Hari senantiasa berganti. Namun, aku hanya mampu bermimpi tentang Grivia. Mengagumi mahakarya paling indah itu secara diam-diam. Tak pernah aku ungkapkan rasa itu, secara verbal yang di pahami kebanyakan orang. Hanya perbuatan saja aku tunjukkan padanya. Tapi, kukira dia tak paham akan itu. Masih saja dia bercerita tentang kecintaannya pada seseorang. Rasa sayangnya pada orang yang sampai sekarang aku belum pernah tahu, apakah orang yang dia ceritakan itu benar-benar ada di atas bumi ini.
Aku di bayang-bayangi ketakutan. Takut akan rasa yang terus berkembang di hatiku. Antara kepemilikan seorang sahabat dan rasa ingin memiliknya.jika aku memilikinya, mungkin suatu saat kan berakhir. Jika aku tak memiliknya, pasti berakhir pula. Sebab, suatu saat dia pasti akan memiliki seseorang. Namun, dari masa lalu yang pernah aku tahu, sedikit kemungkinan dia akan memiliki seorang laki-laki. Hal itu pula yang masih mengganjal di pikiranku. Mungkinkah dia akan menerimaku sebagai seorang lelaki utuh menjadi pemiliknya.
Tak aku pungkiri, entah membandingkan atau menyamakan Grivia dengan Vania. Perempuan yang pernah menghiasi hari-hariku. Banyak kesamaan di antara mereka berdua. Namun ada pula kelebihan masing-masing. Perbedaan yang paling jauh adalah Vanya sekarang sudah memasuki pintu orang lain.
Suatu Pagi, aku pernah terkejut dengan ketukan lembut di pintu rumahku. Aku buka dan tak ada kata yang dapat ku ucap. Vania, berdiri di depan pintuku menggandeng seorang anak kecil.
“Selamat Pagi... tak biasanya sepagi ini kau sudah beranjak dari peraduanmu” sapa Perempuan di depan Pintuku ini. Sedang si anak kecil itu, memandangku seakan bertanya “siapa dia, Bunda?”
“Vay... benarkah aku sudah beranjak dari tempat tidurku? Atau sekarang aku sedang bermimpi yang cukup indah?” kataku.
“Tidak, aku sekarang dbenar-benar berdiri di hadapanmu.” Jawab Vanya.
Mereka berdua masuk. Duduk di sofa, dimana biasanya aku merayu Vanya. Namun posisi sekarang sudah berubah. Aku tak duduk di sampingnya. Di samping Vanya duduk anak itu. Aku duduk di seberang, berbatas meja. Anak itu tak henti memandangku. Aku gugup, padahal hanya seorang anak kecil yang memandangku.
Perasaanku berkecamuk. Inikah anak vania, setelah dia pergi dariku, sekarang telah menikah dan mempunyai seorang anak. “ini buah Hatimu?” tanyaku
“Iya... inilah penghiburku, pengawalku.” Jawab Vanya sembari tersenyum. Senyuman Vanya serasa merobek jantungku.
“Ahh.. hampit aku lupa, ingin minum apa kau? Serta si kecil ini inginaku buatkan apa untuknya?” aku menawarkan minuman, sembari aku beranjak untuk menyembunyikan sedikit kesedihan yang aku derita.
“tak usahlah kau repot. Bukankah biasanya setiap pagi kau membuat Teh hangat? Jika boleh, aku ingin merasakan Teh hangat buatanmu.” Jawabnya.
“dan si Kecil?” tanyaku lagi
“Masih sering kau menyimpan susu? Bolehlah dia kau buatkan dia di tempat kecil.” Jawab vanya lagi dengan sunggingan senyum. Semakin dia tersenyum, semakin robek jantungku.
Aku ke belakang mencari Teh hangat yang aku seduh setiap bangun tidur. Aku mencari susu yang sering aku pakai untuk campuran kopi. Aku berpikir, mungkinkah cocok untuk Anak kecil. Sebaiknya tak aku buatkan susu. Teh saja, yang sudah jelas tak memandang umur peminumnya.
“Dari mana kau, sepagi ini sudah berada di kotaku?” aku bertanya pada Vanya.
“Hanya ingin ke tempatmu ini. Kebetulan, aku ingin mengajak Andina ke tempat bermain yang sering aku ceritakan padanya setiap menjelang tidur. Tempat bermain yang sering aku impikan dahulu, jika aku memiliki seorang anak.” Jawab Vanya. Aku hanya bisa tersenyum.
Sayatan kata-kata vanya seakan menguliti seluruh dagingku.
Tempat bermain itu, merupakan impianku dengan Vanya jika suatu saat aku dan dia memiliki buah Hati. Namun, semuanya sudah terjadi. Vanya yang lebih dahulu akan ke sana dengan anaknya. Dengan Andina, sebuah nama yang aku buat untuk anakku. Namun, Vanya juga yang terlebih dahulu memakainya.