Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Trotoar untuk Siapa?

1 Juli 2017   15:35 Diperbarui: 2 Juli 2017   05:43 2613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian sisi kanan-kiri jalan perkotaan terdapat trotoar. Posisinya lebih tinggi,  dari permukaan jalan, baik aspal maupun beton. Lebar badannya bervariasi, dari hanya 1 meter hingga lebih 2 meter, tergantung wilayahnya.  

Salah satu pemandangan yang cukup jamak di trotoar adalah pedagang kaki lima (PKL), selain tempat parkir bahkan "diserobot" oleh pengendara roda dua karena jalan sedang padat-merayap. Dan, pada pertengahan Mei 2017 beberapa media nasional, khususnya yang berada di Ibukota Negara alias DKI Jakarta, mengangkat berita tentang kembalinya PKL beraktivitas di trotoar kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tentunya, serta-merta terjadi pro-kontra.

Di sisi lain, khususnya di kota-kota besar Pulau Jawa, krisis moneter 1998 pernah melibas banyak pelaku ekonomi makro dengan lonjakan utang yang sangat signifikan. Sebaliknya, para pelaku ekonomi mikro, salah satunya adalah PKL, justru mampu menopang ketahanan ekonomi nasional.

Pedagang Kaki Lima

Dalam artikel Kendala Berbuntut Panjang Ditimbulkan oleh Relokasi Pedagang Kaki Lima Nabila Anjani menuliskan, pedagang kaki lima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah pedagang kaki lima juga digunakan pedagang di jalanan pada umumnya.

Masih dari Nabila Anjanji, sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda, peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki, lebar ruas jalan untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Pedagang kaki lima (Sektor Informal) adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti trotoar, pinggir jalan umum dan lain sebagainya. Pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka tertentu dengan menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha. Lokasi pedagang kaki lima sangat mempengaruhi perkembangan dan kelangsungan usaha pedagang kaki lima yang pada akhirnya akan mempengaruhi volume penjualan dan tingkat keuntungan. Pedagang kaki lima memiliki modal yang relatif sedikit biasanya pedagang kaki lima memilih tempat untuk berjualan di tempat yang strategis dengan menjajakan barang-barang yang dibutuhkan oleh kelompok tertentu.

Ciri-ciri pedagang kaki lima, sebagian dikatakan Nabila Anjani dari Kartono dkk. (1980: 3-7),yaitu: (1) merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus berarti produsen; (2) ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang); (3) menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran; (4) umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekadar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya; (5) kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar; (6) volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli bukan merupakan pembeli yang berdaya beli rendah; (7) usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik langsung maupun tidak langsung; (8) tawar menawar antar penjual dan pembeli merupakan relasi ciri yang khas pada usaha pedagang kaki lima; (9) dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula yang melaksanakan musiman.

Trotoar, Fungsi, dan Undang-undang

Kata "trotoar" berasal dari bahasa Prancis, trotroir. Di Amerika Serikat dikenal dengan istilah "sidewalk". Di Inggris dikenal dengan "pavement". Entah di negara lainnya.

Pengertian dan batasan tentang trotoar, berdasarkan Petunjuk Perencanaan Trotoar No.007/T/BNKT/1990 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Jalan Kota sub Direktorat Jenderal Bina Marga, adalah jalur pejalan kaki yang terletak di daerah manfaat jalan, diberi lapis permukaan, diberi elevasi lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan 

Masih menurut Petunjuk Perencanaan Trotoar, fungsi utama trotoar adalah untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan pejalan kaki tersebut. Dikatakan lagi, trotoar juga berfungsi untuk memperlancar lalu-lintas jalan raya karena tidak terganggu atau terpengaruh oleh lalu-lintas pejalan kaki.

Suatu ruas jalan dilengkapi dengan trotoar apabila di sepanjang jalan tersebut terdapat penggunaan lahan yang berpotensi menimbulkan pejalan kaki. Penggunaan lahan tersebut antara lain perumahan, pendidikan (sekolah), perbelanjaan-perdagangan atau bisnis, perkantoran, industri, kegiatan sosial, pusat transportasi, dan lain-lain. 

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, trotoar adalah salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 Pasal 114 menyebutkan trotoar juga bisa digunakan untuk pesepeda bila tidak tersedia jalur sepeda.

Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2014, definisi trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keselamatan pejalan kaki yang bersangkutan.

Pejalan kaki pun mendapat istilah keren, yaitu "pedestrian". Dan pada perkembangan selanjutnya "pedestrian" pun bukanlah sebatas pada orang berkondisi fisik normal, melainkan juga para penyandang keterbatasan fisik (disabilitas). Oleh sebab itu, sebagian trotoar di kota-kota besar sudah memberikan jalur khusus bagi kalangan disabilitas, kendati belum dikerjakan sesuai dengan standar dan mampu memenuhi semua kebutuhan penggunanya.

Mengenai lebarnya, juga sebelumnya sudah diatur pula oleh Direktorat Pembinaan Jalan Kota sub Direktorat Jenderal Bina Marga pada 1990. Di kawasan perumahan lebar trotoarnya 1,5 meter. Di kawasan perkantoran, bisnis (perdagangan, pertokoan, dan sejenisnya), industri, pendidikan, dan pusat transportasi (terminal bus) lebar trotoarnya 2 meter. Sedangkan untuk jembatan atau terowongan, lebar trotoarnya 1 meter.

Berkaitan dengan tulisan Nabila Anjani, yaitu "lebar ruas jalan untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter". Penyebutan ukuran menggunakan kata "kaki" berasal dari ukuran satu (1) kaki sekitar 30 cm. "Lima kaki" berarti "lima dikali 30 cm", yakni 150 cm (1,5 m) alias "satu setengah meter".

Mengenai sanksinya, dalam Pasal 63 UUNo.38Tahun 2004 tentang Jalan, dikatakan bahwa siapa pun yang mengganggu fungsi jalan dan jalur pedestrian bisa dikenai sanksi hukum, termasuk PKL dihukum maksimal 18 bulan penjara atau denda maksimal Rp 1,5 miliar. Sementara jika mengganggu jalur pejalan kaki, sesuai Pasal 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pelaku bisa dihukum maksimal satu bulan penjara atau denda Rp 250.000.

Siapa Memangsa Hak Siapa

Berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, sudah jelas, trotoar dibangun untuk pejalan kaki, baik pejalan kaki berfisik normal maupun penyandang disabilitas. Legalitas keberadaan dan fungsi trotoar pun telah dilindungi oleh undang-undang. Artinya, aspek legalitasnya pun tidak perlu dipertanyakan lagi.

Kalau sudah jelas, dan bisa dipahami dengan sebagaimana mestinya, lantas apakah esensi-fungsi trotoar pun wajib diperuntukkan bagi kalangan selain pejalan kaki yang beraktivitas bukan berjalan kaki, misalnya berdagang, tempat parkir, dan lain-lain?

Realitasnya, sebagian trotoar telah beralih esensi dan fungsi. Bukan lantaran pejalan kaki mendadak bermain sepakbola atau kesurupan, melainkan kalangan bukan pejalan kaki menjadikan trotoar sebagai tempat beraktivitas, misalnya berdagang, parkir kendaraan, "jalur ilegal" kendaraan roda dua, dan lain-lain.  

Aktivitas yang bukan pada tempatnya itu, tentu saja, berpotensi mengganggu bahkan menghambat lalu-lintas pejalan kaki. Belum lagi, tidak jarang terjadi, sebagian PKL seakan melakukan aktivitas secara permanen (berkelanjutan) dengan dasar berupa bukti retribusi sebagai "dasar hukum"-nya.

Dengan selembar bukti retribusi, tidak jarang, sebagian PKL "merasa" hak mereka dilindungi oleh hukum. Sebagian malah menjadikan secarik retribusi sebagai "surat sakti" (katebelece) untuk "menguasai" sebagian trotoar. Padahal, yang paling berhak atau berwenang menggunakan trotoar adalah pejalan kaki, dan jumlah pejalan kaki jauh lebih banyak daripada jumlah PKL pada sebidang trotoar.

Satu pemeo yang berlalu-lalang dalam pergaulan masyarakat, yaitu "hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas". Dalam kasus PKL, pemeo tersebut seakan dimentahkan sendiri oleh kalangan "ke bawah". Sebab, meskipun jelas secara konstitusional (de jure), pada kenyataannya (de facto) tidak sedikit PKL melanggar aturan, menjadikan trotoar sebagai tempat beraktivitas komersial secara berkelanjutan, dan sama sekali kurang menghargai pejalan kaki yang sebenarnya berhak mutlak atas esensi-fungsi trotoar.

Tidak jarang PKL yang semula membuka lapak seukuran kecil, semisal 1 x 1,5 meter persegi, lambat laun luasannya bisa berkembang, bahkan bisa menghabiskan badan trotoar. Sementara pemerintahan daerah setempat belum gencar mensosialisasikan aturan mengenai luas lapak PKL. Atau, mungkin, memang tidak pernah ada aturan mengenai luasan lapak PKL.

 Lantas, pejalan kaki "terpaksa" melintas di jalan kendaraan karena ketiadaan ruang gerak akibat lapak PKL yang "memakan" badan trotoar, bahkan kendaraan roda dua pun melintas di trotoar seperti kisah seorang anak 9 tahun yang menghadang lalu-lintas motor di sebuah trotoar Jalan Sudirman, Kalibanteng, Semarang, pada Jumat, 15 April 2016. Hal ini tentunya bisa berisiko buruk terhadap keselamatan jiwa pejalan kaki.

Dalam Otomania.Com, edisi Minggu, 29 Mei 2017, Training Director Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) Jusri Pulubuhu secara tegas berkata, "Dasar hukumnya, trotoar adalah hak pejalan kaki. Ada juga peraturan daerah tentang pengaturan transportasi yang juga mencakupi aturan-aturan yang sama. Mengingat trotoar adalah hak pejalan kaki maka aktivitas selain berjalan seharusnya tidak boleh dilakukan, misalnya jadi tempat parkir kendaraan atau lalu lintas darurat sepeda motor. Pengemudi kendaraan juga sepantasnya menyadari mengeksploitasi trotoar adalah perampasan hak pejalan kaki."

Solusi

Memberi solusi, ada kalanya, seolah membalikkan telapak tangan. "Teoretis," tuding sebagian orang. Apalagi, menimbang, bahwa keberadaan PKL pun turut membantu situasi perekonomian daerah bahkan negara, terlebih pada saat krisi moneter 1998 silam.

Tetapi, apakah dengan membiarkan situasi trotoar yang telah "mengorbankan", baik hukum-aturan-konstitusi maupun sekalangan manusia yang paling berhak (pejalan kaki), lantas wajar-wajar saja semua itu, apalagi jika dikaitkan dengan pemeo "hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas"? Tentu tidak boleh begitu, 'kan?

Yang paling wajar, pertama, adalah penyadaran kepada masing-masing kalangan, baik pejalan kaki, PKL, "pebisnis parkir", aparat terkait, dan masyarakat umum mengenai esensi dan fungsi trotoar. Sebab, tanpa adanya kesadaran itu, biasalah kalau terjadi pro-kontra, debat kusir, dan lain-lain, yang ujung-ujungnya tetap tidak mendasar (substansial) secara kemanusiaan dan aturan hukum formalnya.

Kedua, pejalan kaki paling berhak atas fungsi trotoar. Jumlah pejalan kaki pun jauh lebih banyak dibandingkan dengan PKL yang berada di trotoar. Artinya, pejalan kaki pun memahami dan menyadari mengenai haknya atas keberadaan trotoar.

Ketiga, pemerintah daerah setempat beserta aparaturnya berkewajiban mengelola tata ruang-wilayahnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Mungkin dengan prosentase, semisal 70% untuk pejalan kaki dan 30% untuk PKL atau aktivitas "bisnis" lainnya. Itu pun, sebenarnya, tetap "merusak" esensi dan fungsi. Kalau seorang pejalan kaki satu arah membutuhkan lebar ruang sekitar 0,8 meter, ditambah dari arah sebaliknya yang juga 0,8 meter, dengan asumsi masing-masing membawa barang bawaan atau menggandeng anak, maka sebenarnya 1,5 meter alias lebar umumnya trotoar cukup untuk pejalan kaki. Kalau lebar trotoar 2 meter, berarti tersisa 0,5 meter. Bukankah 0,5 meter biasanya belum terhitung dengan tiang listrik, tata vegetasi, dan lain-lain?

Keempat, tokoh-tokoh masyarakat setempat pun berkewajiban memberi penyadaran kepada masyarakat di wilayah setempat. Rasa kemanusiaan terhadap PKL bukanlah berarti wajar "mengorbankan" para pejalan kaki. Apalagi, kalau pura-pura "atas dasar kemanusiaan" padahal "bawah sadar setoran (jual-beli wilayah)" lantas "mengorbankan" kalangan yang paling berhak. 

Kelima, para PKL sewajarnya sadar diri lalu berbagi ruang dengan pejalan kaki karena justru sebenarnya trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki. Trotoar yang dibangun menggunakan APBD bukanlah untuk tempat berdagang (bisnis). Artinya, secara fisik ukuran lapak PKL harus lebih kecil daripada ukuran lalu-lintas pejalan kaki. Segala perabot berjualan, selain berukuran harus lebih kecil, juga bisa segera dikemas untuk dibawa pergi lagi.

Keenam, masyarakat umum sebaiknya juga memahami dan menyadari mengenai hak-kewajiban, dan aturan hukum yang mengikat, sehingga keberpihakan pun memiliki dasar yang sebenarnya. Ya, tidak jarang, keberpihakan justru semakin merunyamkan persoalan yang tidak semestinya menjadi masalah selanjutnya hingga berkembang biak sampai membuahkan konflik horisontal.

Ketujuh, penting sekali dilakukan perbaikan ulang (revisi) mengenai perencanaan tata ruang kota atau wilayah, dan aturan daerah yang lebih optimal sekaligus bervisi melampaui waktu sesaat berkaitan dengan trotoar, termasuk yang sudah ada agar trotoar pun tidak justru menjadi "medan kewaspadaan" seperti yang pernah dituliskan Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang (2003). Para pengelola wilayah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, duduk bersama untuk mendapatkan solusi yang berjangka panjang demi keselarasan hidup bersama di daerah setempat.

Demikian kira-kira tulisan mengenai trotoar, yang masih banyak kekurangannya ini. Mohon kritik atau saran. Terima kasih.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun