Korupsi, dalam konteks modern, adalah salah satu masalah sosial dan politik yang menggerogoti struktur pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Secara sederhana, korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk keuntungan pribadi, dengan mengorbankan kepentingan publik. Korupsi bukan hanya merugikan negara dalam hal keuangan, tetapi juga merusak moralitas masyarakat, menurunkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara, serta menciptakan ketimpangan sosial yang lebih dalam. Di Indonesia, fenomena korupsi telah menjadi masalah yang sangat mendalam dan struktural, yang sudah terjadi selama berdekade-dekade. Meskipun berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, baik melalui penegakan hukum, pembentukan lembaga antikorupsi, dan pengawasan yang lebih ketat, praktik korupsi masih sulit diberantas secara tuntas.
Salah satu pendekatan yang jarang diperhatikan namun relevan adalah filosofi kebatinan yang diajarkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh spiritual yang terkenal dengan gagasan-gagasannya mengenai konsep kebatinan serta pemahamanan diri yang dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan karakter pemimpin yang bijaksana dan dapat memimpin dirinya sendiri.
Di tengah tantangan dunia modern yang dipenuhi dengan praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, ajaran Ki Ageng Suryomentaram dapat memberikan arah yang jelas tentang bagaimana seseorang dapat memimpin dirinya dengan bijak, jujur, dan penuh tanggung jawab. Kebatinan dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa setiap individu harus memulai transformasi dari dalam dirinya terlebih dahulu. Artinya, untuk bisa mengubah dunia di sekitar kita, kita harus mampu mengubah diri kita sendiri. Ini adalah prinsip dasar dalam pencegahan korupsi. Korupsi sering kali lahir dari ketidakseimbangan batin seseorang, ketidakpuasan terhadap hidup, dan keinginan untuk memiliki lebih dari yang seharusnya.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga menyentuh aspek penting dalam kepemimpinan. Dalam konteks transformasi memimpin diri, yang menjadi inti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram, mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang sejati adalah mereka yang mampu mengendalikan diri, menjaga kesederhanaan, dan tidak tergoda oleh kuasa atau materi. Pemimpin yang memiliki kebatinan yang kuat akan lebih mampu bertindak adil, bijaksana, dan penuh empati terhadap orang lain. Dalam konteks ini, ajaran Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya relevan untuk pencegahan korupsi, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan kepemimpinan yang sehat, di mana nilai-nilai kejujuran dan integritas menjadi prinsip dasar dalam setiap pengambilan keputusan.
Latar Belakang Ki Ageng Suryomentaram
Lahir di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 20 Mei tahun 1892, Ki Ageng Suryomentaram merupakan seorang filsuf hidup dari Jawa yang ajaran-ajarannya tak terlepas dari sisi-sisi kejiwaan atau kebatinan dan etika. Ia merupakan putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan ibunya, Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo yang merupakan istri dari golongan kedua (garwo ampeyan) Sultan dan putri dari Patih Danurejo VI. Memiliki nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmaji. Ia belajar dan tumbuh besar dalam lingkungan kraton bersama saudara-saudaranya hingga pada tahun 1910, ketika berusia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Kehidupan kraton yang sesak dan penuh kesenjangan memberikan rasa hampa, kecewa dan tidak tentram dalam diri Suryomentaram. Perasaan-perasaan ini yang akhirnya membuat Suryomentaram sering keluar kraton dan pergi ke tempat-tempat seperti gua Langse, pantai Parangtritis, dan makam-makam keramat yang menurutnya mampu mendatangakan ketenangan. Bersama dengan Prawirowiworo, Suryomentaram pergi menemui pemimpin agama untuk belajar hakikat agama dan pengalaman mistik. Setelahnya, Suryomentaram semakin meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menghambat kebahagiaan.
Pada akhirnya Suryomentaram meninggalkan kraton setelah membagikan semua harta kekayaan pribadinya secara cuma-cuma. Dengan memakai pakaian layaknya pedagang, Suryomentaram yang menggunakan nama samaran Notodongso, pergi ke Cilacap untuk berjualan batik. Pada usia 20 tahun, Suryomentaram kembali ke kraton, setelah berhasil ditemukan dan dibujuk oleh para utusan Sultan Hamengku Buwono VII. Kemudian Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan kraton, setelah Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan menjadi raja dan hidup sebagai petani di desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah. Disana Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dan pendidik dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia. Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah "Aja Dumeh" yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan hidupnya dalam menemukan rahasia kebatinan dan pemahaman diri (pangawikan pribadi) berdasarkan pengalaman pribadinya. Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram berfokus pada keseimbangan batin dan keselarasan antara diri dengan dunia yang melingkupinya. Dalam setiap pengajarannya, Ki Ageng Suryomentaram yang biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas yakni dengan duduk lesehan.
Ki Ageng Suryomentaram dikenal sebagai penulis, penceramah serta pendidik yang aktif. Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan, bahkan ketika sedang dirawat  di rumah sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Ki Ageng Suryomentaram masih bisa menemukan jawah kawruh, yaitu bahwa puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri. Kemudian, pada tanggal 18 Maret 1962, hari Minggu Pon, pukul 16.45, Ki Ageng Suryomentaram meninggal dunia dirumahnya di Jl. Rotowijayan No. 24, Yogyakarta. Ki Ageng Suryomentaram dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Ki Ageng Suryomentaram banyak menghasilkan penemuan-penemuan pemikiran berdasarkan pengalamannya yang dituangkan dalam bentuk buku-buku, karangan dan ceramah. Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain, Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa?.