Mohon tunggu...
Groengerine widyatmono
Groengerine widyatmono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Let's Help Each Others

just ordinary psycho homo sapiens personality disorder people

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penerbangan Paling Pagi (Sequel dari Dialog dengan Nurani)

28 Juni 2010   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dimana suamimu?” tanyaku.
“Dia masih di kota dimana aku tinggal.” Jawabnya
“kau kesini sendiri? Hanya bersama si kecil?”
“benar... dengan penerbangan paling pagi hari ini” Vanya menjawab sembari memandang anak kecil itu, yang terlalu sibuk meniup Teh hangat yang aku hidangkan untuk dia.

“Bunda... teh ini masih panas, Minta pakai es boleh tidak?” tiba-tiba celoteh anak ini membuat kami berdua terstawa.
“jangan sayang, tak baik pagi-pagi minum es. Tunggulah, sebentar lagi pasti panasnya berangsur hilang.” Terang vanya pada Andina.

“Belum juga engkau beristri. Adakah yang engkau nantikan?” tanya Vanya padaku. Entah kenapa, pagi ini seluruh kata-kata Vanya bagaikan anak panah yang bertubi-tubi meremukkan ragaku. “Belum, aku masih ingin mendapatkan seluruh impianku.” Jawabku.

“Bukankah Impianmu bisa juga kau raih, meski kau beristri. Aku kira kebebasanmu tak akan terkekekang. Yang aku pernah tahu, kau paling pintar menciptakan kebebasanmu sendiri. Tidak bergantung pada kebebasan yang diberikan.” Vanya berbicara sembari mengambil cawan anaknya untuk dia tiup agar lekas dingin.
“Ahh... belum ada perempuan yang mau padaku.” Jawabku.
“mereka yang tak mau, atau engkau yang terlalu sombong?”
“belum aku temui perempuan yang seperti aku harapakan.” Jawabku
“kukira tak ada yang sempurna di muka bumi ini.”
“aku tak mencari kesempurnaan. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”
“tak kau sadarikah, jika waktu ini terlalu cepat untuk berlalu?” tanya Vanya
“Aku tahu itu, ah sudahlah... jangan kau ajak lagi aku bertengakar. Aku merindu wajahmu. Jadi biarlah aku mengaguminya meski hanya sesaat, sebelum kau pergi lagi.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Sedapat mungkin aku tak membuka kenangan bersamanya. Setiap ada kata atau suatu tanda yang akan mengembalikan masa lalu itu, aku pasti mencari kata-kata lain yang dapat merubah suasana.

Hari menjelang siang. Vanya mengajakku untuk mengantar anaknya ke tempat bermain yang dimaksud. Aku agak canggung. Sebab, tempat itu merupakan sebuah kenangan tentang masa depan. Yang pernah aku impikan. Dan sekarang aku harus kesana dengan sosok yang menjadi tokoh dalam masa depan tadi. Namun, aku harus menghadapi kenyyataan ini. Sebenarnya bisa saja aku beralasan untuk ke kantor pagi itu. Namun tak juga keluar kata-kata itu. Yang aku pikirkan, Tak boleh aku menjadi trauma.

Cepat-cepat aku mandi. Di dalam kamar mandi, aku guyur tubuhku sebasah mungkin, se kuyup mungkin. Sembari masih tak percaya dengan apa yang terjadi di luar pintu kamar mandi ini. Serasa aku tak ingin keluar dari kamar mandi ini. Aku habiskan air dalam bak mandi. Semisal aku bisa tenggelam dalam Bak mandi ini, mungkin aku sudah menenggelamkan diri.

Tak kalah terkejut, ketika aku keluar dari kamar mandi. Di tempat tidurku telah siap pakaianku. Lengkap dengan celana, sepatu, kaos kaki. Tak lupa parfum yang biasa aku pakai sudah berada di situ.

“maaf, jika aku lancang membuka alamarimu, serta memilihkan pakaian untukmu. Sekedar mempercepat waktu yang biasanya engkau buang untuk menyiapkan segala keperluanmu ketika pagi hari.” Vanya sudah berdiri di depan pintu.
“ohh... terima kasih. Tak apalah. Dengan begini mungkin kita bisa lebih cepat untuk mengantar Buah hatimu ke taman Bermain.” Jawabku.
Vanya pergi ke depan, Pintu aku tutp. Dan aku berganti pakaian.
Parfum hanya aku semprot ke bagian badan tertentu.
Aku tak ke kantor. Jadi, seperlunya sajalah aku memakainya.

“Masih dengan aroma yang sama.” Celetuk vanya. Aku hanya tersenyum. Aku ambil kendaraanku. Dan mempersilahkan Vanya Masuk.
“Kau sudah mendapatkan kendaraan impianmu. Dimana kendaraanmu yang dahulu?” tanya Vanya.
“Ada di garasi”
“Bukan, kendaraan roda empat yang aku maksud. Jikalau roda dua itu, aku yakin kau tak akan mau berpisah dengannya”
“Aku jual. Ada teman yang suka itu, karena itu aku jual padanya. Aku tambah dengan sedikit uang dari tabunganku, dapatlah aku kendaraan ini.” Aku berbohong padanya.
Tak aku sebut nama Grivia, ketika bagaimana aku mendapat kendaraan ini.
“Atau kau ingin kita naik itu roda dua itu saja?” tanyaku.
“Tidaklah, kasihan Putraku. Dia tak terbiasa dengan angin yang kencang menerpa tubuhnya” jawabnya. ”Aku bangga Padamu, kau mampu berdiri kokoh meski orang yang terkasih meninggalkanmu. Tidak seperti aku.” Ujar Vania.
Tenggorokanku tercekat.
Serasa nafasku berhenti.
Ingin aku marah, tapi untuk apa. Aku ingin berteriak. Namun, di Mobil ini aku tak sendiri.
“Terlebih lagi aku, begitu besar banggaku padamu. Telah mendapatkan yang kau inginkan, memiliki suami yang mengerti engkau, Buah hati yang selalu mengawalmu” kataku.

Di taman bermain ini, Vania mengajakku untuk berputar-putar dengan anaknya. Sebenarnya aku canggung, namun lama-lama aku terbiasa. Layaknya seorang ayah yang mengajak bermain anaknya. Segala macam permainan, Andina mencobanya. Bundanya-pun mengarahkan seperti ketika aku impikan dulu kepada Vanya.

Berbaur dengan keluarga yang lain, menjadikan aku lupa siapa Vanya dan siapa Andina sekarang ini. Aku menikmati suasana pagi ini. Melihat kelucuan Andina membuatku terpingkal juga. Apalagi Bundanya. Pagi ini dia terlihat bahagia. Seperti dajhulu ketika awal-awal aku mengisi hari bersamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun