Dalam kasus ini, pengadaan bantuan sosial dilakukan di Kementerian Sosial dengan tidak adanya lembaga lain yang bertanggung jawab untuk menyalurkan bantuan tersebut. Sehingga Kementrian Sosial memiliki kekuasaan tungga (monopoli) dalam proses pengadaan dan penyaluran bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek. Kekuasaan tunggal atau monopoli inilah yang meningkatkan risiko terjadinya korupsi.
3. Accountanbility
Dalam kasus ini akuntabilitas yang lemah ditunjukkan dengan kurang efektifnya pengawasan internal dan eksternal, sehingga pelanggaran atau tindak korupsi dapat terjadi tanpa terdeteksi. Kelemahan sistem pelaporan di tengah urgensi pandemi inilah yang dimanfaatkan Juliari P. Batubara untuk menyembunyikan penggelembungan harga dan pengalihan dana.
Dengan menerapkan teori CDMA oleh Robert Klitgaard dalam kasus ini, dapat diketahui bahwa kewenangan yang tinggi sebagaimana Juliari P. Batubara selaku Menteri Sosial memiliki kewenangan yang tinggi dalam Kementrian Sosial dan kurangnya pihak atau lembaga terkait dalam pengadaan program bantuan sosial ini, menyebabkan terjadinya monopoli atas pelaksanaan program bantuan sosial oleh Kementrian Sosial. Sehingga Juliari P. Batubara sebagai Menteri yang menjabat saat itu memiliki kekuasaan dan kewenangan yang besar atas pelaksanaan program tersebut yang kemudian dimanfaakan olehnya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini juga dapat terjadi karena kurangnya pengawasan pada program, sehingga tindak korupsi dapat terjadi.
Sedangkan dengan menggunakan teori GONE oleh Jack Bologna, dalam kasus ini dapat dijelaskan empat faktor pendorong terjadinya korupsi adalah sebagai berikut.
1. Greed (Keserakahan)
Juliari P. Batubara dan rekanannya memiliki motivasi untuk memperkaya diri atau mendapat keuntungan pribadi dengan memanfaatkan program bantuan sosial (bansos) yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat terdampak pandemi. Keserakahan ini terlihat dengan disepakatinya fee sebesar Rp 10.000 per paket sembako yang disepakati dan dikumpulkan dari vendor terkait. Keserakahan ini semakin mencolok mengingat bantuan tersebut seharusnya ditujukan untuk masyarakat terdampak pandemi, namun malah dijadikan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan pribadi.
2. Opportunity (Kesempatan)
Juliari selaku Menteri Sosial memberikannya akses dan wewenang penuh dalam menentukan vendor yang berkerja sama dengan Kementerian Sosial, terlebih pandemi COVID-19 menciptakan situasi darurat yang membuat prosedur pengadaan lebih longgar dan tidak seketat biasanya. Hal ini memberikan kesempatan bagi Juliari untuk memnafaatkan celah dalam proses pelaksanaan program bantuan sosial tersebut.
3. Need (Kebutuhan)
Meskipun Juliari bukan seseorang yang tampaknya kesulitan secara finansial, Ada kemungkinan kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup tertentu atau memenuhi ekspektasi pihak lain (misalnya, rekan politik atau kelompok pendukung) menjadi pendorong tindakan korupsi ini. Sebagaimana terdapat dugaan dana yang terkumpul digunakan Juliari untuk kepentingan pribadi dan  operasional politiknya. Kebutuhan untuk memanfaatkan momentum pandemi sebagai "kesempatan langka" juga dapat dianggap sebagai kebutuhan psikologis untuk mengambil keuntungan dalam situasi tertentu.