Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pro Kontra RUU Cipta Kerja dan Penjelasan Menteri ATR/BPN

27 Agustus 2020   00:11 Diperbarui: 27 Agustus 2020   00:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww)

Hingga kemarin, suara pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja masih terus berlanjut. Sejumlah kelompok buruh turun ke jalan menyampaikan aspirasi terhadap Omnibus Law RUU Ciptaker tersebut.

Dilansir dari Republika, Selasa (25/8/2020) kemarin, kelompok buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dipusatkan di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Ada dua isu yang dibawa dalam aksi ini. Yakni, menolak omnibus law draf pemerintah dan setop Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dampak Covid 19. Sebelumnya, aksi serupa juga terjadi di daerah.

Tentu saja, menyampaikan aspirasi diperbolehkan. Bahkan diatur dalam undang-undang. Namun, di masa pandemi seperti sekarang, menyuarakan aspirasi seharusnya juga mempertimbangkan opsi lain. Bukan hanya melalui demonstrasi.

Semisal opsi melakukan audiensi dengan wakil rakyat dari tingkat pusat hingga provinsi maupun kabupaten/kota. Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Bermasker, membawa hand sanitizer, cuci tangan, serta berupaya menjaga jarak.

Sebab, ketika ada banyak orang berkumpul pada satu tempat yang sama, sangat riskan menjadi tempat penyebaran virus Covid-19. Apalagi, tidak jarang, aksi unjuk rasa itu terjadi di wilayah yang masih berstatus zona merah alias memiliki risiko tinggi penularan Covid-19.

Menyoal demonstrasi di masa pandemi ini, Ketua DPR RI, Puan Maharani menyebut sebaiknya dihindari. Dikutip dari Tirto.id, Puan menyebut aksi demonstrasi bisa menyebabkan kemacetan hingga berpotensi menjadi klaster penyebaran Covid-19.

"DPR RI mengajak kelompok buruh yang memiliki aspirasi untuk berjuang tidak lewat aksi yang berpotensi menimbulkan kemacetan, berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat lainnya, dan berpotensi jadi klaster penyebaran Covid-19," ucap Puan dalam rilisnya, Selasa (25/8/2020) dilansir dari Antara.

Penjelasan Menteri ATR/BPN

Pro dan kontra terhadap Omnibus Law Cipta Kerja memang masih berlanjut. Silahkan menuliskan kata "Omnibus Law Cipta Kerja" di kolom pencarian si mbah Google, sampean (Anda) akan menemukan banyak tautan berita dengan angle berbeda.

Kenapa bisa begitu?

Dalam analisis sederhana, perbedaan pandangan dalam menyikapi sebuah hal, disadari karena banyak faktor. Bisa karena informasi yang diterima oleh masing-masing orang berbeda sehingga opini yang dimunculkan pun berbeda. Bisa pula karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing.

Termasuk pro kontra dalam menyikapi RUU ini. Sangat mungkin, perdebatan itu terjadi karena informasi tidak utuh yang berkembang di masyarakat, sehingga menyebabkan muatan dalam RUU ini diterjemahkan sesuai informasi yang mereka  terima.

Seperti aspirasi yang disuarakan para pegiat buruh. Ada yang menilai bila RUU tersebut dapat menciptakan pemutusan hubungan kerja massal, dan kesulitan ekonomi bagi kelompok pekerja dan Indonesia secara umum.

Berkorelasi dengan hal ini, saya tertarik dengan penjelasan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil saat memberikan penjelasan secara virtual tentang Omnibus Law Cipta Kerja kepada civitas akademika Universitas Sembilan Belas November Kolaka, Selasa (25/8).

Dikutip dari finance.detik.com, Sofyan menilai munculnya penolakan terhadap RUU ini disebabkan karena ketidaktahuan dan kepentingan yang terganggu.

"Ada dua penyebab penolakan (Omnibus Law) RUU cipta kerja ini, yang pertama karena tidak tahu isi RUU ini, dan yang kedua karena kepentingannya terganggu," ujar Sofyan seperti dikutip dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5146911/omnibus-law-cipta-kerja-banyak-ditolak-menteri-atr-ungkap-penyebabnya/1.

Pak Menteri Sofyan rupanya merasa perlu meluruskan informasi yang berkembang perihal RUU ini. Sebab, Kementerian ATR/BPN merupakan salah satu instansi yang terlibat dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini.

Kepada para peserta webinar yang terdiri dari akademisi, pengurus LSM, dan notaris, Pak Menteri Sofyan menyebut bahwa tidak benar bila RUU Cipta Kerja ini pro pengusaha besar. Justru, kata dia, RUU ini diciptakan oleh pemerintah untuk menyederhanakan izin.

"Sehingga yang kecil-kecil bisa membuka usaha dengan mudah, ekonomi dapat bertumbuh. Saya yakin ini sangat bermanfaat, mahasiswa yang lulus akan mudah mendapat pekerjaan, pelaku UMKM akan mudah membuka usaha," tambahnya.

Tentu saja, pandangan berbeda dengan Menteri ART/BPN akan dimunculkan oleh mereka yang berpandangan kontra terhadap RUU ini.

Namun, terlepas dari pro kontra tersebut, DPR RI akan tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut.

Mbak Puan menyebut DPR RI akan melanjutkan pembahasan secara cermat, hati-hati, transparan, terbuka, dan mengutamakan kesinambungan kepentingan nasional.

"Kami mendukung terciptanya lapangan kerja, perbaikan ekonomi, serta tumbuh dan berkembangnya UMKM lewat RUU Cipta Kerja," ujar Mbak Puan.

Pada akhirnya, perdebatan yang muncul di masyarakat terkait RUU Cipta Kerja ini tidak lepas dari informasi yang mereka terima. Utamanya perihal beberapa poin seperti masalah pesangon dan juga tenaga kerja asing (TKA).

Sebenarnya, sebuah hal yang normal ketika muncul perdebatan di masyarakat. Karena memang, dalam sebuah draft, pasti ada yang menilai positif dan menilai sebaliknya. Kalangan pekerja mungkin juga demikian. Tapi memang, dalam urusan apapun yang menaungi banyak orang, rasanya sulit menyenangkan semua orang.

Bila seperti itu, kita mungkin hanya perlu berbaik sangka kepada pemerintah bahwa pemerintah tentu punya niat baik untuk mengatur dan memperbaiki tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia.

Bilapun ternyata muncul penolakan dan perdebatan karena sudut pandang yang berbeda, semua pihak terkait bisa duduk bersama guna mencari solusi dan titik tengah. Salam

Referensi:
tirto.id
detik.com
republika.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun