"Oh, tidak perlu sampai harus begitu. Ini perkawanan."
"Awas lho, nanti bermasalah lagi seperti waktu Mas di timur kemarin."
"Itu, sih, beda."
Saya memahami kekhawatiran istri saya. Di wilayah tengah yang juga banyak perusahaan multinasional ini istri saya selalu membekali diri dengan surat kontrak kerja pada saat memulai suatu pekerjaan dengan sebuah perusahaan.
Sewaktu pindah ke tanah kelahiran istri sekaligus mulai bekerja sebagai pengawas pembangunan sebuah rumah sakit swasta, saya pun dibekali surat kontrak kerja. Padahal, hanya sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan.
Selain itu, di perusahaan kontraktor berkelas multinasional, saya menjadi kepala studio dengan bekal surat kontrak yang jelas, bahkan dengan nilai honor dan lembur yang dihitung per jam. Hak dan kewajiban tertera dengan jelas.
Di samping kekhawatiran itu, baru satu minggu ini saya berada di rumah setelah pulang dari wilayah timur selama hampir enam bulan. Di sana saya mengerjakan pembangunan rumah seorang kawan yang tinggal di luar negeri. Tidak ada kontrak kerja. Alhasil, saya pulang dengan penuh kekecewaan dan stres berat.
Sementara untuk perantauan ke wilayah barat kali ini saya optimistis. Sarwan memiliki badan usaha yang jelas-legal, memahami perihal regulasi hak-kewajiban pekerja, apalagi tinggal di megapolitan yang ketat persaingan kerja sekaligus pekerjanya.
Akan tetapi, pekerjaan saya nanti, apa, ya, batin saya.
Di media sosial Sarwan memajang pekerjaan persiapan lahan, bahkan sejak enam bulan lalu. Alat berat, gundukan tanah berbatu, dinding penahan tanah, dan jalan masih berupa pasangan batu. Dalam obrolan seluler Sarwan tidak menyinggung tentang pembangunan rumah, padahal saya terbiasa dengan pembangunan rumah. Â Â
"Lha, terus, tiket ke sana? 'Kan, dia yang minta?"