Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Para Ibu yang Menjadi Sekolah Pertamaku

25 November 2020   00:03 Diperbarui: 25 November 2020   00:43 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istri saya berarti sekolah pertamanya anak-anak saya.  Dari istrilah saya belajar secara utuh.  Ternyata sejak dari kandungan anak kita sudah menerima pelajaran.  Apalagi bagi masyarakat kita, khususnya pada masyarakat Jawa.  Banyak yang harus dijaga ketika seorang perempuan sedang mengandung anaknya.  Proses itu saya ikuti dan nikmati sebagai suami siaga.

Ketika ada tayangan kekerasan di televisi, baik film maupun berupa berita, oleh Ibu Mertua salurannya segera dipindahkan.  Ada orang menyembelih ayam, juga dihindari, pantangan melihat darah.  Pokoknya banyak pantangan bagi ibu yang sedang hamil, harus mampu menjaga ucapan dan perilaku sebab akan berpengaruh pada anak yang sedang dikandungnya.

Tahun pertama pernikahan, kami harus berpisah karena saya bekerja di kota yang berbeda, tetapi bersyukur tiap akhir pekan bisa pulang melihat perkembangan anak dalam kandungan istri saya.  

Tangan saya sering ditempelkan ke perut istri untuk merasakan gerak dalam perutnya.  Perut istri bentuknya berubah-ubah karena gerakan bayi dalam perutnya, terutama menjelang kelahiran.  

Saat itulah saya berdoa agar persalinan lancar dan mendapat anak yang sehat, serta tentunya menjadi anak yang soleh/solehah.  Berdoa menurut para orang tua juga akan sampai kepada anak dalam kandungan dan itu artinya sudah "sekolah".  

Mengapa saat istri hamil, pasangan suami istri harus menjaga ucapan dan perilaku? Sebab anak dalam kandungan sedang "bersekolah".  

Saya cuplikan sebuah kisah, ada seorang ibu yang menyekolahkan anaknya di tempat saya mengajar.  Ibu itu adalah seorang pengawas di lingkungan pendidikan artinya sebelum menjadi pengawas beliau adalah seorang guru.  

Anak yang disekolahkan di sekolah tempat saya bekerja adalah anak bungsu.  Kakak-kakaknya sudah berhasil dan ada juga yang masih kuliah di perguruan tinggi ternama di tanah air.  Tetapi anak bungsunya bandel dan bodoh.  Mohon maaf perkataan bodoh keluarnya dari mulut Ibunya sendiri. 

Sebenarnya tidak ada yang bodoh hanya belum bisa mengembangkan potensinya. Dalam kurilulum kekinian rapor itu hanya potret, makanya ada deskripsinya yang demikian panjang lebar. 

Kembali ke anak bungsu si Ibu Pengawas, akhirnya saya menjadi tahu, ketika si Ibu dengan mata berkaca-kaca menceritakan bahwa anak bungsunya seperti itu karena kesalahannya.  Saat mengandung anaknya, ia merasa kesal pada salah seorang anak didiknya yang sangat lamban dalam belajar, keluarlah kalimat bodoh dari mulut si Ibu terhadap anak didiknya. . 

Ibu ini menyadari  telah berbuat zalim kepada anak didiknya.  Balasannya, ibu itu menghadapi anaknya sendiri yang bandel dan lamban dalam memahami materi pelajaran.  Kisah ini membuktikan bagaimana seorang perempuan yang sedang hamil harus menjaga ucapannya. Beruntung Ibu Pengawas tadi menyadari kesalahannya dan mencari jalan untuk menebus kesalahannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun