Lucas menatap langit-langit kamarnya dengan gelisah. Perutnya bergemuruh, menuntut untuk diisi. Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam, tapi rasa lapar tak kunjung pergi. Dia menoleh ke arah Tam, teman sekamarnya yang tertidur pulas di ranjang sebelah.
"Tam, bangun!" bisik Lucas sambil mengguncang pelan bahu temannya.
Tam mengerjapkan matanya, setengah sadar. "Ada apa, Lucas?" tanyanya dengan suara serak.
"Aku lapar sekali. Ayo kita ke dapur, ambil makanan," ajak Lucas penuh harap.
Tam langsung terduduk, matanya terbelalak. "Kau gila? Dapur sudah dikunci, dan kita dilarang ke sana malam-malam. Bisa-bisa kita dihukum Pak Salvador!"
Lucas mendesah kecewa. Tapi tekadnya sudah bulat. Dia harus mendapatkan makanan malam ini juga. "Baiklah, kalau kau tak mau ikut. Aku akan pergi sendiri."
Dengan langkah mengendap-endap, Lucas keluar dari kamar. Koridor panti asuhan sunyi senyap. Dia berhenti di depan kamar Pak Salvador, pengasuh mereka. Dengan jantung berdebar kencang, Lucas memberanikan diri membuka pintu kamar itu perlahan.
Pak Salvador mendengkur halus. Lucas menyusup masuk, matanya mencari-cari kunci dapur yang biasa tergantung di dekat meja kerja. Begitu menemukannya, dia segera keluar dan bergegas menuju dapur.
Pintu dapur terbuka tanpa suara. Lucas tersenyum lebar melihat lemari pendingin dan rak-rak berisi makanan. Dia mengambil beberapa roti, selai, keju, dan buah-buahan. Tangannya penuh dengan berbagai makanan saat kembali ke kamar.
"Tam, lihat apa yang kubawa!" seru Lucas dengan bangga.
Tam terbangun, terkejut melihat Lucas dengan makanan sebanyak itu. "Lucas! Kau benar-benar melakukannya? Ini gila!"