Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Anak Muda, Belajarlah Mengambil Peluang "Naik Kelas" dari Timo Werner

10 Juni 2020   13:19 Diperbarui: 10 Juni 2020   13:16 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timo Werner (24 tahun) mengambil kesempatan besar yang datang dalam kariernya. Dia sepakat bergabung dengan klub Inggris, Chelsea. Dia menantang dirinya untuk bermain di klub yang lebih besar. Tentu saja, Werner akan jadi sorotan/Foto: www.chinadailyasia.com/

Dalam beberapa hal, dunia pekerjaan yang kita jalani, mirip dengan lapangan sepak bola. Bahwa, seperti pesepakbola, kita adalah pekerja yang hasil kerja kita dilihat dan dinilai oleh orang lain.

Lantas, ketika hasil pekerjaan dan karakter kepribadian kita dinilai bagus, bukan tidak mungkin akan muncul tawaran kerja yang lebih bagus dari perusahaan yang lebih besar. Perusahaan yang siap menggaji kita dengan gaji lebih besar dari tempat kerja sebelumnya.

Kesempatan besar seperti itu bisa datang menghampiri siapa saja. Termasuk mereka yang masih berusia sangat muda. Pertanyaannya, ketika kesempatan besar seperti itu datang menyapa, apakah kita siap mengambil peluang?

Cerita yang acapkali terjadi, banyak anak muda yang belum siap dan tidak tahu caranya memeluk kesempatan besar itu. Bisa jadi karena kurang percaya diri sebab minim pengalaman. Atau karena dihantui oleh perasaan takut gagal dan kecemasan tingkat tinggi.

Dalam konteks sepak bola, cerita seperti itu juga seringkali terjadi. Bahkan terjadi berulang kali. Ada banyak remaja yang dipuji luar biasa di usia muda. Lalu, mereka mendapatkan peluang yang sebelumnya mungkin hanya ada dalam mimpi tidur mereka.

Dari bermain di klub-klub biasa, lantas bergabung dengan klub-klub top Eropa. Bukankah itu peluang luar biasa besar bagi anak-anak muda berusia belasan tahun?

Namun, itu sejatinya baru permulaan. Sebab, yang menentukan apakah masa depan mereka cerah atau suram, baru dimulai ketika kompetisi berjalan. Dan kita tahu, ada banyak anak muda itu yang pada akhirnya terkenal sesaat. Lantas lenyap.

Sampean (Anda) mungkin pernah mendengar nama-nama seperti Freddy Adu, Royston Drenthe, Bebe, Federico Macheda, hingga Martin Odegaard. Mereka pernah terkenal di usia belia. Tapi lantas tak mampu bertumbuh menjadi bintang. Beberapa masih bermain dan mencoba mendapatkan "kesempatan kedua".

Sepakat ke Chelsea, Timo Werner digaji 3,6 miliar per pekan

Nah, beberapa pekan terakhir, nama anak muda yang banyak disebut-sebut di media adalah Timo Werner. Sempat lama disebut-sebut bakal bergabung dengan Liverpool dan juga diisukan jadi buruan Manchester United, pemain Jerman berusia 24 tahun ini justru merapat ke Chelsea.

Melansir dari media Inggris, Metro.co.uk, menurut laporan di Jerman, Timo Werner memilih bergabung ke Chelsea karena tawaran 'menguntungkan secara finansial' (financially lucrative) yang dibuat Chelsea.  

Chelsea disebut menawari Werner gaji yang lebih besar yang diyakini bernilai sekitar 9,8 juta per tahun. Itu setara dengan sekitar 200.000 per minggu. Bila dikalikan kurs 1 pound kini senilai 18 ribu, maka gaji Werner selama sepekan mencapai 3,6 miliar.

Tawaran gaji itu lebih baik dari tawaran gaji yang dibuat Manchester United. Karenanya, Werner pun memilih Chelsea. Werner akan menjadi pemain Chelsea dengan bayaran tertinggi kedua klub setelah pemain Prancis, N'Golo Kante seperti dikutip dari https://metro.co.uk/2020/06/09/why-timo-werner-chose-chelsea-man-utd-despite-late-offer-ole-gunnar-solskjaer-12827164/?ito=cbshare.

Terlepas akhirnya bergabung di klub mana, Werner jadi contoh nyata pemain muda yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan besar yang datang kepadanya. Pemuda kelahiran Stuttgart, 6 Maret 1996 ini memilih mengambil peluang itu. Dia memilih pergi ke Liga Inggris ketimbang bertahan di Bundesliga Jerman.

Werner mengambil kesempatan 'naik kelas' dalam kariernya

Ya, setelah tujuh tahun bermain di Bundesliga Jerman sejak usia 17 tahun, Werner rupanya sampai pada kesimpulan. Bahwa, sudah waktunya dirinya 'naik kelas' di pekerjaan yang dijalaninya. Dia ingin menantang dirinya sendiri. Tidak terus-menerus berada di 'zona nyaman' Bundesliga.

Memang, RB Leipzig, klub yang diperkuat Timo sejak 2016 lalu, bukan klub kaleng-kaleng. Musim ini, Leipzig tampil di Liga Champions. Leipzig juga ada di papan atas Bundesliga (peringkat tiga).

Tapi, membandingkan Leipzig dengan Chelsea yang pernah juara Liga Champions dan juara Premier League, jelas berbeda. Terlebih, Liga Inggris masih dianggap sebagai yang terbaik.

Toh, selayaknya anak muda yang mendadak promosi jabatan mentereng, pastinya akan muncul pertanyaan. Apakah dia layak menempati jabatan itu? Juga, apakah dia akan sukses?

Pertanyaan yang sama pun juga tertuju pada Werner. Apakah memang dia layak bermain di Chelsea yang punya sejarah memiliki targetman top? Apakah dia akan sukses bermain di Liga Inggris yang dikenal "kejam" terhadap striker?

Bila merujuk pencapaiannya selama tiga musim di Leipzig dengan mencetak 75 gol dalam 123 penampilan, tidak sulit menyebut Werner penyerang haus gol. Musim 2019/20 ini, dia juga sudah mencetak 4 gol dalam 8 penampilan di Liga Champions.

Pun, di level Timnas, sejak mendapat kesempatan membela Timnas senior Jerman mulai 2017 silam, dari 29 penampilan, dia sudah mencetak 11 gol. Dia juga masuk dalam tim Jerman di Piala Dunia 2018, meski tidak mampu mencetak gol.

Toh, dengan semua pengalaman bermain di Bundesliga, Liga Champions, hingga Piala Dunia itu, kita bisa menyebut bahwa Timo Werner memang layak bermain di Chelsea.

Werner adalah generasi baru penyerang nomor 9 di Jerman. Di sepak bola modern, penyerang nomor 9 identik sebagai targetman dan pemain yang kadang terlihat malas bergerak. Tapi, mereka sangat mematikan ketika mendapatkan peluang di kotak penalti.

Postur Werner juga tinggi, 180 meter. Melihat caranya bermain, tidak sulit menyebut Werner adalah penerus tipikal penyerang lawas Jerman seperti Oliver Bierhoff, Miroslav Klose ataupun Mario Gomez.  

Tapi, layak atau tidaknya Werner bermain di Chelsea, tidak bisa hanya dinilai dengan masa lalu di klub lamanya. Kelayakannya berkostum The Blues, baru bisa dilihat dari bagaimana penampilannya di musim 2020/21 mendatang.

Bila dia nanti bisa cepat beradaptasi dengan Liga Inggris dan juga rekan-rekannya, apalagi bisa membuat gol cepat, dia berarti memang pantas 'naik kelas' bermain di klub top.    

Beri kesempatan anak muda membuktikan sebelum memberi penilaian

Ya, selayaknya anak muda yang mendapatkan jabatan tinggi di pekerjaan, tidak seharusnya dia dihakimi ketika belum menjalankan tugasnya.

Beri dia kesempatan untuk memperlihatkan kemampuannya. Beri dia waktu membuktikan diri. Baru beri dia peilaian. Jangan belum apa-apa sudah divonis tidak bisa.

Timo Werner pun begitu. Jangan, belum main, tapi dianggap akan gagal. Apalagi bila membandingkan dengan penyerang legendaris Chelsea seperti Jimmy Floyd Hasselbaink maupun Didier Drogba.

Bilapun membandingkan Werner dan Drogba, yang tepat tentunya bukan ketika Drogba sudah menjadi legend. Tetapi ketika bagaimana dia pertama kali tampil di Liga Inggris.

Bukankah ketika pertama kali datang ke Chelsea pada musim 2004/05 dari klub Prancis, Olympique Marseille, Drogba juga sempat diragukan. Kala itu, Jose Mourinho yang baru melatih di Liga Inggris, lebih memilih Drogba. Meski, Mourinho konon ditawari Ronaldinho--yang kala itu jadi superstar--oleh juragan Chelsea, Roman Abramovich.

Terhadap pilihannya memilih Didier Drogba ketimbang Ronaldinho, Mourinho lantas menyampaikan komentar keren yang terkenal hingga sekarang. "Jangan menilai dia (Drogba) sekarang. Tapi, nilailah dia ketika kelak pensiun di tim ini".

Kita tahu, ucapan Mourinho itu terbukti. Drogba lantas menjadi legenda Chelsea. Dia membawa Chelsea tiga kali juara Liga Inggris. Dan yang paling fenomenal, dia menjadi pahlawan Chelsea saat menjadi juara Liga Champions 2012 silam.

Ya, bila ada anak muda yang mendapatkan kesempatan naik kelas dalam kariernya, semisal dipromosikan naik jabatan di pekerjaannya, tidak seharusnya langsung dinyinyirin. Apalagi langsung memvonis dia tidak akan bisa bekerja.

Beri dia kesempatan untuk membuktikan kemampuannya bekerja di posisi yang baru. Toh, dia dipromosikan tentu bukan tanpa sebab. Tapi karena memang dia punya potensi. Setelah dia bekerja, silahkan beri penilaian.  

Sebab, bila belum apa-apa kita lantas memberikan penilaian, boleh jadi itu sekadar bentuk iri karena pencapaian yang dia dapat. Bila hanya menjadi tukang nyinyir, kelak sampean akan tersiksa batin ketika anak muda yang diragukan itu ternyata berhasil. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun