Mohon tunggu...
Groengerine widyatmono
Groengerine widyatmono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Let's Help Each Others

just ordinary psycho homo sapiens personality disorder people

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penerbangan Paling Pagi (Sequel dari Dialog dengan Nurani)

28 Juni 2010   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Bawah Pohon yang cukup rindang, kami beristirahat. Sembari menikmati makanan yang kami beli ketika ada pedagang lewat. Ada letih, namun kegembiraan ini mampu menyembuyikan rasa letih tadi.

“Kau menginap dimana?” tanyaku pada Vanya.
“aku nanti pulang. Dengan pesawat siang ini.” Jawab vania. Vania sepanjang pagi ini, selalu meberiku kejutan. Padahal dia perempuan yang tak suka dengan kejutan-kejutan. Meski dahulu, aku selalu berusaha memberinya kejutan. Sepagi ini dia membalasku dengan kejutan-kejutan yang tak aku duga.

“Pualng ke suamimu, maksudmu?” aku tak percaya.
“Begitulah... aku punya suami yang harus aku rawat, yang harus aku temani.”

“keanapa secepat ini?” tanyaku lagi.
“Demi Andina. Dia ingin melihat negeri Impian yang sering aku ceritakan sebelum dia berangkat bermimpi setiap malam.” Jawab Vanya. Pengorbanan seorang Ibu, tak terbatas untuk anaknya. Harus menyeberang pulau-pun, dia lakukan. Dan juga tak boleh luapa kewajiban atas suaminya. Aku kira, terkadang perempuan lebih hebat daripada pria. Seperti halnya Vania, seorang Perempuan Perkasa.

Menjelang siang, Vania mengajak Andina untuk membersihkan diri. Pertanda waktu untuk pulang tiba. Sebenarnya Andina tak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku dan Vania berjanji, suatu saat akan mengajaknya ke sini lagi.

Tepat matahari di atas kepala, aku sudah berada di bandara untuk mengantar Vania dan anaknya. Kami datang agak awal. Menikmati makan siang di sudut cafe ruang tunggu bandara ini. Melihat Andina, rasanya aku tak ingin berpisah. Kelucuannya, kepolosannya, rasa ingin tahunya, membuat aku untuk senantiasa menggodanya.

“Kau Lihat Andina!” seru Vania kepadaku.
“Ada apa dngannya?” tanyaku.
“orang tak percaya jika dia baru berusia baru beberpa Tahun” kata vania
“benarkah?” aku kembali heran.

“mungkin dia meniru ayahnya. Pintar, kadang terlalu kritis. Lihat saja wajahnya! Seperti itu pula wajah ayahnya.” Bilang Vania.
Aku amat-amati wajah anak ini.

Sembari tersenyum aku bilang pada Vania “Pasti Yahanya orang yang pintar.
Tak juga cakep. Namun, kukira ayahnya orang yang baik.”

“sekali lagi, kau lihat guratan di wajahnya. Kau singkirkan semua kemiripan denganku. Cermatilah!” Vania memaksaku untuk lebih memandang Wajah anak ini.

Seketika aku tersentak. Aku tak dapat bergerak, maupun berkata. Badanku kaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun