Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Trotoar untuk Siapa?

1 Juli 2017   15:35 Diperbarui: 2 Juli 2017   05:43 2613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, pemerintah daerah setempat beserta aparaturnya berkewajiban mengelola tata ruang-wilayahnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Mungkin dengan prosentase, semisal 70% untuk pejalan kaki dan 30% untuk PKL atau aktivitas "bisnis" lainnya. Itu pun, sebenarnya, tetap "merusak" esensi dan fungsi. Kalau seorang pejalan kaki satu arah membutuhkan lebar ruang sekitar 0,8 meter, ditambah dari arah sebaliknya yang juga 0,8 meter, dengan asumsi masing-masing membawa barang bawaan atau menggandeng anak, maka sebenarnya 1,5 meter alias lebar umumnya trotoar cukup untuk pejalan kaki. Kalau lebar trotoar 2 meter, berarti tersisa 0,5 meter. Bukankah 0,5 meter biasanya belum terhitung dengan tiang listrik, tata vegetasi, dan lain-lain?

Keempat, tokoh-tokoh masyarakat setempat pun berkewajiban memberi penyadaran kepada masyarakat di wilayah setempat. Rasa kemanusiaan terhadap PKL bukanlah berarti wajar "mengorbankan" para pejalan kaki. Apalagi, kalau pura-pura "atas dasar kemanusiaan" padahal "bawah sadar setoran (jual-beli wilayah)" lantas "mengorbankan" kalangan yang paling berhak. 

Kelima, para PKL sewajarnya sadar diri lalu berbagi ruang dengan pejalan kaki karena justru sebenarnya trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki. Trotoar yang dibangun menggunakan APBD bukanlah untuk tempat berdagang (bisnis). Artinya, secara fisik ukuran lapak PKL harus lebih kecil daripada ukuran lalu-lintas pejalan kaki. Segala perabot berjualan, selain berukuran harus lebih kecil, juga bisa segera dikemas untuk dibawa pergi lagi.

Keenam, masyarakat umum sebaiknya juga memahami dan menyadari mengenai hak-kewajiban, dan aturan hukum yang mengikat, sehingga keberpihakan pun memiliki dasar yang sebenarnya. Ya, tidak jarang, keberpihakan justru semakin merunyamkan persoalan yang tidak semestinya menjadi masalah selanjutnya hingga berkembang biak sampai membuahkan konflik horisontal.

Ketujuh, penting sekali dilakukan perbaikan ulang (revisi) mengenai perencanaan tata ruang kota atau wilayah, dan aturan daerah yang lebih optimal sekaligus bervisi melampaui waktu sesaat berkaitan dengan trotoar, termasuk yang sudah ada agar trotoar pun tidak justru menjadi "medan kewaspadaan" seperti yang pernah dituliskan Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang (2003). Para pengelola wilayah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, duduk bersama untuk mendapatkan solusi yang berjangka panjang demi keselarasan hidup bersama di daerah setempat.

Demikian kira-kira tulisan mengenai trotoar, yang masih banyak kekurangannya ini. Mohon kritik atau saran. Terima kasih.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun