dilatih Sir Alex Ferguson.

Faktor Guardiola inilah yang bisa menjadi pembeda bagi Manchester City saat tampil di final nanti. Kejeliannya dalam menerapkan strategi dan kemampuannya memotivasi pemain, bakal krusial bagi Manchester Biru.

Dalam wawancara dengan uefa.com, pelatih berusia 50 tahun ini menyebut dirinya sebagai 'the happiest man in the world' karena bisa kembali tampil di final Liga Champions.

"Ini sebuah kehormatan. Kami akan melakukan yang terbaik. Yang harus kami lakukan adalah bermain dengan cara kami dan mencoba memenangi pertandingan," ujar Guardiola dikutip dari https://www.uefa.com/uefachampionsleague/match/2029498--man-city-vs-chelsea/prematch/preview/.

Di final nanti, sangat mungkin Guardiola akan kembali memainkan strategi "false nine" alias penyerang palsu dalam skema 4-3-3 seperti di laga perempat final dan semifinal.

Ketika mengalahkan PSG di semifinal, Guardiola tidak memainkan penyerang dalam starting XI. Dia menyimpan Sergio Aguero atau Gabriel Jesus.

Justru, dia memainkan Kevin de Bruyne sebagai 'pemain nomor 9' dengan didukung Phil Foden di kiri dan Riyad Mahrez di kanan. Strategi ini sangat berhasil. PSG kebingungan. City menang agregat 4-1 dengan trio KDB-Foden-Mahrez tampil dashyat.

Kokohnya pertahanan yang dijaga Ruben Dias dan John Stone juga menjadi alasan tampilnya City di final. Nama pertama bahkan langsung menjadi pemain penting di musim pertamanya.

Dias, bek asal Portugal yang masih berusia 24 tahun, menjadi jawaban dari pencarian Guardiola yang d musim 2019/20 gagal karena lini pertahanan yang rapuh.

Thomas Tuchel juga mengincar gelar pertamanya

Bagaimana dengan Chelsea?

Ketika menyebut frasa "selalu ada yang pertama dalam sepak bola", bukan berarti saya mendukung Manchester City di final nanti. Sebab, frasa itu juga cocok bagi Chelsea.

Memang, Chelsea sudah pernah dua kali tampil di final. Mereka juga pernah juara di 2012. Namun, tim yang tampil di final kali ini benar-benar baru.

Baru artinya, tidak ada satupun pemain di tim Chelsea sekarang yang menjadi bagian saat juara di tahun 2012 silam. Memang masih ada yang bermain seperti David Luiz ataupun Juan Mata. Tapi, mereka tidak lagi berkostum Chelsea.

Frasa selalu ada yang pertama dalam sepak bola itu juga pas disematkan kepada pelatih Chelsea, Thomas Tuchel. Pelatih asal Jerman ini mengincar gelar pertama Liga Champions setelah musim lalu kalah di final bersama PSG.

Menariknya, di Liga Inggris, Chelsenya Tuchel mampu mengalahkan Manchester City nya Guardiola. Chelsea menang 1-2 di markas City pada awal Mei lalu. Meski, kedua tim tidak tampil dengan starting XI terbaik.

Namun, itu bisa menjadi bukti bahwa Chelsea memang semakin kuat sejak kehadiran Tuchel pada 26 Januari lalu. Sebelumnya, di era Frank Lampard, Chelsea kalah 1-3 dari City di London.

Tuchel datang dengan menerapkan skema main yang cocok bagi Chelsea. Dia biasa memainkan pola 3-4-3 dengan bertumpu pada etos kerja luar biasa N'golo Kante di lini tengah.

Lewat pendekatan dan gayanya yang senang mengobrol, Tuchel juga membuat anak-anak muda seperti Mason Mount (22 tahun), Reece James (21 tahun) dan Christian Pulisic (22 tahun) tampil lebih percaya diri.

"Saya tidak ragu mengakui Manchester City dan Bayern sebagai benchmark di Eropa di musim ini dan musim lalu. Kami mencoba memangkas gap dari mereka. Kabar bagusnya, di sepak bola, Anda bisa menutup glap dalam 90 menit," ujar Tuchel.

Mungkinkah kemenangan Tuchel di Liga Inggris, membuatnya bisa kembali mengalahkan Guardiola di final nanti?

Ah, pertandingan Liga Inggris jelas berbeda dengan final Liga Champions. Tapi yang jelas, Tuchel sudah tahu bagaimana cara mengalahkan Guardiola.

Tinggal bagaimana pasukan muda Tuchel bermain di final. Apakah  bakal bermain 'meledak' ataukah malah 'penyakit' Timo Werner yang kerap menyia-nyiakan peluang kembali berulang.

Bila seperti itu, City nya Guardiola bisa menghukum mereka. Dan, Guardiola akan memperpanjang catatan selalu menang di final. Sekaligus, menyamai pencapaian Ottmar Hitzfeld, Jose Mourinho, dan Carlo Ancelotti yang bisa juara Liga Champions bersama dua tim berbeda. Salam final.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun