Mohon tunggu...
Gus Ros
Gus Ros Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Masih belajar dan terus belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meraih Asa Bersama Sahabat

10 Februari 2017   09:40 Diperbarui: 10 Februari 2017   10:01 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pantai di larantuka [dok.pribadi]

Masih terbayang masa-masa awal masuk ke pesantren. Berpisah dengan ayah dan bunda yang telah merawat sejak bayi hingga usia baligh-ku adalah hal terberat yang ku alami sejak lahir. Kasih sayang yang kurasakan, kebersamaan dalam keluarga bersama ayah bunda dan kedua adikku tercinta adalah kebahagiaan yang tak terhingga yang kurasakan selama ini. Memang sudah menjadi kesepakatanku dengan ayah bundaku untuk melanjutkan pendidikan di pesantren setelah lulus dari SD. Tidak ada kalimat keluar dari lisan ayah dan bundaku yang memaksaku untuk ke pesantren. Akupun sudah mencoba untuk dapat menerima sepenuhnya keputusan bersama itu, demi cita-cita dan masa depanku nanti.

Meski demikian, rasa berat untuk berpisah dengan ayah bunda dan kedua adikku begitu terasa membayang di benakku. Ahh..bagaimana nanti saat kangen dengan mereka selama di pesantren? Begitu pikiran yang terlintas dalam benakku. Terbayang saat dipagi hari aku berpamitan dengan ayah bundaku dengan mencium tangan mereka saat berangkat ke sekolah. Saat makan malam tiba, semua anggota keluargaku lengkap. Menjelang tidur saling bercengkerama. Celoteh lucu Salma dan Raihan – kedua adikku – selalu menghiasi suasana kala berkumpul bersama keluarga. Suasana seperti itu tentu tidak akan aku dapatkan saat di pesantren nanti.

Hingga menjelang keberangkatanku ke pesantren pikiran-pikiran seperti itu selalu bersliweran di benakku, bahkan sampai terbawa dalam mimpi-mimpiku.

***

Suara lantunan nasyid Edcoustic yang rancak terdengar dari HP ku, membuat lamunan masa laluku buyar seketika. Di ruangan kerjaku yang cukup luas dan nyaman di lantai 23 sebuah tower di pusat kota Jakarta, aku kembali terbayang masa-masa itu. Kini tampak wajah ceria sahabatku di layar HP ku. Segera ku terima video call sahabatku itu.

Assalaamu’alaikum, apakabar Sam..”, sapa sahabatku dengan wajah ramah seperti biasanya. Wajah ramah yang hampir tidak pernah berubah gayanya sejak sama-sama di pesantren. Samil adalah sahabat sejatiku yang hingga saat ini masih sering berkomunikasi intens denganku, meski sudah hampir 20 tahun telah lulus dari pesantren yang sama denganku.

Masih teringat saat pertama kali berjumpa di pesantren. Ditengah keramaian suasana pendaftaran santri baru, kami bertemu dibawah pohon asem jawa yang rindang. Sambil menikmati bekal makanan dan minuman yang kami bawa dari rumah. Ayah, bunda dan Salma mengantarkan ku mendaftar ke pesantren. Sedangkan Samil diantar oleh Ayah dan pamannya yang kebetulan tinggal di daerah sekitar pesantren.

Saya dan Samil akhirnya sama-sama diterima di pesantren itu. Kebetulan penempatan ruang tidur di asrama juga satu lokasi, sehingga sejak saat itu kami berteman akrab.

Pagi itu Samil kembali menghubungiku melalui video call. Tampak baju jas koko hitam dan kopyah putih menghiasi penampilannya pagi itu. Sementara saya bersetelan jas dan berdasi nuansa abu-abu yang telah disiapkan istriku tadi malam.

“Jun, bagaimana dengan proposal yang telah saya kirim via email kemarin?” tanya Samil setelah saling memberi kabar diawal percakapan.

Subhanallah, saya sangat tertarik Sam” jawabku mantap.

Setelah sukses dalam proyek pertama yang digagas oleh Samil dan support penuh dari dana CSR perusahaanku, kali ini Samil kembali mengajukan sebuah proyek yang tidak kalah hebat. Ya, dia sedang menggagas sebuah pesantren tahfidz bernuansa alam dengan komposisi fifty-fifty antara santri umum dan dhuafa.

Dalam proposalnya Samil menjelaskan tujuan dari konsep pesantren yang digagasnya itu, selain untuk mencetak generasi qurani dan mengembalikan pola hidup yang bersahabat dengan alam, juga menghilangkan sekat antara si kaya dan si miskin.

‘Menghilangkan sekat si kaya dan si miskin’, hal ini sangat menarik bagiku. Kalimat itu adalah pengalaman hidup di pesantren yang aku rasakan selama ini. Ya..dengan bersahabat dengan Samil, seorang anak desa yang sederhana mampu memberikan pelajaran yang berharga tentang mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.

***

Suatu sore di akhir pekan ayah, bunda, Salma dan Raihan datang ke pesantren. Saat itu beberapa orang tua berkunjung ke pesantren untuk bertemu dan melepas rindu dengan anak-anaknya. Kali ini aku dibawakan dua stel baju koko dan sarung lengkap dengan kopyah warna hitam.

“Ayah, bunda.. sebelumnya Jundy mohon maaf. Baju, sarung dan kopyah Jundy masih bagus-bagus dan jumlahnya masih sangat cukup untuk dipakai bergantian.”

“Jika ayah dan bunda berkenan, baju-baju ini akan Jundy hadiahkan ke Samil.”

Ayah dan bundaku penuh haru mengiyakan permintaanku. Sudah lama kuperhatikan pakaian Samil itu-itu saja dan sedikit agak lusuh.

Selain kebutuhan pakaian, ayah dan bundaku juga meninggalkan sejumlah uang saku bulanan buatku. Meskipun makan minum sehari-hari sudah tersedia di asrama, uang itu untuk membeli kebutuhan lain-lain yang tidak disediakan oleh pesantren ataupun sekedar untuk beli jajanan. Sebagai sahabat dekat, aku sangat tahu kondisi Samil. Untuk makanan, dia hanya mengandalkan jatah dari pesantren. Sehingga saat aku ingin jajanan diluar makanan dari pesantren, selalu kubeli dua porsi. Satu porsi untukku dan satu porsi untuk kuberikan kepada Samil. Sejak itu ayah dan bundaku selalu membagi barang yang sama kepada Samil atas apa yang dibawakan untukku.

Sebaliknya suatu hari orangtua Samil berkesempatan berkunjung ke pesantren. Betapa girangnya Samil saat itu. Ibunya Samil membawa makanan kesukaannya. Ya..kripik singkong. Ibunya membawakan satu kantong plastik besar. Selain dinikmati sendiri, Samil juga berbagi kepada teman-temannya. Spesial untukku Samil mengajakku menikmati kripik singkong sambil brainstorming tentang cita-cita dipinggir sungai kecil di samping pesantren.

“Rasulullah adalah seorang pebisnis yang jujur sehingga diberi gelar al amin yang artinya dapat di percaya. Rasanya aku ingin seperti rasulullah, menjadi seorang pebisnis yang jujur. Kalau kamu, bagaimana Sami? Apa harapan dan cita-citamu?” tanyaku kepada Samil yang dari tadi belum berhenti mengunyah keripik singkong.

“Aku hidup di desa. Saat ini banyak orang desa yang merantau ke kota mencari kerja. Merasa tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan di desa. Rasanya aku ingin berbuat sesuatu untuk desaku. Membuat orang-orang desa tetap mau tinggal dan berkarya di desanya.”, jawab Samil.

Tak terasa senjapun mulai tiba. Lantunan ayat-ayat suci Al Quran mulai terdengar dari pengeras suara masjid pesantren. Kami pun beranjak dari tempat dimana kami mendeklarasikan cita-cita kami.

***

“Permisi Pak. Ada tamu yang ingin bertemu Bapak”, lapor sekretaris pribadiku melalui pesawat telepon internal.

“Oh ya. Dipersilahkan masuk saja ya. Terimakasih”, sahutku.

“Assalaamu’alaikum..”, sapaku mendahului Samil.

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab Samil sambil mengulurkan tangannya yang menjabat erat dan penuh kehangatan.

Pagi itu, Jundy datang ke kantorku untuk menandatangani dokumen CSR yang telah disepakati bersama. Sebentar lagi Jundy akan mengelola sebuah pesantren tahfidz yang berkonsep alam dan membangun kepedulian sosial.

Sebagai sahabat dekat, saya tahu persis siapa Samil. Kami selalu berbagi kisah tentang perjalanan hidup kami meski terpisah jarak dan waktu. Begitu pula saat-saat Samil hendak menikah. Min haitsu la yahtasib, dari arah yang tidak disangka-sangka. Begitulah mungkin yang dapat melukiskan betapa Maha Pemurah-Nya Allah SWT. Hal ini menjadi garis hidup bagi Samil sahabat sejatiku saat hendak mempersunting istrinya.

Samil mempersunting Nisa, seorang gadis desa, putri seorang imam mushola di sebuah kampung yang tak jauh dari kampung halamannya. Pak Kyai Mustofa, imam mushola yang sangat sederhana dalam kesehariannya namun punya karisma yang begitu luas dikalangan masyarakat sekitarnya.

Meski seorang gadis desa, Nisa adalah seorang sarjana dibidang pendidikan Islam. Wanita sederhana inilah yang akhirnya dipersunting oleh Samil untuk mendampinginya mewujudkan cita-citanya. Kyai Mustofa ternyata sangat mendukung cita-cita mulia dari Samil sang menanti. Lahan hijau yang selama ini hanya ditanami pepohonan rindang dan buah-buahan siap untuk diserahkan pengelolaannya kepada Samil untuk dikembangkan menjadi pesantren tahfidz impian Samil. Bak dicinta ulam pun tiba, demikian kata pepatah.

Kini Kyai Mustofa telah tiada. Namun semangat kesederhanaan dan pengorbanan telah terwariskan kepada putri dan menantunya. Lahan hijau yang kini menjadi lingkungan pesantren tahfidz yang asri dan nyaman telah diwakafkan oleh Kyai Mustofa untuk lembaga yang di kelola oleh Samil dan istrinya. Masyarakat sekitar pesantren banyak merasa terbantu dengan kehadiran pesantren itu. Ada yang menjadi karyawan di pesantren, mulai dari tenaga keamanan, kebersihan, katering dan juga bagian administrasi. Adapula yang secara tidak langsung mendapatkan manfaat kehadiran pesantren itu, ada tukang becak, tukang ojek, dan warung-warung disekitar pesantren. Apalagi semenjak pesantren itu menjadi referensi bagi lembaga-lembaga lainnya yang ingin mengembangkan pesantren ala konsepnya Samil.

Hampir tiap pekan ada rombongan yang datang berkunjung mengadakan studi banding ke pesantrennya Samil. Nah rombongan itulah yang terus menggairahkan kehidupan ekonomi disekitar pesantren. Bak tempat wisata, semakin banyak orang tahu, semakin banyak pula yang tertarik berkunjung ke pesantren itu. Ada yang sekedar ingin tahu , ada pula yang serius ingin mengadopsi konsep yang dijalankan pesantren.

***

Alhamdulillah, harapan dan cita-citaku dan juga cita-cita Samil mulai terwujud. Anak perusahaan yang diamanahkan oleh ayah kepadaku terus bergairah maju. Kesuksesan demi kesuksesan terus diraih oleh perusahaanku. Mulai beranjak dari sekala kecil hingga kini dapat bergerak secara multinasional.

Meski tidak ringan untuk membangun perusahaan dari bawah, karena ayah menginginkan aku harus berani dan berusaha untuk mandiri. Tidak bergantung kepada kesuksesan orang tua. Saya yakin kesuksesanku juga atas dukungan dan doa ayah bunda dan juga dari istri dan anak-anakku. Tanpa dukungan mereka rasanya sulit semua ini terwujud.

Dan kini, aku terpanggil untuk terus membantu mewujudkan cita-cita Samil sebagaimana yang telah kami deklarasikan 20 tahun silam suatu sore dipinggir sungai samping pesantren.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun