Dalam menulis tentang Ibu saya tidak akan mencari referensi lain. Â Saya hanya ingin menulis kenangan-kenangan terbaik dari para sosok Ibu yang terekam dengan baik dalam ingatan saya. Ada empat sosok Ibu yang ingin saya tuliskan, Ibu kandung saya, Nenek dari pihak Ibu, Â Ibu dari anak-anak saya dan Ibu mertua.
Dalam menuliskan topik tulisan "Ibu, Sekolah Pertamaku", maka ini bisa Ibu kandung, Ibunya Ibu, Â istri saya sebagai Ibu anak-anak saya dan Ibu mertua sebagai Ibu dari istri saya yang akan saya uraikan perannya masing-masing. Â Inilah ceritanya.
Ibu Kandung dan Dongeng-dongeng Terbaiknya
Inilah sekolah saya dengan Ibu, memberikan dongeng-dongeng terbaiknya. Baik dongeng lokal maupun dongeng yang sudah dikenal luas di masyarakat.Â
Salah satu dongeng favorit saya adalah dongeng yang berjudul "Dalem Boncel". Dongeng tentang anak yang mengembara ke kota untuk mengubah nasib kehidupannya yang diliputi kemiskinan. Â
Singkat cerita Boncel diterima bekerja sebagai penyambit rumput untuk kuda-kuda di lingkungan kantor Bupati. Â Boncel seorang yang sangat ulet dan gigih, di malam hari ia lanjutkan dengan belajar membaca dan menulis. Â Boncel belajar dengan sangat tekun, dengan perjuangannya itu Boncel dapat menduduki posisi sebagai seorang Dalem (Bupati).
Orang tua Boncel di kampung yang mendengar kesuksesan anaknya ingin menemuinya. Â Dengan penuh kerinduan mereka berangkat dari kampungnya. Â Sayangnya Boncel tidak mengakui kedua orang tuanya karena malu, dia sudah menduduki jabatan sebagai Dalem. Â
Boncel mengusir kedua orang tuanya, dengan perasaan sedih dan hancur orang tua Boncel pulang kembali ke kampungnya. Sesudah peristiwa itu Dalem Boncel terserang penyakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh sampai ia meninggal dunia.Â
Pelajaran yang sangat berharga, bahwa kepintaran, sikap ulet tidak berarti apa-apa ketika lupa pada kedua orang tua.
Selain mendongeng Ibu juga mengajarkan semua perbuatan harus mengacu pada ajaran dan pepatah leluhur, diantaranya peribahasa dibeuweung diutahkeun, artinya setiap ucapan, tindakan sebelum dilakukan harus dipikirkan secara matang akibatnya.Â
Jaga ucapan, jaga perilaku, Â sebab sekali diucapkan tidak bisa ditarik lagi. Persis dengan pepatah mulutmu harimaumu. Â Ternyata saat ini kita dengan mudah melihat dan membaca, betapa banyak orang menyampaikan ujaran kebencian melalui media sosial tanpa memikirkan akibatnya.
Ibu pernah menyampaikan: "Kalau Dang (sebutan sayang pada anak, dari kata Adang) tidak punya uang dan melihat orang lain jajan, jangan culametan (serba ingin), segera pulang ke rumah. Â Jangan karena lapar kemudian tidak punya harga diri". Itu pesan Ibu yang masih terngiang sampai sekarang.
Bagi saya sosok Ibu adalah sosok penanam karakter atau akhlak yang baik. Â Ini sejalan dengan keseimbangan antara logika dengan perasaan.Â
Bukankah ada nasehat yang menyatakan character is more important than intelligence? Kesuksesan seseorang akan ditentukan oleh karakternya. Hal ini berkaitan dengan kecerdasan emosional yang ternyata menjadi faktor penentu dibandingkan dengan faktor kecerdasan intelektual.
Beliaulah orang yang berjasa mengantarkan saya untuk belajar di jenjang formal. Usia saya saat itu sudah lewat dari usia sekolah, mendekati 8 tahun.Â
Saat itu seleksi masuk SD adalah dengan memegang kuping dengan tangan melewati kepala secara melingkar. Kuping kiri harus dipegang dengan tangan kanan atau sebaliknya. Karena badan saya ketika itu kecil, tangan tidak pernah sampai untuk memegang telinga dengan cara tadi. Â
Di situlah Nenek tampil, mengantar saya bersama Ibu untuk daftar ke sekolah dasar, kita bertiga naik becak menuju sekolah yang dituju. Â Itu terjadi di tahun 1975, sekolah masih jarang, belum ada sekolah Inpres.Â
Saya sampai sekarang masih ingat guru yang menerima pendaftaran, dengan susah payah saya bisa memegang kuping secara bersilangan. Ternyata itu saja tidak cukup, nenek ternyata saat itu membawa satu slop rokok sebagai bagian dari diplomasi agar saya diterima. Â Satu slop rokok berisi sepuluh bungkus. Saya ingat gambar bungkus rokoknya yang ada gudang dan relnya. Â Â
Dulu adalah kebiasaan masyarakat kita untuk mengucapkan terima kasih, nenek khawatir saya yang sudah melewati batas usia sekolah masih juga tidak diterima untuk bisa bersekolah.  Meskipun saya masuk sekolah dengan diplomasi rokok, saya sampai sekarang adalah satu-satunya anak  yang tidak merokok. Saya sepuluh bersaudara, lima laki-laki dan lima perempuan.  Empat saudara laki-laki semuanya perokok.
Nenek memang sosok ulet, hidup sendirian karena sejak saya lahir saya tidak mengenal sosok Kakek dari jalur Ibu saya. Kata orang keuletannya ini turun dari buyut saya yang asli dari Solo Jawa Tengah. Beberapa hal sampai sekarang saya ingat, nenek suka melafalkan primbon Jawa. Itulah Ibu yang berperan dalam perjalanan sekolah formal saya.
Istri saya berarti sekolah pertamanya anak-anak saya. Â Dari istrilah saya belajar secara utuh. Â Ternyata sejak dari kandungan anak kita sudah menerima pelajaran. Â Apalagi bagi masyarakat kita, khususnya pada masyarakat Jawa. Â Banyak yang harus dijaga ketika seorang perempuan sedang mengandung anaknya. Â Proses itu saya ikuti dan nikmati sebagai suami siaga.
Ketika ada tayangan kekerasan di televisi, baik film maupun berupa berita, oleh Ibu Mertua salurannya segera dipindahkan. Â Ada orang menyembelih ayam, juga dihindari, pantangan melihat darah. Â Pokoknya banyak pantangan bagi ibu yang sedang hamil, harus mampu menjaga ucapan dan perilaku sebab akan berpengaruh pada anak yang sedang dikandungnya.
Tahun pertama pernikahan, kami harus berpisah karena saya bekerja di kota yang berbeda, tetapi bersyukur tiap akhir pekan bisa pulang melihat perkembangan anak dalam kandungan istri saya. Â
Tangan saya sering ditempelkan ke perut istri untuk merasakan gerak dalam perutnya. Â Perut istri bentuknya berubah-ubah karena gerakan bayi dalam perutnya, terutama menjelang kelahiran. Â
Saat itulah saya berdoa agar persalinan lancar dan mendapat anak yang sehat, serta tentunya menjadi anak yang soleh/solehah. Â Berdoa menurut para orang tua juga akan sampai kepada anak dalam kandungan dan itu artinya sudah "sekolah". Â
Mengapa saat istri hamil, pasangan suami istri harus menjaga ucapan dan perilaku? Sebab anak dalam kandungan sedang "bersekolah". Â
Saya cuplikan sebuah kisah, ada seorang ibu yang menyekolahkan anaknya di tempat saya mengajar. Â Ibu itu adalah seorang pengawas di lingkungan pendidikan artinya sebelum menjadi pengawas beliau adalah seorang guru. Â
Anak yang disekolahkan di sekolah tempat saya bekerja adalah anak bungsu. Â Kakak-kakaknya sudah berhasil dan ada juga yang masih kuliah di perguruan tinggi ternama di tanah air. Â Tetapi anak bungsunya bandel dan bodoh. Â Mohon maaf perkataan bodoh keluarnya dari mulut Ibunya sendiri.Â
Sebenarnya tidak ada yang bodoh hanya belum bisa mengembangkan potensinya. Dalam kurilulum kekinian rapor itu hanya potret, makanya ada deskripsinya yang demikian panjang lebar.Â
Kembali ke anak bungsu si Ibu Pengawas, akhirnya saya menjadi tahu, ketika si Ibu dengan mata berkaca-kaca menceritakan bahwa anak bungsunya seperti itu karena kesalahannya. Â Saat mengandung anaknya, ia merasa kesal pada salah seorang anak didiknya yang sangat lamban dalam belajar, keluarlah kalimat bodoh dari mulut si Ibu terhadap anak didiknya. .Â
Ibu ini menyadari  telah berbuat zalim kepada anak didiknya.  Balasannya, ibu itu menghadapi anaknya sendiri yang bandel dan lamban dalam memahami materi pelajaran.  Kisah ini membuktikan bagaimana seorang perempuan yang sedang hamil harus menjaga ucapannya. Beruntung Ibu Pengawas tadi menyadari kesalahannya dan mencari jalan untuk menebus kesalahannya.Â
Kembali ke Ibunya anak-anak saya, ia adalah sosok yang sangat mau direpotkan oleh anak-anaknya.  Jika ada kegiatan bersama di kantor, setiap saya perhatikan selalu paling banyak dan lengkap bawaannya, padahal hanya pergi sehari.  Mulai dari pernak-pernik kayu putih, minyak telon, tempat mandi anak yang terpisah  apalagi kalau tujuannya ke pantai.  Seorang teman perempuan nyeletuk salut katanya, kalau saya yang praktis saja.Â
Suatu saat ada kegiatan kantor dengan keluarga untuk wisata ke pantai. Â Pas sudah selesai kegiatan berenang, ternyata baru sadar betapa pentingnya membawa kelengkapan seperti yang dilakukan istri saya. Â Teman perempuan tadi meminjam (tepatnya meminta) kayu putih, shampo dan juga sabun anak.Â
Mau direpotkan oleh anak-anak saat kecilnya ternyata dipetiknya saat anak-anak sudah beranjak dewasa. Mereka sangat dekat sekali dengan ibunya. Â Kehidupan memang seperti menyusun puzzle, kita sendiri yang akan merasakan nikmatnya.
Ibu Mertua adalah sosok orang tua tunggal yang mampu mengantarkan enam anaknya lulus sarjana dari PTN ternama di tanah air. Â Pelajaran pertama dari Ibu Mertua, Â jangan pernah banggakan anak-anakmu di depan orang lain. Â
Benar saja, hampir semua orang tua yang seangkatan dengan saya selalu bercerita tentang anak-anaknya.  "Luar biasa anak saya ini ....".  "Oh anak saya ini kebanggaan kakeknya, bikin sirik sepupu-sepupunya ....".  Ucapan itu seperti saling bersahutan dan karena ingat pesan Ibu Mertua saya, saya mencoba  menahan diri tidak ikut-ikutan.Â
Mengapa Ibu Mertua berpesan seperti itu? Pesan Ibu Mertua berarti sekolah pertama bagi saya dalam berumah tangga. Â Pesan itu ternyata sangat dahsyat maknanya.Â
Pertama, ketika kita berkumpul dengan teman-teman ada yang belum menikah, ada yang sudah menikah tapi belum dikaruniai anak, ada yang sedang berduka karena keguguran, dan sebab-sebab lainnya. Â Kedua, ini memang pesan ajaran agama jangan membanggakan keturunan, sebab bisa jadi ia adalah bagian dari ujian. Â Kita tetap harus bersyukur sekaligus waspada, dan waktulah yang akan membuktikannya.
Demikian cerita tentang ibu-ibu hebat sebagai sekolah pertama bagi saya. Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh perempuan. Berbahagialah menjadi Ibu yang tempatnya tidak akan pernah tergantikan.  Ia mendapat tempat istimewa di hati anaknya.  Untuk seluruh  pengorbanannya pengganti terbaik bagi Ibu adalah surga dari Yang Maha Kuasa.Â
Tulisan ini juga sekaligus untuk menyambut Hari Guru Nasional yang diperingati tiap tanggal 25 November, khusus kepada para Guru Perempuan jadilah Ibu bagi anak-anak didiknya. Â Mudah-mudahan dedikasimu menjadi jalan kemudahan bagi anak-anak kandungmu dalam mengarungi kehidupannya.
Salam hormat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI