Semula saya pun mengira cukup Minggu itu kucing mereka berak di halaman samping rumah kami. Ternyata dilanjutkan pada Senin, Selasa, dan… Alangkah dongkolnya saya!
Suatu hari, ketika kucing mereka hendak mengulangi perbuatannya, saya berhasil menyiramnya dengan air bekas mencuci baju. Kucing mereka meloncat karena kaget tapi badannya telanjur kuyub. Saya tertawa sepuas hati.
Mengenai adanya anak anjing nanti, istri saya juga sempat mengingatkan, kalau anjing kami melakukan kesalahan karena belum terdidik, misalnya kencing atau berak sembarangan, lantas dikhawatirkannya saya akan menyiram dengan air cucian lagi sambil membayangkan wajah Demun. Parahnya lagi kalau saya tambah dengan memaki, “Dasar anjing kau, Demun!”
Dengan adanya anjing, kami yakin, kucing brengsek itu tidak akan berani datang dan menganggap halaman samping rumah kami adalah toiletnya. Selain kucing apalagi orang asing, menurut istri saya, anjing juga peka terhadap kehadiran hewan lain, misalnya ular, biawak, dan lain-lain.
Namun saya tidak mau menyinggung satu lagi yang dipekakan oleh anjing. Hantu atau makhluk halus, tentunya. Soalnya, kalau ternyata suatu waktu kelak anjing kami melolong karena melihat makhluk halus, bisa hilang kantuk saya.
***
Seekor anak anjing dengan warna bulu belang. Putih dan coklat. Badannya gempal. Tatapan matanya sangat jenaka. Baru dua hari tinggal di rumah kami.
Istri saya mulai mengajari anak anjing kami dengan melempar sandal jepit. Lalu anak anjing itu mengejar, dan menyeret sandal itu menuju istri saya. Beberapa kali istri saya mengulangnya, dan anak anjing itu pun mengembalikannya. Badan gempalnya berlari sana-sini.
“Lucu sekali, ‘kan, Bang?”
“Ya, iyalah. Masih usia segitu memang masih lucu-lucunya.”
“Biarpun anjing kampung, induk dan bapaknya pintar, Bang.”