Korupsi telah menjadi istilah yang umum didengar oleh masyarakat Indonesia. Terlebih dengan maraknya pejabat publik yang terlibat dalam tindak korupsi, membuat masyarakat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap penegak hukum maupun pemerintah. Hal ini tentu dapat mengakibatkan dampak negatif yang berkepanjangan bagi berbagai pihak.
Apa itu Korupsi?
Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya (Azhar, 2003: 28). Adapun kata “corruptio” berasal dari kata suatu bahasa Latin yang lebih tua yaitu “corrumpere”, yang memiliki arti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Nair, 2006: 281-282). Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” dalam bahasa Inggris, “corruption” dalam bahasa Perancis, “corruptie/korruptie” dalam bahasa Belanda. Dengan demikian kata korupsi secara harfiah memiliki arti kebusukan, kebejatan, keburukan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Dalam Black Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK, Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya. Sejalan dengan Black Law Dictionary, World Bank pada tahun 2000 mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah korupsi dapat didefinisikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa korupsi merupakan perilaku yang melanggar hukum, norma, atau etika untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah, baik berupa uang, barang, jasa, atau manfaat lainnya.
Mengapa Korupsi dapat terjadi?
Korupsi selalu menjadi masalah yang menimbulkan polemik dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Terlebih menurunnya tingkat Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2024 sebesar 3,85 yang menurun dari capaian IPAK tahun 2023 sebesar 3,92. Tingginya tindak korupsi dan upaya pemberantasan korupsi yang tidak optimal serta lemahnya hukum terhadap pelaku korupsi, menjadi salah satu alasan menurunnya perilaku anti korupsi dalam masyarakat umum dan menyebabkan masyarakat yang bersikap permisif. Menurut Robert Klitgard dalam bukunya yang berjudul Controlling Corruption, maraknya tindakan korupsi dapat diakibatkan oleh para pembuat kebijakan dan politisi negara itu sendiri yang tidak ingin mengatasi tindakan korupsi. Mereka dapat menggunakan kegiatan-kegiatan tidak halal untuk mempertahankan status quo kekuasaan, meskipun dengan mengorbankan pembangunan bangsanya. Selain itu, korupsi mempunyai segi-segi menguntungkan bagi yang berkuasa, bukan saja sebagai sarana untuk menggembungkan kantong tetapi juga sebagai bagi penyelesaian politik, membina jalinan relasi, dan bahkan partisipasi politik. Bahkan adakalanya korupsi dapat memperbaiki efisiensi ekonomi atau organisasi. Bahwa korupsi sekurang-kurangnya menguntungkan beberapa orang yang duduk dalam kekuasaan, membuatnya menjadi suatu masalah yang sulit diatasi.
Dalam buku yang sama Robert Klitgaard juga mengemukakan teori CDMA (Corruption = Monopoly + Discretion-Accountability) sebagai tiga elemen utama penyebab terjadinya korupsi. Robert Klitgaard berpendapat bahwa tindak korupsi dapat terjadi ketika kekuasaan diskresioner dan monopoli tidak diimbangi dengan akuntabilitas yang kuat. Adapun tiga elemen utama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Monopoly
Monopoli (monopoly) terjadi ketika suatu entitas atau individu memiliki kendali eksklusif atas sumber daya, pasar, atau keputusan. Ketika monopoli tinggi, risiko korupsi meningkat karena tidak ada persaingan atau alternatif bagi pihak-pihak yang terkena dampak.
2. Discreation
Diskresi (discreation) adalah tingkat kebebasan atau kewenangan yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk membuat keputusan tanpa batasan yang jelas. Semakin besar diskresi tanpa pengawasan, semakin besar peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut untuk keuntungan pribadi.
3. Accountability
Akuntabilitas mengacu pada mekanisme pengawasan, transparansi, dan pertanggungjawaban. Semakin rendah akuntabilitas, semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan korupsi karena mereka tidak takut akan konsekuensinya.
Adapun teori lain yang dikemukakan oleh Jack Bologna mengenai penyebab terjadinya korupsi. Dalam karyanya The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime, Jack Bologna mengemukakan teori GONE untuk menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya kecurangan atau fraud. Adapun empat elemen utama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Greeds (Keserakahan)
Berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri setiap orang. Keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi, menjadikan koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya.
2. Opportunities (Kesempatan)
Berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan dikarenakan sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi.
3. Needs (Kebutuhan)
Berkaitan dengan faktor faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah puas atau kurang bersyukur.
4. Exposures (Pengungkapan)
Berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan. Hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain. Dalam hal ini kasus tidak hanya diungkap tetapi juga lebih luas yaitu penegakan hukum /law enforcement secara konsisten. Seorang koruptor harus dihukum berat sesuai dengan kesalahannya sehingga memberikan efek jera bagi yang lain.
Bagaimana Penerapan Teori Robert Klitgaard dan Teori Jack Bologna dalam Kasus Korupsi di Indonesia?
Contoh kasus yang digunakan kali ini merupakan kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 oleh mantan Menteri Sosial, Juliari P. Batubara pada tahun 2020.
Kasus ini bermula dengan adanya pengadaan program bantuan sosial penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kementrian Sosial pada tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak yang dilaksanakan dengan dua periode. Juliari P. Batubara selaku Menteri Sosial pada saat itu menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan Proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga terjadi kesepakatan ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementrian Sosial melalui Matheus. Untuk setiap paket bantuan sosial, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bantuan sosial. Pada Mei sampai November tahun 2020, Maatheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang diantaranya Ardian I. M., Harry Sidabuke dan PT RPI yang diduga dimiliki oleh Matheus. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi.
Pada periode pertama pelaksanaan paket bantuan sosial sembako, diduga diterima fee sebesar Rp 12 Miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi. Diduga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 Miliar. Uang tersebut kemudian dikelola oleh Eko dan Shelvy N. selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Kemudian pada periode kedua pelaksanaan paket bantuan sosial sembako, dari Oktober hingga Desember tahun 2020 terkumpulnya fee sekitar Rp 8,8 Miliar. Menurut KPK total uang suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp 17 Miliar dan seluruh uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Juliari.
Sebelum Juliari P. Batubara ditetapkan sebagai tersangka, KPK terlebih dahulu melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat Kementerian Sosial pada 4 hingga 5 Desember tahun 2020. Kemudian, pada Minggu dini hari, 6 Desember tahun 2020 KPK menetapkan Juliari P. Batubara sebagai tersangka kasus korupsi bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19 di Kementerian Sosial untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. Selanjutnya dalam persidangan perkara Korupsi No. 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst atas nama Terdakwa Juliari P. Batubara, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Damis, menghukum Juliari P. Batubara dengan hukuman 12 tahun penjara dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider 6 bulan pidana kurungan. Dalam pembacaan putusannya, Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14. 590. 450. 000 atau sekitar Rp 14,59 miliar. Jika tidak diganti, bisa diganti pidana penjara selama dua tahun. Hakim juga mencabut hak politik atau hak dipilih terhadap Juliari P. Batubara selama empat tahun.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard, tiga elemen utama penyebab terjadinya korupsi pada kasus korupsi bantuan sosial penanganan COVID-19 oleh Juliari P. Batubara dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Discretion
Juliari P. Batubara sebagai Menteri Sosial memiliki kewenangan yang besar dan luar dalam pengadaan program bantuan sosial COVID-19 di Kementrian Sosial. Ia memiliki kebebasan untuk menentukan siapa supplier atau vendor yang akan terlibat, jenis bantuan yang diberikan, dan mekanisme penyaluran bantuan sosial tersebut. Kebebasan ini yang membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang oleh Juliari sebagaimana ditunjuknya vendor-vendor yang terlibat secara langsung sebagai rekanan.
2. Monopoly
Dalam kasus ini, pengadaan bantuan sosial dilakukan di Kementerian Sosial dengan tidak adanya lembaga lain yang bertanggung jawab untuk menyalurkan bantuan tersebut. Sehingga Kementrian Sosial memiliki kekuasaan tungga (monopoli) dalam proses pengadaan dan penyaluran bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek. Kekuasaan tunggal atau monopoli inilah yang meningkatkan risiko terjadinya korupsi.
3. Accountanbility
Dalam kasus ini akuntabilitas yang lemah ditunjukkan dengan kurang efektifnya pengawasan internal dan eksternal, sehingga pelanggaran atau tindak korupsi dapat terjadi tanpa terdeteksi. Kelemahan sistem pelaporan di tengah urgensi pandemi inilah yang dimanfaatkan Juliari P. Batubara untuk menyembunyikan penggelembungan harga dan pengalihan dana.
Dengan menerapkan teori CDMA oleh Robert Klitgaard dalam kasus ini, dapat diketahui bahwa kewenangan yang tinggi sebagaimana Juliari P. Batubara selaku Menteri Sosial memiliki kewenangan yang tinggi dalam Kementrian Sosial dan kurangnya pihak atau lembaga terkait dalam pengadaan program bantuan sosial ini, menyebabkan terjadinya monopoli atas pelaksanaan program bantuan sosial oleh Kementrian Sosial. Sehingga Juliari P. Batubara sebagai Menteri yang menjabat saat itu memiliki kekuasaan dan kewenangan yang besar atas pelaksanaan program tersebut yang kemudian dimanfaakan olehnya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini juga dapat terjadi karena kurangnya pengawasan pada program, sehingga tindak korupsi dapat terjadi.
Sedangkan dengan menggunakan teori GONE oleh Jack Bologna, dalam kasus ini dapat dijelaskan empat faktor pendorong terjadinya korupsi adalah sebagai berikut.
1. Greed (Keserakahan)
Juliari P. Batubara dan rekanannya memiliki motivasi untuk memperkaya diri atau mendapat keuntungan pribadi dengan memanfaatkan program bantuan sosial (bansos) yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat terdampak pandemi. Keserakahan ini terlihat dengan disepakatinya fee sebesar Rp 10.000 per paket sembako yang disepakati dan dikumpulkan dari vendor terkait. Keserakahan ini semakin mencolok mengingat bantuan tersebut seharusnya ditujukan untuk masyarakat terdampak pandemi, namun malah dijadikan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan pribadi.
2. Opportunity (Kesempatan)
Juliari selaku Menteri Sosial memberikannya akses dan wewenang penuh dalam menentukan vendor yang berkerja sama dengan Kementerian Sosial, terlebih pandemi COVID-19 menciptakan situasi darurat yang membuat prosedur pengadaan lebih longgar dan tidak seketat biasanya. Hal ini memberikan kesempatan bagi Juliari untuk memnafaatkan celah dalam proses pelaksanaan program bantuan sosial tersebut.
3. Need (Kebutuhan)
Meskipun Juliari bukan seseorang yang tampaknya kesulitan secara finansial, Ada kemungkinan kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup tertentu atau memenuhi ekspektasi pihak lain (misalnya, rekan politik atau kelompok pendukung) menjadi pendorong tindakan korupsi ini. Sebagaimana terdapat dugaan dana yang terkumpul digunakan Juliari untuk kepentingan pribadi dan operasional politiknya. Kebutuhan untuk memanfaatkan momentum pandemi sebagai "kesempatan langka" juga dapat dianggap sebagai kebutuhan psikologis untuk mengambil keuntungan dalam situasi tertentu.
4. Exposure (Pengungkapan)
Minimnya pengawasan publik akibat situasi pandemi membuat pengungkapan kasus korupsi lebih sulit dilakukan. Fokus masyarakat dan media lebih banyak tertuju pada penanganan kesehatan, bukan pengawasan keuangan. Prosedur yang tidak seketat pada normalnya, memberikan ruang bagi tindakan manipulasi tanpa mudah terdeteksi. Namun, kasus ini akhirnya terungkap setelah adanya laporan yang kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun pada awalnya risiko pengungkapan terbilang rendah.
Dengan menerapkan teori GONE oleh Jack Bologna, dapat diketahui bahwa keserakahan dapat menjadi faktor utama dalam terjadinya tindakan korupsi sebagaimana pada kasus ini, Juliari P. Batubara memanfaatkan pelaksanaan program bantuan sosial ini sebagai sarana untuk memperkaya diri atau mencari keuntungan pribadi. Ia juga memanfaat kesempatan yang timbul karena jabatannya sebagai Menteri Sosial untuk melakukan tindakan manipulasi dalam pelaksanaan program bantuan sosial. Dengan kesempatan itu, Juliari mendapatkan dana yang besar yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan operasi politiknya. Juliari juga memanfaatkan lemahnya pengawasan pada situasi pandemi COVID-19 untuk melancarkan aksinya. Meskipun pada akhirnya, tindakannya terungkap dan ia dijatuhi hukuman.
Bagaimana Solusi yang Ditawarkan untuk menangani Korupsi Berdasarkan Teori CDMA Robert Klitgaard dan Teori GONE Jack Bologna?
Teori CDMA oleh Robert Klitgaard menawarkan kerangka untuk memahami penyebab korupsi dan bagaimana cara menanganinya. Berdasarkan teorinya, tindakan korupsi dapat ditangani dengan menerapkan beberapa tindakan sebagai berikut.
1. Membatasi Monopoli
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tindakan korupsi sering terjadi ketika suatu individu maupun kelompok memiliki kendali atau kontrol atas suatu sumber daya maupun layanan. Dengan adanya kendali maupun kontrol yang terpusat membuat suatu individu maupun kelompok dapat dengan mudah melakukan pelanggaran maupun manuipulasi. Sehingga pembatasan dalam monopoli diperlukan dalam upaya penanganan tindakan korupsi. Pembatasan ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a.) Desentralisasi kekuasaan, memberikan kewenangan terhadap beberapa pihak, sehingga tidak ada kekuasaan yang terlalu terpusat pada suatu individu maupun kelompok.
b.) Meningkatkan persaingan dalam pengadaan barang dan jasa, dalam contoh kasus pengadaan proyek maupun program oleh pemerintah, mewajibkan terbukanya tender melalui platfrom seperti Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan mengurangi praktik penunjukan secara langsung.
2. Membatasi Kewenangan (Discretion)
Keleluasaan yang terlalu besar memberikan peluang bagi pengambil keputusan untuk bertindak sewenang-wenang tanpa kontrol. Kewenangan yang terlalu besar ini sering dimanfaatkan oleh pemegang kepentingan untuk melakukan tindakan menguntungkan diri sendiri maupun korupsi. Sebagaimana dalam contoh kasus sebelumnya, Juliari memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya sebagai Menteri Sosial untuk melakukan tindakan korupsi. Pembatasan kewenangan ini dapat dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut.
a.) Meningkatkan regulasi, memastikan aturan yang jelas dan spesifik terkait prosedur pengambilan keputusan, terutama dalam pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran.
b.) Menerapkan standar operasi yang ketat, semua keputusan harus berdasarkan pedoman atau kriteria yang objektif, bukan atas kewenangan individu.
c.) Meningkatkan pengawasan internal, membentuk unit pengawasan internal yang aktif memonitor setiap kebijakan yang diambil.
3. Meningkatkan Akuntabilitas
Lemahnya pengawasan baik secara internal maupun eksternal seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku tindak korupsi. Pentingnya mekanisme pengawasan yang ketat dan efektif menjadi salah satu kunci dalam penanganan korupsi. Adapun peningkatan akuntabilitas dapat dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut.
a.) Meningkatkan transparasi, mempublikasikan laporan keuangan, proyek, dan kebijakan pemerintah secara rutin agar dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas.
b.)Meningkatkan pengawasan eksternal, melibatkan lembaga independen seperti badan pemeriksa keuangan, lembaga antikorupsi, atau organisasi masyarakat sipil untuk memantau kinerja pemerintah.
c.) Penerapan hukum yang tegas, memberikan sanksi berat bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera dan memastikan terjaganya kepercayaan publik terhadap sistem hukum maupun penegak hukum.
Sedangkan berdasarkan teori GONE oleh Jack Bologna, tindakan korupsi dapat ditangani dengan menerapkan tindakan-tindakan sebagai berikut.
1. Mengatasi Keserakahan (Greed)
Keserakahan merupakan faktor utama yang sering menjadi pemicu terjadinya tindakan korupsi. Keserakahan yang timbul dalam diri pribadi seseorang memunculkan kecenderungan untuk mencari keuntungan pribadi secara berlebihan, bahkan dengan cara yang tidak etis termasuk korupsi. Adapun keserakahan ini dapat dikurangi dan diatasi dengan menerapkan beberapa langkah sebagai berikut.
a.) Peningkatan pendidikan moral dan integritas, penanaman nilai-nilai etika dan antikorupsi sejak dini, terutama di kalangan pejabat publik serta pelatihan mengenai pentingnya integritas kerja dan dampak negatif korupsi, baik bagi diri sendiri, organisasi maupun masyarakat luas.
b.) Pengawasan kekayaan pejabat publik, mewajibkan pejabat untuk melaporkan harta kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara rutin serta pemberian sanksi tegas bagi pejabat yang tidak transparan dalam melaporkan aset mereka. Pengawasan terhadap gaya hidup dan tindakan konsumtif yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan harta kekayaan, juga menjadi langkah yang perlu dilakukan dalam pengendalian keserakahan.
2. Membatasi Kesempatan (Opportunity)
Timbulnya kesempatan untuk melakukan tindakan manipulasi maupun pelanggaran seringkali menjadi faktor pendukung terjadinya tindakan korupsi. Kesempatan ini umumnya timbul karena lemahnya sistem pengawasan maupun terdapatnya celah dalam suatu sistem. Sehingga membuat para pelaku tindakan korupsi bersikap “aji mumpung”. Pembatasan dalam munculnya kesempatan ini dapat di tangani dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut.
a.) Menerapkan transparasi dalam tata Kelola pemerintahan, menggunakan teknologi informasi seperti e-government, e-budgeting, dan e-procurement untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi peluang manipulasi serta keterbukaan terhadap publik terhadap informasi terkait proyek pemerintah, anggaran, dan pengadaan barang/jasa.
b.) Meningkatkan pengawasan internal dan eksternal, mengaktifkan dan meningkatkan unit pengawasan internal di setiap instansi pemerintah serta pemberdayaan baga independen seperti BPK dan Ombudsman RI untuk mengawasi kinerja pemerintah.
c.) Meningkatkan mekanisme kontrol kolektif, memastikan bahwa keputusan-keputusan strategis diambil secara kolektif dan bukan oleh individu tunggal, sehingga peluang penyalahgunaan kekuasaan berkurang.
3. Mengelola Kebutuhan (Need)
Kebutuhan menjadi salah satu faktor dalam seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Kebutuhan ini bukan hanya kebutuhan secara finansial, melainkan meliputi kebutuhan lainnya seperti kepentingan politik. Dalam contoh kasus yang diberikan dapat diketahui bahwa Juliari bukanlah seseorang yang kekurangan secara finansial, tindakan korupsinya juga dilatar belakangi oleh kepentingan politik pribadi seperti penguatan kedudukan politik dan jalinan kerja sama antar rekan politik. Pengelolaan kebutuhan ini dapat ditangani dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut.
a.) Memberikan gaji dan fasilitas yang layak bagi pejabat publik, pastikan bahwa gaji dan insentif pejabat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mereka tidak tergoda melakukan korupsi.
b.) Mengurangi tekanan politik dan sosial, pemisahan antara kepentingan politik dan pengelolaan anggaran negara untuk mengurangi tuntutan pembiayaan yang tidak resmi serta membangun budaya organisasi yang mendukung sehingga pejabat tidak merasa terpaksa maupun terbebani untuk melakukan tindakan korupsi demi memenuhi kebutuhan tertentu.
4. Meningkatkan Pengungkapan (Exposure)
Maraknya tindakan korupsi juga disebabkan oleh kurang optimalnya sistem penanganan korupsi. Lemahnya upaya penegakan hukum dan kurang tegasnya sanksi bagi para pelaku semakin membuat hukuman terhadap pelaku tindakan korupsi di remehkan dan terjadinya tindakan korupsi disepelekan. Sehingga peningkatan dalam pengungkapan tindakan korupsi perlu dilakukan dalam upaya penanganan korupsi. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut.
a.) Penguatan hukum dan penegakkan sanksi, pemberian hukuman yang tegas dan setimpal kepada pelaku korupsi untuk memberikan efek jera serta memastikan proses hukum yang transparan dan bebas dari intervensi.
b.) Meningkatkan pengawasan publik, menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan perlindungan hukum bagi para pelapor, serta edukasi terhadap masyarakat umum tentang tata cara pelaporan dugaan tindakan korupsi pada platform resmi yang telah disediakan.
Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan penyelewengan demi memperoleh keuntungan pribadi maupun kelompok. Terjadinya tindakan korupsi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Seperti dua teori yang telah disampaikan, dimana menurut Robert Klitgaard, korupsi terjadi ketika adanya kekuasaan atau kewenangan yang terlalu besar serta monopoli yang tidak diikuti dengan akuntabilitas yang kuat. Sedangkan menurut Jack Bologna, terjadinya korupsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keserakahan pribadi, kesempatan yang timbul, kebutuhan yang muncul, dan kurangnya pengungkapan atau risiko terungkap. Sehingga terjadinya korupsi bukan hanya dipengaruhi oleh situasi lingkungan melainkan juga pengendalian dalam diri pribadi tersebut.
Referensi
Klitgaard, Robert. (1988). Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press
Tim Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Palu. Cegah Korupsi dari Diri Sendiri. Kementrian Keuangan Republik Indonesia
Sahara, Wahyuni. (2021). Awal Mula Kasus Korupsi Bansos Covid-19 yang Menjerat Juliari hingga Divonis 12 Tahun Penjara. Kompas.com
Badan Pusat Statistik. (2024). Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2024 sebesar 3,85, menurun dibandingkan IPAK 2023.
Hasoloan, Rudolf Johanes dkk. (2022). The Spirit of the Anti-Corruption Movement in the Campus Environment Through Various Community Creativity Social Media Movements. Journal of Creativity Student 2022, Vol.7 (2) 283-310
Wilhelmus, Ola Rongan. (2017). Korupsi: Teori, Faktor, Penyebab, Dampak, dan Penanganannya. Jurnal Pendidikan Agama Katolik 2017, Vol. 17
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi. (2018). Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi: Edisi Revisi. Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H