“Aku hidup di desa. Saat ini banyak orang desa yang merantau ke kota mencari kerja. Merasa tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan di desa. Rasanya aku ingin berbuat sesuatu untuk desaku. Membuat orang-orang desa tetap mau tinggal dan berkarya di desanya.”, jawab Samil.
Tak terasa senjapun mulai tiba. Lantunan ayat-ayat suci Al Quran mulai terdengar dari pengeras suara masjid pesantren. Kami pun beranjak dari tempat dimana kami mendeklarasikan cita-cita kami.
***
“Permisi Pak. Ada tamu yang ingin bertemu Bapak”, lapor sekretaris pribadiku melalui pesawat telepon internal.
“Oh ya. Dipersilahkan masuk saja ya. Terimakasih”, sahutku.
“Assalaamu’alaikum..”, sapaku mendahului Samil.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab Samil sambil mengulurkan tangannya yang menjabat erat dan penuh kehangatan.
Pagi itu, Jundy datang ke kantorku untuk menandatangani dokumen CSR yang telah disepakati bersama. Sebentar lagi Jundy akan mengelola sebuah pesantren tahfidz yang berkonsep alam dan membangun kepedulian sosial.
Sebagai sahabat dekat, saya tahu persis siapa Samil. Kami selalu berbagi kisah tentang perjalanan hidup kami meski terpisah jarak dan waktu. Begitu pula saat-saat Samil hendak menikah. Min haitsu la yahtasib, dari arah yang tidak disangka-sangka. Begitulah mungkin yang dapat melukiskan betapa Maha Pemurah-Nya Allah SWT. Hal ini menjadi garis hidup bagi Samil sahabat sejatiku saat hendak mempersunting istrinya.
Samil mempersunting Nisa, seorang gadis desa, putri seorang imam mushola di sebuah kampung yang tak jauh dari kampung halamannya. Pak Kyai Mustofa, imam mushola yang sangat sederhana dalam kesehariannya namun punya karisma yang begitu luas dikalangan masyarakat sekitarnya.
Meski seorang gadis desa, Nisa adalah seorang sarjana dibidang pendidikan Islam. Wanita sederhana inilah yang akhirnya dipersunting oleh Samil untuk mendampinginya mewujudkan cita-citanya. Kyai Mustofa ternyata sangat mendukung cita-cita mulia dari Samil sang menanti. Lahan hijau yang selama ini hanya ditanami pepohonan rindang dan buah-buahan siap untuk diserahkan pengelolaannya kepada Samil untuk dikembangkan menjadi pesantren tahfidz impian Samil. Bak dicinta ulam pun tiba, demikian kata pepatah.