"Iya. Siapa tahu bisa tumbuh di sini."
"Di mana?"
"Oh, di hutan dekat bukit sana."
Lantas mengomellah bininya. Akek Bagak hafal, bininya bisa bahkan biasa mengomel seharian-semalaman, apalagi soal batu itu. Oleh sebab itu pula Akek Bagak menamai bininya "Nek Kelanter".
Demi menghindar dari omelan Nek Kelanter, ia segera bergegas ke hutan dekat lereng Bukit Betung, yang jaraknya mencapai setengah lintasan matahari. Kalau diladeni, Nek Kelanter semakin bersemangat untuk mengomelinya bahkan bisa hingga esok sebelum matahari mewarnai pagi di bentang cakrawala.
"Eh, colek makanan dulu biar tidak kepun! Asal main pergi saja. Kelak kena bala, aku pula yang repot! Macam budak, minta dikasih tahu!"
Mau-tidak mau Akek Bagak berbalik menuju dapur. Dibukanya gerubok lalu dicoleknya ubi bakar dan pelanduk bakar.
***
Akek Bagak masih berdiri di atas sebuah batu berukuran raksasa di lereng Bukit Betung. Batu itulah yang pertama kali ditanamnya, puluhan tahun silam. Batu itu menjadi tanda baginya dan bininya, sekaligus kenang-kenangan dari orang seberang nan jauh.
Ia sengaja menanamnya di lereng bukit itu supaya dengan mudah ia melihatnya nanti, jika bertumbuh dan besar. Tapi menanam batu tidaklah semudah menanam batang ubi. Berkali-kali ia harus melihat pertumbuhan batu itu. Terkadang menyiramnya. Terkadang disenggolnya untuk memastikan kondisi akar-akarnya. Yang akhirnya ia benar-benar ketahui, batu bertumbuh sejengkal di setiap masa purnama paling puncak.
"Itukah batumu dulu?" tanya bininya ketika diajaknya melihat batu hasil tanamnya. Tingginya baru enam jengkal dan lebarnya sepuluh jengkal.