Perubahan itu tidak enak.
Itu yang terpikirkan oleh saya ketika saya masih berusia remaja akhir. Ketika perempuan yang pernah mengaku suka kepada saya ternyata menyukai laki-laki lain juga, sehingga kami harus mengakhiri sebuah hubungan yang disebut "berpacaran".
Waktu itu saya tidak habis pikir mengapa perasaan manusia bisa berubah; bila kebersamaan kami berdua begitu menyenangkan, mengapa tidak selamanya begitu saja? Tetapi ternyata yang merasa hubungan itu menyenangkan hanya saya, sedangkan dia berpikir hubungan itu justru tidak menyenangkan. Dengan kata lain, cinta (monyet) saya bertepuk sebelah tangan, hehehe...
Meskipun orang-orang mengatakan itu hanya sekadar cinta monyet, tetapi perpisahan itu terasa begitu menyakitkan bagi saya. Saya menjadi pemurung dan mengurung diri di kamar. Saya mematikan lampu kamar dan memutar lagu-lagu sedih dari ponsel saya, dan di dalam kegelapan itu, saya berulang-ulang berpikir:
"Mengapa perasaan manusia bisa berubah?"
"Mengapa saya harus mengalami perubahan ini?"
"Bagaimana supaya saya bisa terus bersama dia?"
Dan dalam pemikiran itu, pelan-pelan air mata saya keluar. Dipikir-pikir agak menggelikan juga, ternyata sampai segitunya...
Tapi perubahan ini benar-benar tidak enak.
Hingga pada suatu siang, saya harus mencetak beberapa lembar foto kegiatan untuk dipajang di mading vihara saya. Saya pun mengeluarkan sepeda motor dan pergi ke tempat percetakan foto terdekat. Saat saya sedang menunggu hasil cetakan foto, tiba-tiba saya didekati oleh seorang pria.
"Koh, mau beli donat?"
Berhubung saya tidak menyukai camilan manis, maka saya langsung menolak mentah-mentah tawaran itu. Sang penjual donat sempat membujuk saya untuk membeli donat itu, tetapi saya memang benar-benar tidak berselera untuk mengudap, sehingga saya tolak kembali.
Pria itu pun beralih dari saya dan menawarkan donatnya kepada pengunjung lain, tetapi tetap tidak ada yang membeli. Tidak lama, nama saya dipanggil untuk mengambil hasil cetakan foto.
Setelah saya memeriksa foto-foto tersebut dan bukti pembayaran, saya pun berjalan menuju tempat parkir yang berada di pinggir jalan. Di sana saya bertemu kembali dengan pria penjual donat yang sedang berdiri menunggu angkot. Saya tiba-tiba tersadar bahwa sejak tadi donat dagangannya tidak laku sama sekali. Tergerak oleh rasa iba, saya mendekatinya dan mengatakan ingin membeli donat.
"Mau beli berapa, Koh?" Tanyanya dengan wajah berseri-seri.
"Satu buah donat harganya berapa?" Saya tanya balik, sebab uang yang ada di dompet saya sangat terbatas, dan saat itu belum ada aplikasi pembayaran daring.
"Satunya dua ribu lima ratus Rupiah, Koh."
Berhubung uang di dompet saya hanya ada tiga puluh ribu Rupiah, maka saya memutuskan untuk membeli delapan buah donat seharga dua puluh ribu Rupiah, menyisakan sedikit uang di dompet untuk mengisi bensin saat pulang nanti.
Sambil memasukkan donat-donat itu ke dalam kantung plastik, pria itu - masih dengan wajah yang berseri-seri - bertanya kepada saya:
"Engkoh umat gereja sini, ya?"
"Oh, bukan." Jawab saya singkat, sambil berusaha menyadari bahwa memang ada gereja yang jaraknya hanya beberapa ruko dari tempat kami berdiri saat ini.
"Saya kalau hari Minggu jualan donat di depan gereja, Koh. Tapi saat ini mama saya lagi sakit, saya gak punya uang buat nebus obat, jadinya saya sekalian jualan donat keliling deh. Dari tadi belum laku, untung engkoh beli. Kamsiah yah Koh."
Saat mendengar ucapan itu, saya merasa simpatik. Satu sisi, saya juga merasa bersyukur karena telah berkesempatan membantu kesulitannya. Saat saya sedang memikirkan kesusahannya, tiba-tiba ia bertanya lagi,
"Jadi engkoh bukan umat gereja sini?"
"Bukan, saya mah umat vihara."
"Oh gitu Koh, kalo gitu Amitabha ya Koh, Amitabha. Kamsiah udah bantu saya." Jawabnya sambil menangkupkan tangan, kemudian memberikan seplastik penuh donat kepada saya.
Karena saya dan keluarga di rumah tidak menyukai donat dengan taburan gula halus, maka saya sekarang memiliki masalah baru: harus saya apakan delapan buah donat ini?
Tidak jauh dari jalan raya ada sebuah perempatan dengan lampu lalu lintas. Ketika lampu merah menyala, anak-anak jalanan akan langsung mendekati para pengendara untuk menawarkan koran, mengetuk rasa iba beberapa orang agar membelinya.
Saya menghampiri salah satu dari anak itu, memberikannya sebuah donat. Ketika anak itu menerimanya, ia sempat menatap wajah saya dengan tatapan bingung, mungkin ia baru pertama kali mendapatkan kue dari orang asing.Â
Tidak lama ia segera berlari menjauhi saya, membuat saya berpikir bahwa ia ketakutan melihat saya; tetapi ternyata tidak, ia kembali dengan beberapa teman-temannya yang juga sesama anak jalanan. Ternyata ia mengajak teman-temannya untuk mendapatkan donat dari saya juga.
Tanpa sadar, saya ternyata sudah dikelilingi oleh anak jalanan yang menginginkan jatah donat dari saya. Saya pun membaginya satu per satu. Saking banyaknya anak jalanan yang datang, ternyata donat yang saya beli tidak cukup untuk dibagikan kepada mereka.
Tidak mau mengecewakan, saya akhirnya meminta mereka untuk menunggu sebentar. Saya mencari warung terdekat, lalu membeli beberapa wafer bungkusan untuk saya bagikan kepada anak-anak jalanan yang belum kebagian donat.
Tatap wajah mereka begitu lucu saat menerima donat dan wafer. Ada yang menerima donat sambil berteriak kegirangan, ada yang menerima donat sambil meneriakkan nama teman-temannya yang lain agar kebagian juga, bahkan ada yang menerima donat sambil mengelap ingusnya (hahaha...).
Tetapi yang paling epic adalah ada salah satu anak yang mengucapkan terima kasih dengan berkata, "Terima kasih, Om!" (padahal saat itu saya masih berusia remaja akhir).
Ternyata seru sekali.
Setelah semua anak mendapatkan jatah camilannya, mereka pun akhirnya bubar. Saya langsung mendekati sepeda motor saya yang terparkir di pinggir jalan dan segera mengendarainya.
Ajaibnya, tiba-tiba suasana hati saya berubah menjadi begitu bagus! Padahal sudah seminggu saya terus merasa sedih dan bermuram durja, tetapi mendadak saya merasa bersemangat dan bersukacita, rasanya semangat hidup saya kembali lagi.
Saya segera mencari tahu ketika sudah sampai di rumah. Ternyata ini adalah fenomena psikologis dan neurosains. Ketika seseorang berbuat baik, tubuh akan mengeluarkan beberapa hormon yang berhubungan dengan kebahagiaan, yaitu dopamin, serotonin, endorfin, dan oksitosin.
Hormon ini tentu sudah familiar bagi kita. Dopamin merupakan hormon yang muncul ketika kita sedang jatuh cinta atau mendapatkan pujian dari seseorang; sedangkan serotonin merupakan hormon yang sangat membantu dalam mengatasi kecemasan maupun depresi, juga merupakan hormon yang membantu kita untuk tidur nyenyak.
Di sisi lain, endorfin merupakan hormon yang dapat mengurangi rasa sakit, sedangkan oksitosin juga merupakan salah satu hormon yang muncul saat kita jatuh cinta atau ketika kita sedang memeluk orang yang kita sayangi.
Keempat hormon kebahagiaan yang luar biasa itu bisa dimunculkan dalam satu waktu hanya dengan berbuat baik!
Secara psikologis, hal yang terjadi pada saya juga ada alasannya. Ketika mengalami patah hati, saya mendapatkan penolakan dari orang yang saya anggap berharga. Penolakan ini memunculkan rasa tidak berharga dalam diri ("apakah saya tidak seberharga itu sehingga bisa ditinggalkan begitu saja oleh dia?"). Perasaan tidak berharga ini yang membuat saya tidak bersemangat dan uring-uringan.
Ketika saya berbuat baik, orang yang saya bantu menunjukkan rasa syukur dan rasa gembiranya. Hal ini memunculkan perasaan berharga, sebab kehadiran saya ternyata bisa memberikan kegembiraan kepada orang lain.
Artinya, saya merasa bahwa kehadiran saya bernilai bagi orang lain. Sistem psikologis saya akan merekam hal ini dan mengembalikan rasa keberhargaan diri yang sempat menurun drastis sebelumnya.
Ah, ternyata berbuat baik memiliki efek yang begitu dahsyat.
Dan sejak kejadian bagi-bagi donat di jalan itu, saya tidak lagi bersedih hati karena patah hati; sebaliknya justru saya semakin terinspirasi untuk berbuat baik.
Saya belajar bahwa perubahan itu tidak bisa saya hindari, dan perubahan kerap mendatangkan penderitaan (meski tidak selalu); tetapi saya tahu bahwa di dalam naik dan turunnya hidup, saya harus terus berbuat baik, sebab berbuat baik memberikan makna... makna bahwa keberadaan saya dapat bermanfaat bagi makhluk lain.
Dari perubahan hidup ini, saya belajar bahwa: perubahan itu pasti, tetapi berbuat baik adalah harga mati.
Ternyata berbuat baik itu enak.
**
Jakarta, 20 Agustus 2022
Penulis: Garvin Goei, Kompasianer Mettasik
Psikolog & Dosen Psikologi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H