Akek Bagak berdiri di atas sebuah batu berukuran raksasa di lereng Bukit Betung--bukit  yang mirip perahu terbalik atau seperti Gunung Tangkuban Perahu. Kabar burung hantu dulu, seorang dikenal dengan nama "Akek Antak" telah menendang perahu kayu karena beradu kesaktian dengan Akek Bedengung. Entahlah benar-tidaknya karena hanya kabar burung hantu yang didengarnya sebelum tidur.
Dari atas batu itu mata Akek Bagak menyapu seluruh panorama di dataran lebih rendah. Hutan belantara dan semak belukar. Terkadang muncul biawak atau burung puyuh di tanah dekat batu itu. Sementara empat elang sikep berbutar-putar di langit.
Masih membekas dalam ingatannya ketika ia baru pulang dari daerah seberang pulau yang sangat jauh, atau dikenal dengan nama Semenanjung Malaka, setelah ikut perahu besar milik saudagar di sana untuk mengantarkan kayu-kayu berukuran dua kali pelukannya.
"Ini apa?" tanya bininya ketika itu sambil melihat sebuah batu sebesar genggaman Akek Bagak.
"Batu."
"Batu? Untuk apa?"
"Ditanam."
"Dapat dari?"
"Orang Malaka. Ini batu terakhir, harta terakhir, untuk membayar kayu-kayuku."
Ia tidak menceritakan bahwa batu itu adalah batu satu-satunya yang pernah dilihatnya atau diceritakan orang-orang.
"Mau kau tanam?"