Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa Itu Moha? Coba Tanyakan Kepada Lobha dan Dosa

16 Oktober 2022   05:08 Diperbarui: 16 Oktober 2022   06:53 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa Itu Moha? Coba Tanyakan Kepada Lobha dan Dosa (gambar: nytimes.com, diolah pribadi)

Bisa mendefinisikan kebencian? Itu adalah perasaan tidak suka, tidak menyenangi. Jika mau ditambahkan lagi, kebencian bisa menimbulkan rasa muak, senggol dikit bacok, dan perasaan tidak enak yang sebisanya dihindari.

Bisa mendefinisikan keserakahan? Itu adalah keinginan untuk memiliki lebih dari yang sudah dimiliki, bahkan jika sudah menjadi milik orang lain. Bisa juga berarti tidak merasa puas dengan kondisi saat ini sehingga selalu ingin lebih tanpa mempertimbangkan kemampuan atau kenyataan.

Nah, kedua defenisi ini ada bahasa Pali-nya. Yakni Dosa (untuk kebencian) dan Lobha (untuk keserakahan). Kedua istilah ini adalah bagian dari Tiga Akar Kejahatan (Ti-Akusalamula) dalam filsafat Buddhisme.

Lalu, satunya di mana?

Ini yang akan saya bahas tersendiri. Faktor ketiga dari Tiga Akar Kejahatan disebut dengan Moha. Terjemahannya adalah Kebodohan Batin.

Mengapa saya membahas Moha secara khusus? Bukannya mengecilkan pemahaman saya terhadap dosa dan lobha. Tapi, sejujurnya dari ke-Tiga Akar Kejahatan, saya masih sering bingung dengan istilah Moha.

Dalam KBBI, bodoh disebut sebagai tidak cepat mengerti, tidak mudah mengetahui, atau tidak dapat [melakukan, mengerjakan, menyelesaikan, dsb]. Sementara Kebodohan didefenisikan sebagai sifat-sifat bodoh plus kesalahan dan kekeliruan.

Nah, jika Moha memiliki pemahaman yang sama dengan bodoh sebagaimana yang kita ketahui, maka hanya orang yang beritelegensi tinggi saja yang bisa menghindari akar kejahatan? Bukankah demikian?

[Setidaknya itu adalah awal pemahamanku terhadap istilah Moha]

Nyatanya, memang diriku salah.

Dalam berbagai literatur Buddhisme, disebutkan jika istilah Kebodohan dari Moha bukanlah kebodohan sebagaimana defenisi umum, tetapi bodoh batinnya.

Seperti apakah itu? Mari kita bahas.

Bisakah kamu membedakan perbuatan baik dan buruk? Tentu bisa. Misalkan, mencuri jelas adalah kejahatan. Tidak bisa diterima di masyarakat, ada undang-undang pidana yang mendefenisikannya, dan katanya sih, malaikat juga bisa marah.

Tapi, bagaimana dengan Bejo (nama samaran)? Ia adalah seorang pencuri professional yang tinggal di lingkungan pencuri. Bagi komunitasnya, mencuri itu dimaklumi, terbentuk sebagai keahlian, dan menjadi satu-satunya cara untuk mencari nafkah.

Mungkin ya... Di dalam lingkungan itu, mencuri tidaklah terlalu jahat. Sebabnya "mata pencaharian" tersebut bisa menghidupkan kepada puluhan hingga ratusan orang. Bukankah ada alasan kebaikan di balik aksi tidak terpuji itu?

Benarkah demikian?
Ada contoh lainnya lagi.

Si Parno (nama samaran) adalah seorang yang memiliki posisi yang penting di kantornya. Hingga suatu waktu ia berbuat kesalahan yang cukup fatal. Tidak memeriksa dengan cermat dokumen legal yang ia tanda tangani. Akhirnya, perusahaannya berurusan dengan masalah hukum.

Semua pimpinan, kolega, dan bawahannya setuju, Parno tidak bisa masuk penjara. Risiko terhadap perusahaannya terlalu besar. Akhirnya mereka pun bersekongkol. Seorang staf biasa di departemen legal dijadikan kambing hitam. Parno selamat dari jeratan hukum, begitu pula dengan perusahaannya. Nasib seratusan orang berhasil diselamatkan dari skenario persekongkolan tersebut.

Benarkah demikian?
Ini contoh tambahan lagi.

Coba pikirkan, kapan terakhir kali kita antri? Mungkin pada tempat yang mengharuskan antri. Begitu pula dengan Alex (nama samaran). Tapi, tidak jika orang-orang di sekitarnya mulai tidak disiplin.

Apa yang terjadi? Pilihan Alex hanya dua. Tetap antri dan entah sampai kapan selesai, atau ikut-ikutan menyerobot karena aturan sudah dibuat untuk dilanggar. Nah...

Dengan mengacu kepada ketiga kasus di atas, apakah si Alex, Bejo, dan Parno masih bisa berkata jika kebenaran adalah kebenaran jika keadaan memang mendesak, atau jika memang tidak ada yang mengatakan jika itu salah?

Apakah yang terjadi?

Saya tidak dalam posisi menilai apakah Bejo, Parno, atau Alex bersalah. Ini adalah masalah batin. Mereka masih memiliki pilihan untuk tetap memelihara Moha atau membuangnya jauh-jauh.

Dan dasarnya memang demikian, manusia memiliki pertimbangan. Jika masih ada pilihan, kenapa harus jadi "korban?" Jika masih ada jalan, mengapa harus "pasang badan?"

Tapi saya akhirnya tersadarkan, mengapa Moha bisa digolongkan sebagai salah satu dari Tiga Akar Kejahatan. Karena sesungguhnya seluruh perbuatan yang tidak terpuji telah terkontaminasi oleh campuran racun Lobha, Dosa, dan Moha.

Tiga akar kejahatan ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Ketiganya adalah paket lengkap yang mendorong tindak kejahatan.

Bukankah Bejo serakah dengan mengambil milik yang bukan haknya? Demikian pula dengan Parno yang takut dipenjara dan Alex yang benci menunggu?

Mengapa ini Terjadi?

Jadi begini sobat, saya, kamu, kamu, dan kamu bisa saja nyinyir kepada Bejo dan contoh lainnya. Tapi jangan lupa, kita bukanlah Aku dalam versi mereka. Andaikan kita dihadapkan dengan situasi yang sama, cobalah jujur! Seperti apakah kita akan melangkah?

Wajarlah, sejak zaman baru belajar berbicara, manusia sudah tidak senang bertemu dengan hal-hal yang tidak disuka, dan tidak senang berpisah dengan hal-hal yang disayang.

Thus, terjadilah keinginan untuk terus menerus mencari kesenangan. Apapun caranya, semua akan ditempuh. Yang penting kepuasan panca indera terpenuhi. Tidak ingin terjadi perubahan. Jika perlu, selamanya menjadi rupawan, kuat, sehat, terkenal dan kaya raya. Semuanya ingin digenggam erat-erat.

Sayangnya, tidak semua hal bisa mendukung apa yang diinginkan. Lalu, jika sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan menghampiri, timbullah kekesalan, kekecewaan, ketidakpuasan, dan hal-hal sejenisnya. Apa yang sudah melekat tidak ingin dilepas lagi.

Penyebabnya pun dicari. Kadang berupa obat kuat, perawatan kecantikan, hingga melenyapkan orang-orang yang memiliki niat jahat dengan kita.

Lalu si "Aku" mulai memikirkan mekanisme untuk memproteksi diri dan orang-orang yang disayangi. Curiga kepada mereka yang jahat, konon bisa menghindari diri dari mara bahaya. Perasaan was-was selalu berada dalam status "mode-on." Katanya biar orang lain tidak bisa menelikung.

Berkembang lagi, berkembang lagi...

Keberhasilan yang dicapai oleh orang lain menjadi demotivasi pengembangan diri. Jika tetangga pamer mobil baru, itu adalah penghinaan!

Akhirnya tidak bisa tidur sepanjang malam, si tukang pamer pun menjadi sasaran balas dendam. Doa dipanjatkan, semoga kompleks rumah banjir. Biar hanyut tuh sekalian mobil listriknya.

Wajar? Tentu saja karena ini menyangkut aku. AKU Lho!

Mari kita merenung...

Bagaimana jika kita berpuas diri dengan mengendarai mobil butut dua belas tahunan? Siapa yang mau menghina? Apakah si tetangga akan nyinyir ala mak lampir? Atau itu hanya perkiraanmu saja?

Cobalah berkunjung ke sana. Lihatlah mobil idamanmu di sana. Siapa tahu dibalas pula dengan senyuman menawan. Enak nian tuh perasaaan. Itu namanya metta bhavana, alias mengembangkan cinta kasih. Jurus ini bisa digunakan untuk mencegah timbulnya kebencian (dosa).

Apa sih salahnya menjadi tua? Itu kan proses hidup? Kalau sudah keriput, biarkanlah itu jadi mainan anak cucu. Syukur-syukur kita belum jadi mayat yang mengerucut. Itu namanya mengembangkan sikap santutthi, alias merasa puas dengan apa yang dimiliki. Sembari berharap keserakahan (lobha) akan jauh pergi.

Lalu bagaimana resep untuk mengobati Moha? Jika dosa sudah bisa diatasi, lobha sudah bisa ditelikungi, maka ketenangan batin pun mulai muncul. Batin yang tenang akan memudahkan diri untuk mengembangkan Panna. Alias kebijaksanaan untuk melihat dengan jelas perbedaan kebaikan dan keburukan.

Jadi memang benar. Dosa, Lobha, dan Moha memang bisa didefenisikan secara berbeda. Tapi, mereka adalah tiga sekawan yang tak terpisahkan. Jika salah satu dipelihara, lainnya pun akan mengekor.

Mari kita mulai mengembangkan praktik meditasi Vipassana Bhavana. Menjalani hidup dengan selalu berkesadaran. Istilah kerennya Mindfulness.

Hingga pada akhirnya kita harus menyadari adanya anicca, alias prinsip ketidakkekalan. Tidak perlu menunggu sampai tua hingga perubahan terjadi. Setiap detik, hidup kita sudah melalui proses kelapukan.

Lalu kita menjadi sadar, mau dipaksa seperti apa, bukanlah Aku yang menentukan. Tidak semua berjalan sesuai dengan keinginanKu. Dan akhirnya siapakah Aku yang sebenarnya? Ia adalah Anatta, alias semuanya bukan tentang Aku.

Jika tetap dipaksa, datanglah penderitaan. Tidak bisa menerima kenyataan dan melawan kodrat. Makanya Dukkha itu ada. Ia adalah sejenis setan yang berasal dari keinginan yang tiada habisnya. Seperti kata londo, "I want more and more and more..."

Sampai di sini sudah paham? Jika belum, bodo amat! Yang menderita kan juga elu-elu!

Waduh! Tanpa sadar batinku baru saja ber-MOHA-ria, berdendang LOBHA, dan berdansa dengan DOSA. Ah, semoga saya senantiasa terbebas dari kilesa, kekotoran batin yang menjadi sarang dari Tiga Akar Kejahatan.

Demikian pula dengan semua yang membaca tulisan ini. Semoga kita semua hidup berbahagia.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Sadhu... Sadhu... Sadhu...

**

Disklaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak merepresentasekan filsafat Budhhisme secara utuh.

**

Makassar, 16 Oktober 2022
Penulis: Rudy Gunawan, Kompasianer Mettasik

Bahkan Angka Pun Tidak Serumit Pikiran

 

Referensi: 1 2 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun