Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Berjudi dengan Nasib

28 Desember 2019   22:11 Diperbarui: 28 Desember 2019   22:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Agak berdebar-debar ketika di beranda rumah saya dan istri menyiapkan keberangkatan saya ke seberang jauh di wilayah barat. Entah nekat, suatu tanggung jawab sebagai pencari nafkah, tertantang, panggilan, berjudi dengan nasib, atau sekadar menjalani sebuah skenario kehidupan, selain untuk menanggapi permintaan Sarwan.

Lampu di atas saya dan istri saya dijagai dua ekor cecak. Lampu depan beranda terhalang tiang penyangga kuda-kuda atap. Tanaman merambat di bawahnya sudah rapi setelah saya pangkas tadi pagi.

Di meja layar komputer jinjing saya menampilkan foto masa usang. Saya putar ke arah istri saya yang duduk di samping kanan.

"Ini foto kami waktu SMP," kata saya sambil menunjukkan foto semasa di Kelas III SMP. "Kami satu tim voli sekolah."

Pada foto itu saya mengenakan kaus lengan panjang. Sarwan di sebelah kiri. Bola berada di antara saya dan Sarwan. Sementara samping kanan paling pinggir adalah kakaknya Sarwan. Saya satu ruang kelas dengan kakaknya sejak Kelas I SMP hingga tamat SMP.

"Dia kontraktor besar, ya, Mas?"

"Iya. Tiga tahun lalu dia minta aku gabung, tapi aku belum mau. Aku pernah iseng-iseng membenahi logo perusahannya, dan dia ngasih imbalan tanpa kuminta. Lagian, rata-rata kawan sekolah kami sudah memiliki perusahaan, bahkan lebih dari satu perusahaan."

Cuma aku yang tidak memiliki perusahaan, lanjut di batin saya yang mendadak malu.

Bertahun-tahun saya begini-begini saja. Pernah menjadi karyawan sebagai drafter dan pengawas pelaksanaan pembangunan di konsultan bangunan. Pernah menjadi karyawan di beberapa kontraktor jasa manajemen konstruksi, dari posisi kepala studio arsitektur sampai manajer proyek. Sering juga bekerja sendiri sebagai arsitek hingga pelaksanaan pembangunan, bahkan kini masih bekerja sendiri.

Kawan-kawan sekolah sudah memiliki perusahaan sendiri. Kawan-kawan kuliah sudah mengibarkan karya, baik perancangan kawasan hingga realisasi gedung-gedung gagah, dan bendera perusahaan yang mereka tampilkan di media sosial. Pokoknya, mayoritas kawan saya sudah bisa dan biasa memajang kesuksesan-kesuksesan mereka.   

"Mana surat kontrak kerjanya? Coba kulihat."

"Oh, tidak perlu sampai harus begitu. Ini perkawanan."

"Awas lho, nanti bermasalah lagi seperti waktu Mas di timur kemarin."

"Itu, sih, beda."

Saya memahami kekhawatiran istri saya. Di wilayah tengah yang juga banyak perusahaan multinasional ini istri saya selalu membekali diri dengan surat kontrak kerja pada saat memulai suatu pekerjaan dengan sebuah perusahaan.

Sewaktu pindah ke tanah kelahiran istri sekaligus mulai bekerja sebagai pengawas pembangunan sebuah rumah sakit swasta, saya pun dibekali surat kontrak kerja. Padahal, hanya sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan.

Selain itu, di perusahaan kontraktor berkelas multinasional, saya menjadi kepala studio dengan bekal surat kontrak yang jelas, bahkan dengan nilai honor dan lembur yang dihitung per jam. Hak dan kewajiban tertera dengan jelas.

Di samping kekhawatiran itu, baru satu minggu ini saya berada di rumah setelah pulang dari wilayah timur selama hampir enam bulan. Di sana saya mengerjakan pembangunan rumah seorang kawan yang tinggal di luar negeri. Tidak ada kontrak kerja. Alhasil, saya pulang dengan penuh kekecewaan dan stres berat.

Sementara untuk perantauan ke wilayah barat kali ini saya optimistis. Sarwan memiliki badan usaha yang jelas-legal, memahami perihal regulasi hak-kewajiban pekerja, apalagi tinggal di megapolitan yang ketat persaingan kerja sekaligus pekerjanya.

Akan tetapi, pekerjaan saya nanti, apa, ya, batin saya.

Di media sosial Sarwan memajang pekerjaan persiapan lahan, bahkan sejak enam bulan lalu. Alat berat, gundukan tanah berbatu, dinding penahan tanah, dan jalan masih berupa pasangan batu. Dalam obrolan seluler Sarwan tidak menyinggung tentang pembangunan rumah, padahal saya terbiasa dengan pembangunan rumah.    

"Lha, terus, tiket ke sana? 'Kan, dia yang minta?"

"Kita bayar sendiri."

Istri saya menatap mata saya dengan tajam. Saya merasa seolah sedang diselidiki dengan saksama dalam tempo sesingkat-singkatnya di sebuah ruang introgasi seorang komandan musuh bebuyutan.

"Yakin, nih?"

"Ya, yakin."

Saya, sih, yakin saja, karena saya percaya pada kawan lama saya itu. Saya selalu memulai dengan percaya, optimistis, dan berpikiran positif. Setidak-tidaknya, dulu saya tidak pernah berkonflik dengan kakaknya Sarwan, atau antara kakaknya Sarwan dan kawan-kawan saya lainnya.     

Akan tetapi, saya agak berdebar juga. Keberdebaran saya muncul di antara keyakinan saya, baik soal surat kontrak kerja dan tiket penerbangan, dan kekhawatiran istri saya dengan soal biaya perjalanan.

Seekor kelelawar berkelebat di depan beranda seusai pesta sawo di halaman depan rumah tetangga samping kiri. Malam kian meninggi ke puncak waktu.

Saya meyakinkan istri saya sekali lagi dengan membalas tatapannya. Baru kemudian istri saya membuka layar ponselnya untuk mencari dan membandingkan tiket di agen-agen penjualan tiket elektronik.

Memang, setiap saya atau kami hendak ke mana dengan penerbangan, istri saya yang memesan tiket, bahkan sampai pada tahap check in pesawat. Saya tidak bermaksud merepotkannya, melainkan agar urusan pengeluaran keluarga semacam itu tetap berada dalam kendali bersama, apalagi sebagian besar uang saya dari gaji ataupun bonus selalu saya alihkan ke rekeningnya. 

***

Sambil menunggu hasil pencarian dan pembelian tiket elektronik, saya melamun. Dua minggu saja saya berada di rumah terasa sangat singkat, dan sebentar lagi saya akan pergi lagi.

Sebelumnya, selama hampir enam bulan saya berada di wilayah timur. Enam bulan pun terasa sangat singkat, meskipun pekerjaan saya merangkap-rangkap dari perencana, penghitung aluas estimator, penegosiasi calon tukang berikut harga borongan, pembelian bahan bangunan, pengawasan, hingga pemilik rumah menerima kunci.  

Selain itu, kebiasaan saya adalah memajang dokumentasi pekerjaan di sebuah jejaring media sosial. Di situ juga saya berteman dengan Sarwan sejak delapan tahun silam. Sarwan pun menyaksikan dokumentasi pekerjaan saya selama delapan tahun.

Selama tiga tahun terakhir saya diminta Sarwan untuk terlibat dalam pekerjaannya, tetapi saya belum menyanggupi. Baru kali ini, tepatnya ketika masih merantau di wilayah timur, saya mau menyanggupinya, bahkan saya tidak menyinggung perihal fasilitas, gaji, dan seterusnya.  

"Gaji lima juta. All in. Tempat tinggal pakai rumahku. Ada motor juga," kata Sarwan di sambungan seluler.

"Ya, tidak apa-apa, Wan."

Saya menghargai Sarwan sebagai kawan lama, meskipun adiknya kawan sekelas saya di SMP. Saya juga menghargai kepercayaannya dengan berkali-kali meminta saya untuk bergabung. Kalau soal besaran honor, saya anggap sebagai sebuah awal untuk merekatkan kembali hubungan perkawanan, baik dengan Sarwan, kakaknya, maupun dengan mantan kawan-kawan sekolah saya. 

"Ada bonus juga," janji Sarwan melalui sambungan seluler.

"Aku kerja saja dulu. Kalau memang kelak benar-benar menguntungkan, baru ngomong bonus."

"Kamu nanti jadi tangan kananku, Ji," pungkas Sarwan.

Saya tidak menanggapinya. Selama saya berkecimpung dalam dunia jasa manajemen konstruksi, saya tidak mengetahui ada posisi "tangan kanan" atau "tangan kiri" dalam struktur organisasi sebuah proyek. Kalau Project Manager, Site Manager, Supervisor, Estimator, Drafter, dan sekitar, sih, ada.

Semua cerita itu saya sampaikan pada istri saya melalui sambungan seluler juga. Maksud dan tujuan dari cerita saya adalah agar istri saya sudah mengetahui rencana saya selanjutnya, bahkan kemungkinan dampaknya bagi masa depan kami sekeluarga.

***

Di beranda pada malam itu istri saya membelikan tiket penerbangan secara daring senilai Rp1.309.500,00. Saya pun lega, karena tiket penerbangan berarti pula sebagai awal yang pasti untuk memasuki gerbang perantauan selanjutnya.

Aku akan kembali, Barat, pikir saya sambil mengulum senyuman.

Keesokan harinya saya memberi tahu ibu saya yang berbeda pulau bahwa saya mau merantau lagi. Bagi saya, ibu "wajib" mengetahui kepergian saya supaya tidak terkejut lantas menanyakan perihal kepergian saya lagi seakan ada "sesuatu" dalam hubungan suami-istri yang telah direstui oleh keluarga besar.

"Hati-hati di perantauan, ya," pesan ibu.

Ke mana pun merantau, saya juga selalu memberi tahu ibu, bahkan ketika saya akan pindah ke seberang pulau yang berada di pertengahan jarak untuk menikah dan menetap. Barat, tengah, dan timur selalu sepengetahuan ibu. Saya tidak sampai hati jika ibu merisaukan saya di tempat jauh.

Dengan rencana perantauan ke wilayah barat kali ini, ibu senang sekali karena jarak lebih dekat dengan kampung halaman saya. Ibu malah berharap bahwa suatu waktu saya pindah ke barat, sehingga bisa lebih dekat dengan ibu.

Dengan berat hati saya mengatakan kepada ibu bahwasannya saya tidak mungkin menetap di barat. Saya tetap akan kembali ke tengah untuk bergabung dengan istri saya, karena mustahil istri saya akan pindah ke barat dengan ikatan leluhur yang sudah menetap di wilayah tengah.

***

Malam sebelum keberangkatan, saya dibelikan sebuah ponsel baru seharga Rp2.300.000,00 oleh istri saya. Meski sejak lima tahun terakhir produktivitas ponsel mutakhir selalu tinggi dan terjangkau, saya masih menggunakan ponsel lama yang bisa sepenuhnya tergenggam, tidak berlayar sentuh, dan selalu menjadi media komunikasi paling cepat antara saya dan ibu.

"Hape ini untuk mendukung Mas bekerja di lapangan. Kapasitas baterainya besar. Lima ribu em-a-ha," katanya sambil menunjukkan buku pedoman pemakaian. "Biar baterainya awet, usahakan dicas kalau tinggal dua puluh persen."

Di kamar saya menyimak apa saja yang diterangkan dan dipraktikkan oleh istri saya dengan ponsel baru itu. istri saya terbiasa dengan alat komunikasi elektronik terbaru karena tuntutan pekerjaan dan lingkungan pergaulan sosialnya.

Di kota kelahirannya ini memang terbiasa dengan barang-barang elektronik versi terbaru dan tercanggih. Sementara saya tidak terlalu suka mengikuti perkembangan teknologi, apalagi selalu baru setiap tiga-empat bulan.

Lingkungan bekerja saya lebih sering berkutat dengan pasir, semen, batu, dan sekitarnya. Lingkungan sosial saya bertabur keringat di bawah sinar matahari langsung ataupun sedikit teduh.

Sewaktu saya pertama datang ke kotanya untuk suatu niat yang bulat demi masa depan, kulit saya nyaris hitam di sekujur badan. Dunia pekerjaan di lapangan yang langsung berhubungan dengan sinar matahari memang dunia yang saya geluti dan gemari.

 "Hape ini juga bisa memantau posisi Mas sampai di mana kalau menuju rumah kawan Mas itu," terangnya sembari menunjukkan posisi pemegang ponsel pada peta seluler.

Malam itu, setelah mengajari perihal penggunaan ponsel baru serta memasang alarm, istri saya menyiapkan barang bawaan saya di kamar. Dalam hal bepergian jauh dengan penerbangan, istri saya memang sering melakukannya karena tuntutan pekerjaan sehingga urusan barang bawaan menjadi bagian yang biasa baginya.  

"Sekarang Mas tidur saja dulu. Subuh harus bangun. Berangkatnya jam setengah enam. Biar kuselesaikan barang bawaan Mas."

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya," sahut saya sambil naik ke ranjang.

Pkl. 02.12 tertera di jam dinding bulat. Sekujur raga rebah, tetapi pikiran masih berkelana.

Sebentar lagi saya akan kembali ke barat. Kalau nanti ada kesempatan atau Minggu, saya mau berkunjung ke rumah mantan kawan-kawan sekolah, termasuk kakaknya Sarwan, sekaligus reuni kecil. Bila sempat, saya juga ingin berkunjung ke rumah sepupu saya.

Akan tetapi, tidak ada surat kontrak kerja, kerja sebagai apa, tiket beli sendiri, tidak ada jemputan, bagaimana, ya, pikir saya. Saya agak khawatir juga, sih.

Debaran saya belum mau reda. Saya seakan sedang berjudi dengan nasib.

*******

Ruang Lebur, Cibubur, November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun