Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Para Ibu yang Menjadi Sekolah Pertamaku

25 November 2020   00:03 Diperbarui: 25 November 2020   00:43 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu pernah menyampaikan: "Kalau Dang (sebutan sayang pada anak, dari kata Adang) tidak punya uang dan melihat orang lain jajan, jangan culametan (serba ingin), segera pulang ke rumah.  Jangan karena lapar kemudian tidak punya harga diri". Itu pesan Ibu yang masih terngiang sampai sekarang.

Bagi saya sosok Ibu adalah sosok penanam karakter atau akhlak yang baik.  Ini sejalan dengan keseimbangan antara logika dengan perasaan. 

Bukankah ada nasehat yang menyatakan character is more important than intelligence? Kesuksesan seseorang akan ditentukan oleh karakternya. Hal ini berkaitan dengan kecerdasan emosional yang ternyata menjadi faktor penentu dibandingkan dengan faktor kecerdasan intelektual.

Kasih Sayang Nenek pada Cucunya | lovepik.com
Kasih Sayang Nenek pada Cucunya | lovepik.com
Ibunya Ibu (Nenek) dan Diplomasi Rokok 

Beliaulah orang yang berjasa mengantarkan saya untuk belajar di jenjang formal. Usia saya saat itu sudah lewat dari usia sekolah, mendekati 8 tahun. 

Saat itu seleksi masuk SD adalah dengan memegang kuping dengan tangan melewati kepala secara melingkar. Kuping kiri harus dipegang dengan tangan kanan atau sebaliknya. Karena badan saya ketika itu kecil, tangan tidak pernah sampai untuk memegang telinga dengan cara tadi.  

Di situlah Nenek tampil, mengantar saya bersama Ibu untuk daftar ke sekolah dasar, kita bertiga naik becak menuju sekolah yang dituju.  Itu terjadi di tahun 1975, sekolah masih jarang, belum ada sekolah Inpres. 

Saya sampai sekarang masih ingat guru yang menerima pendaftaran, dengan susah payah saya bisa memegang kuping secara bersilangan. Ternyata itu saja tidak cukup, nenek ternyata saat itu membawa satu slop rokok sebagai bagian dari diplomasi agar saya diterima.  Satu slop rokok berisi sepuluh bungkus. Saya ingat gambar bungkus rokoknya yang ada gudang dan relnya.   

Dulu adalah kebiasaan masyarakat kita untuk mengucapkan terima kasih, nenek khawatir saya yang sudah melewati batas usia sekolah masih juga tidak diterima untuk bisa bersekolah.  Meskipun saya masuk sekolah dengan diplomasi rokok, saya sampai sekarang adalah satu-satunya anak  yang tidak merokok. Saya sepuluh bersaudara, lima laki-laki dan lima perempuan.  Empat saudara laki-laki semuanya perokok.

Nenek memang sosok ulet, hidup sendirian karena sejak saya lahir saya tidak mengenal sosok Kakek dari jalur Ibu saya. Kata orang keuletannya ini turun dari buyut saya yang asli dari Solo Jawa Tengah. Beberapa hal sampai sekarang saya ingat, nenek suka melafalkan primbon Jawa. Itulah Ibu yang berperan dalam perjalanan sekolah formal saya.

Repotnya Seorang Ibu | brightside.me
Repotnya Seorang Ibu | brightside.me
Ibunya Anak-anak Saya (Istri) yang Selalu Mau Direpotkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun