Gelaran Liga Champions 2019/20 berakhir, Senin (24/8) kemarin. Kita tahu, tim Jerman, Bayern Munchen jadi juara usai menang 1-0 atas Paris Saint Germain (PSG) dari Prancis. Ini gelar keenam Bayern di kompetisi paling elit di Eropa itu.
Berakhirnya gelaran Liga Champions 2019/20 tersebut sekaligus mengakhiri serial begadang para pecinta bola. Sejak 12 Agustus lalu hingga final kemarin, memang banyak pecinta bola yang rela mengurangi waktu tidur atau sengaja bangun pukul 02.00 pagi demi bisa menyaksikan langsung Liga Champions.
Diubahnya format babak perempat final hingga final yang dulunya dikemas home and away (kandang dan tandang) menjadi single match (satu pertandingan) ala turnamen imbas dari pandemi yang belum usai, membuat pecinta bola seperti menikmati Liga Champions "rasa Piala Eropa".
Apalagi, UEFA juga memampatkan jarak waktu pertandingan ke pertandingan lainnya. Tidak seperti dulu yang berjarak dua pekan antara laga perempat final pertama ke yang kedua. Kali ini, empat laga perempat final digelar dalam empat hari. Artinya, selama empat hari beruntun, ada pertandingan perempat final.
Begitu pula pertandingan semifinal yang digelar berurutan pada 18 dan 19 Agustus lalu. Itupun hanya berjarak tiga hari usai perempat final. Termasuk jarak ke final yang hanya tiga hari.
Itu jadwal yang mengasyikkan bagi para pecinta bola yang doyan begadang. Sebab, mereka bisa mengatur jadwal nontonnya. Hari yang berdekatan membuat mereka tidak sampai lupa jadwal karena saking lamanya menunggu seperti dulu.
Nah, selama gelaran babak perempat final hingga final, ada banyak tulisan di Kompasiana yang mengulas keseruan Liga Champions. Bila dihitung, tulisan dengan kata kunci "Liga Champions 2020" jumlahnya mencapai ratusan.
Ada yang rajin menulis ulasan preview, ada yang mengulik review analisis pertandingan, ada pula yang berkisah tentang cerita sisi manusianya pemain dan pelatih, hingga kisah jatuh bangun tim kontestan perempat final Liga Champions.
Begadang dan menulis ulasan bola
Pekan lalu, saya tertarik dengan tulisan Kompasianer Mas Hamdali Anton berjudul "Saya Berhenti Menulis tentang Sepak Bola, Karena...".
Dalam tulisan tersebut, Mas Hamdali menyebut tiga alasan yang membuatnya (sementara) 'berhenti' menulis bola. Yakni karena sudah tidak kuat begadang, pelatih favorit sudah pensiun, dan pemain andalan ada di klub yang tidak diidolakan.
Saya lantas ikut berdiskusi di kolom komentar dengan menyebut bahwa untuk poin 2-3 sudah tidak bisa diusik. Namanya juga selera. Namun, bagaimana untuk poin 1, apakah memang menulis ulasan bola harus begadang?
Mari kita bahas sambil ngopi dan menikmati pisang goreng, eh.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kiranya penting untuk mengetahui bahwa tulisan tentang sepak bola itu ada banyak 'genre nya'. Ada preview ulasan pengantar pertandingan yang menyoroti kondisi terkini tim yang akan tampil yang dibumbui pernyataan pelatih atau pemain.
Ada juga tulisan sosok yang berisi profil pelatih dan pemain tentang kisah mereka sebagai 'manusia biasa'. Termasuk ulasan tentang sejarah klub.
Serta ulasan review yang identik dengan analisis jalannya pertandingan. Semisal mengisahkan bagaimana cerita sebuah tim bisa memenangi laga final, bagaimana strategi pelatih, menit demi menit yang menentukan, dan statistik pertandingan.
Nah, dari tiga jenis tulisan olahraga tersebut, untuk menulis jenis yang terakhir memang perlu begadang. Akan jauh lebih bagus hasil tulisannya bila menonton pertandingannya, termasuk begadang bila pertandingan memang digelar dini hari.
Tentunya begadang yang tidak asal begadang. Sebab, menonton tayangan sepak bola langsung antara mereka yang sekadar nonton dengan mereka yang akan menjadikannya sebagai bahan tulisan, itu jelas berbeda.
Mereka yang sekadar menonton, ya sekadar mengikuti jalannya pertandingan. Selesai ya selesai. Umumnya hanya mengingat gol yang terjadi. Sementara mereka yang menonton sebagai bahan tulisan, sudah langsung 'bekerja' sejak awal pertandingan.
Maksudnya 'bekerja' ini, semisal menengok siapa saja 11 pemain yang dimainkan, bagaimana skema main yang dipakai, ekspresi pelatih dan pemain di bangku cadangan selama laga berlangsung, termasuk mencatat detail kejadian penting dalam pertandingan tersebut.
Seperti skema serangan yang akhirnya berujung gol, peluang terbaik yang gagal, insiden yang menyebabkan penalti, gegeran antar pemain, dan lain sebagainya.
Karena kita niatnya ingin menganalisis hasil pertandingan, itu semua menjadi "bumbu penting" yang bisa dipakai sebagai bahan menulis. Tanpa itu, tulisan review akan hambar. Seperti olahan sayuran yang kurang bumbu.
Tulisan review akan kurang 'nendang' rasanya bila hanya bercerita tentang siapa tim yang menang, siapa yang mencetak gol, dan setelahnya akan seperti apa. Tidak ada ulasan tentang menit demi menit yang terjadi selama pertandingan.
Di Kompasiana, beberapa penulis yang menurut saya ulasan reviewnya detail dan keren ada Mas Arnold Adoe, Pak Hendro Santoso, Mas Deddy Husein Santoso. Juga Mas Gilang Dejan, Mas Muhammad Irfan Prasetyo, Mas David Abdullah, Mas Muksal Mina, dan Mas Yose Rivela.Â
Dulu, ada Mas Yos Mo, Mas Charles Emanuel, Mas Herry Sofyan, dan Mas Achmad Suwefi yang tulisan-tulisan olahraga juga detail, dan memotret angle tidak biasa.
Dulu, ketika jadi jurnalis olahraga, bos di kantor yang juga senang menulis bola, pernah berujar bila wartawan olahraga yang tidak suka menonton langsung pertandingan, berarti kurang mencintai olahraga.
Bahkan, dia berujar, wartawan olahraga itu tidak hanya perlu menonton langsung, tapi juga seharusnya pernah memainkannya. Semisal sepak bola, dia pernah merasakan bagaimana rasanya berpeluh keringat di lapangan. Sehingga, dia bisa paham cara main, paham offside, dan bisa merasakan empati ketika pemain menghadapi situasi sulit di lapangan.
Memang, meski ada banyak tautan berita luar negeri yang me-review pertandingan yang bisa dijadikan sumber tulisan, tetapi rasanya akan berbeda bila bisa melihat sendiri secara langsung (meski melalui layar kaca televisi).
Dengan menonton langsung, bisa tahu detail apa yang terjadi menit demi menit. Sebab, tulisan di sumber berita itu pastinya tidak akan memotret banyak detail yang bisa dipilih untuk jadi bahan tulisan.
Menyiasati menulis review tanpa begadang
Dalam konteks peliputan olahraga, begadang itu mirip dengan ketika wartawan datang langsung ke stadion untuk meliput pertandingan. Apakah itu sepak bola, bola voli, basket atau tenis.
Dengan datang ke stadion dan menyaksikan langsung jalannya pertandingan, maka tulisan yang disajikan jelas akan "lebih hidup". Sebab, mereka akan tahu detail kejadian, bisa mewawancarai pelatih dan pemain seusai pertandingan. Plus, tahu bagaimana situasi di lapangan.
Lalu, bila sudah tidak kuat begadang, apakah tidak bisa menulis ulasan review sepak bola?
Kenapa tidak. Di awal saya sampaikan bahwa begadang itu bukan keharusan, tetapi perlu. Karena tidak harus, bilapun tidak begadang, bukan berarti tidak bisa atau tidak boleh menulis tulisan review.
Ya, tanpa begadang, bukan berarti tulisan sepak bola kehilangan 'cita rasa' nya. Kita masih bisa menghasilkan tulisan bola yang berkualitas bagus dan enak untuk dibaca.
Bukankah kini ada kanal Youtube yang menayangkan cuplikan pertandingan terkini. Sampean (Anda) tinggal mencari tayangan yang tidak hanya menayangkan cuplikan golnya saja. Tapi juga menampilkan peluang-peluang yang tercipta.
Lantas mencari referensi ulasan dari media-media di sana. Baik kutipan pelatih/pemain, ulasan wartawan/pundit di sana, maupun catatan statistiknya. Itu semua bisa menjadi "bumbu" yang tinggal diramu menjadi tulisan gurih.
Pada akhirnya, sebenarnya, apa sih nikmatnya menulis ulasan bola?
Setiap orang pasti punya versi jawaban sendiri-sendiri. Ada yang mungkin merasa senang bisa membagikan tulisan informatif yang bisa dibaca orang lain. Apalagi bila tulisan itu direspons positif.
Ada yang senang bisa menyajikan kisah inspiratif dari lapangan. Karena memang, pemain dan pelatih sejatinya juga 'manusia biasa' seperti kita. Mereka juga bisa punya masalah, jatuh bangun mencapai sukses, dan dinamika hidup seperti yang kita alami.
Ada pula yang menganggap menulis olahraga itu mudah. Ringan. Jadi, tema olahraga bisa menjadi pilihan paling mudah untuk mengawali menulis.
Namun, mudah atau sebaliknya, itu sejatinya bergantung yang menulis apakah memang cinta olahraga atau tidak. Bagi yang tidak punya passion olahraga, menulis olahraga justru bisa terasa berat dan menyiksa.
Saya ingat, dulu ada kawan jurnalis yang terbiasa menulis tulisan kriminal. Karena dia meng-cover wilayah kota yang jauh dari Surabaya, suatu ketika mendapat perintah meliput pertandingan sepak bola.
Yang terjadi, dia mengeluh karena tulisannya terlalu panjang. Kata dia, tidak kunjung selesai menulisnya. Karena tidak punya passion olahraga, rupanya dia kebingungan bagaimana menulis review pertandingan. Termasuk asing dengan istilah di sepak bola. Sehingga semua yang dia lihat di lapangan selama pertandingan, dia tulis.
Kembali ke begadang, seperti kata Bang Haji Rhoma Irama, begadang boleh saja kalau ada perlunya. Nah, begadang menonton pertandingan bola bila demi mendapatkan bahan tulisan, apalagi bila demi pekerjaan, tentu boleh saja hehe
Semoga ulasannya bisa bermanfaat. Salam olahraga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H