Penyebabnya pun dicari. Kadang berupa obat kuat, perawatan kecantikan, hingga melenyapkan orang-orang yang memiliki niat jahat dengan kita.
Lalu si "Aku" mulai memikirkan mekanisme untuk memproteksi diri dan orang-orang yang disayangi. Curiga kepada mereka yang jahat, konon bisa menghindari diri dari mara bahaya. Perasaan was-was selalu berada dalam status "mode-on." Katanya biar orang lain tidak bisa menelikung.
Berkembang lagi, berkembang lagi...
Keberhasilan yang dicapai oleh orang lain menjadi demotivasi pengembangan diri. Jika tetangga pamer mobil baru, itu adalah penghinaan!
Akhirnya tidak bisa tidur sepanjang malam, si tukang pamer pun menjadi sasaran balas dendam. Doa dipanjatkan, semoga kompleks rumah banjir. Biar hanyut tuh sekalian mobil listriknya.
Wajar? Tentu saja karena ini menyangkut aku. AKU Lho!
Mari kita merenung...
Bagaimana jika kita berpuas diri dengan mengendarai mobil butut dua belas tahunan? Siapa yang mau menghina? Apakah si tetangga akan nyinyir ala mak lampir? Atau itu hanya perkiraanmu saja?
Cobalah berkunjung ke sana. Lihatlah mobil idamanmu di sana. Siapa tahu dibalas pula dengan senyuman menawan. Enak nian tuh perasaaan. Itu namanya metta bhavana, alias mengembangkan cinta kasih. Jurus ini bisa digunakan untuk mencegah timbulnya kebencian (dosa).
Apa sih salahnya menjadi tua? Itu kan proses hidup? Kalau sudah keriput, biarkanlah itu jadi mainan anak cucu. Syukur-syukur kita belum jadi mayat yang mengerucut. Itu namanya mengembangkan sikap santutthi, alias merasa puas dengan apa yang dimiliki. Sembari berharap keserakahan (lobha) akan jauh pergi.
Lalu bagaimana resep untuk mengobati Moha? Jika dosa sudah bisa diatasi, lobha sudah bisa ditelikungi, maka ketenangan batin pun mulai muncul. Batin yang tenang akan memudahkan diri untuk mengembangkan Panna. Alias kebijaksanaan untuk melihat dengan jelas perbedaan kebaikan dan keburukan.