Klisenya tulus tapi realitanya itu bulus yang dibungkus.
Karena jika tulus tak terbalas, kecewa yang didapat !
Semisal dalam kehidupan sebagai anak yang baru merintis karier atau fresh graduate, lalu berusaha tulus melakukan segala pekerjaan dan hal positif untuk mengisi waktu luang atau mengejar cita-cita, berharap dapat membuat orang tua senang.
Tapi kenyataannya, masih saja ditagih kapan dapat kerjaan yang sehari-hari kerja menggunakan dasi, pergi pagi pulang sore, sabtu minggu libur, ya minimal PNS.
Sepertinya tulus, tapi tetap saja menjunjung simbiosis mutualisme.
Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.
Subjektifnya, berharap tulus dibarengi dengan penguatan jujur dalam penyampaian, keinginan atau sebab akibat.
Sebagaimana orang tua (Tulus) menghidupi kita, menyekolahkan, memberikan uang dan kalau bisa segalanya diturunkan ke anak-anaknya.
Bukan hanya berpegang kata tulus, tapi lebih ke rasional tanggung jawab.
Berharap jika menuntaskan tanggung jawab tersebut, si anak dapat sukses, beguna bagi Agama dan Negara.
Niscaya nama baik dan gengsi keluarga akan meningkat, lalu  outputnya orang tua mendapatkan tempat yang layak ketika di Akhirat nanti.