“Tamatan sekolah tinggi?”
“Hush! Abang ini lho, ngawur.”
“Pintarnya bagaimana?”
Istri saya pun menceritakan apa yang pernah diceritakan Eva. Bapaknya anak anjing itu pernah memberi tahu orangtuanya Eva melalui gonggongannya yang berulang-ulang. Ternyata atap seng bagian belakang rumah mereka sudah menganga karena diterpa angin kencang beberapa hari sebelumnya. Juga sewaktu adanya keran belakang rumah mereka yang bocor, dan air tergenang sampai mata kaki orang dewasa.
“Tidak perlu sekolah tinggi saja sudah begitu, ya?”
“Itu mungkin sebagian kepintaran bapaknya, Bang. Eh, Abang sudah sudah dapat namanya, belum?”
“Sudah. Namanya Boy.”
Saya pun menjelaskan alasan berkaitan nama itu untuk anak anjing kami. Alasan nama itu saya kenakan adalah, pertama, tetangga kami tidak ada yang bernama Boy. Kedua, Boy merupakan nama yang umum dipakai di kampung halaman saya nun di seberang sana untuk menyebut seorang pemuda yang belum atau tidak dikenal, yang disapa secara akrab dengan sebutan itu. Jadi, menurut saya, amanlah nama itu di pulau berbeda ini.
“Wah, gampang juga manggilnya, Bang.”
***
Tiga bulan kemudian istri saya ditelpon oleh Eva. Kata Eva, ia ingin melihat perkembangan anjing pemberiannya, mumpung ada libur ditambah satu hari kejepit yang bisa dianggap libur juga. Selain itu, ia ingin mengenalkan calon suaminya, yang baru tiga bulan resmi menjadi pacarnya. Masih terhitung tetangganya.