Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Boy

10 Juni 2017   14:13 Diperbarui: 10 Juni 2017   14:15 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepulang dari tempat kerja saya diberi tahu istri saya. Katanya, kawannya, yang bernama Eva, mau datang, dan membawakan seekor anak anjing jantan berusia satu bulan. Kalau tidak keliru, satu bulan lalu istri saya sempat menyampaikannya.

“Bukan anjing ras atau anjing jenis terkenal, Bang. Cuma anjing kampung biasa.”

“Yang penting bisa bantu menjagamu kalau tidur siang.”

“Nggak cuma kalau tidur siang. Kalau sedang di dapur, dia bisa jaga halaman depan. Tapi kita belum menyiapkan namanya.”

“Kalau Demun, bagaimana?”

Istri saya tidak setuju. Menurutnya, sangat tidak elok memberi nama binatang diambil dari nama tetangga, apalagi terdekat, dan untuk nama anjing. Kalau suatu waktu kami memanggil nama itu lalu didengar tetangga dan tetangga lainnya, nanti langsung dianggap menghina tetangga. Jangankan nama tetangga, nama anggota keluarga atau si pemilik pun belum tentu disematkan untuk nama anjing.

“Pokoknya, Bang, jangan sampai ada nama yang sama, apalagi Demun.”

***

Saya memang sedang ‘bermusuhan’ dengan Demun, tetangga sebelah. Gara-gara kucing kesayangan keluarganya. Pasalnya, kucing mereka–entah diberi nama apa–pernah berak di halaman samping rumah kami pada suatu Minggu pagi. Pada siang hari kotorannya dipanggang matahari, dan aromanya dibawa angin masuk rumah kami. Kebetulan waktu itu kami sedang makan siang.

Semula saya kira, kotorannya berada di halaman samping rumah mereka yang bersebelahan dengan rumah kami. Sore harinya saya temukan kotorannya justru berada di halaman samping rumah kami.

Dasar kucing nggak pernah sekolah! Maki saya dengan spontan.

Semula saya pun mengira cukup Minggu itu kucing mereka berak di halaman samping rumah kami. Ternyata dilanjutkan pada Senin, Selasa, dan… Alangkah dongkolnya saya!

Suatu hari, ketika kucing mereka hendak mengulangi perbuatannya, saya berhasil menyiramnya dengan air bekas mencuci baju. Kucing mereka meloncat karena kaget tapi badannya telanjur kuyub. Saya tertawa sepuas hati.

Mengenai adanya anak anjing nanti, istri saya juga sempat mengingatkan, kalau anjing kami melakukan kesalahan karena belum terdidik, misalnya kencing atau berak sembarangan, lantas dikhawatirkannya saya akan menyiram dengan air cucian lagi sambil membayangkan wajah Demun. Parahnya lagi kalau saya tambah dengan memaki, “Dasar anjing kau, Demun!”

Dengan adanya anjing, kami yakin, kucing brengsek itu tidak akan berani datang dan menganggap halaman samping rumah kami adalah toiletnya. Selain kucing apalagi orang asing, menurut istri saya, anjing juga peka terhadap kehadiran hewan lain, misalnya ular, biawak, dan lain-lain.

Namun saya tidak mau menyinggung satu lagi yang dipekakan oleh anjing. Hantu atau makhluk halus, tentunya. Soalnya, kalau ternyata suatu waktu kelak anjing kami melolong karena melihat makhluk halus, bisa hilang kantuk saya.

***

Seekor anak anjing dengan warna bulu belang. Putih dan coklat. Badannya gempal. Tatapan matanya sangat jenaka. Baru dua hari tinggal di rumah kami.

Istri saya mulai mengajari anak anjing kami dengan melempar sandal jepit. Lalu anak anjing itu mengejar, dan menyeret sandal itu menuju istri saya. Beberapa kali istri saya mengulangnya, dan anak anjing itu pun mengembalikannya. Badan gempalnya berlari sana-sini.

“Lucu sekali, ‘kan, Bang?”

“Ya, iyalah. Masih usia segitu memang masih lucu-lucunya.”

“Biarpun anjing kampung, induk dan bapaknya pintar, Bang.”

“Tamatan sekolah tinggi?”

“Hush! Abang ini lho, ngawur.”

“Pintarnya bagaimana?”

Istri saya pun menceritakan apa yang pernah diceritakan Eva. Bapaknya anak anjing itu pernah memberi tahu orangtuanya Eva melalui gonggongannya yang berulang-ulang. Ternyata atap seng bagian belakang rumah mereka sudah menganga karena diterpa angin kencang beberapa hari sebelumnya. Juga sewaktu adanya keran belakang rumah mereka yang bocor, dan air tergenang sampai mata kaki orang dewasa.

“Tidak perlu sekolah tinggi saja sudah begitu, ya?”

“Itu mungkin sebagian kepintaran bapaknya, Bang. Eh, Abang sudah sudah dapat namanya, belum?”

“Sudah. Namanya Boy.”

Saya pun menjelaskan alasan berkaitan nama itu untuk anak anjing kami. Alasan nama itu saya kenakan adalah, pertama, tetangga kami tidak ada yang bernama Boy. Kedua, Boy merupakan nama yang umum dipakai di kampung halaman saya nun di seberang sana untuk menyebut seorang pemuda yang belum atau tidak dikenal, yang disapa secara akrab dengan sebutan itu. Jadi, menurut saya, amanlah nama itu di pulau berbeda ini.

“Wah, gampang juga manggilnya, Bang.”

***

Tiga bulan kemudian istri saya ditelpon oleh Eva. Kata Eva, ia ingin melihat perkembangan anjing pemberiannya, mumpung ada libur ditambah satu hari kejepit yang bisa dianggap libur juga. Selain itu, ia ingin mengenalkan calon suaminya, yang baru tiga bulan resmi menjadi pacarnya. Masih terhitung tetangganya.

“Kami sedang menuju rumahmu, Lia.”

“Silakan datang, Eva. Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu.”

“Salam untuk Bang Oji.”

Saya dan istri saya menunggu di beranda sambil menikmati kicauan burung liar yang riang menyambut matahari terbit. Pagi itu si Boy masih tidur di kandangnya di samping kanan rumah kami setelah subuh tadi kelelahan diajak jalan di sekitar RT kami oleh istri saya.  

Sekitar lima belas menit berselang, sebuah mobil sedan berhenti di tepi jalan depan rumah. Kata istri saya, Eva dan calon suaminya datang. Maka kami bergegas menyongsong mereka di gerbang pagar rumah kami.

“Bagaimana tempat favorit kita?” sambut istri saya ketika Eva baru keluar dari mobil.

“Masih ramai seperti dulu, Lia.”

Eva segera berlari kecil menuju istri saya. Setelah dekat, biasalah, cipika-cipiki. Apalagi kali ini kedatangannya bersama calon suami. 

Pintu bagian supir pun terbuka, dan keluarlah seorang pria yang merupakan calon suaminya. Pria itu berjalan dengan tegap menuju kami.

Pasangan yang serasi, pikir saya.

“Kenalkan, ini Lia dan Bang Oji. Kenalkan, ini…”

“Boy,” timpal pria itu sambil menyodorkan jemari kanannya pada saya.

Seketika anak anjing kami menyalak dari arah samping rumah.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun