Di depan jendela IGD Rumah Sakit Rakanza ada satu wastafel dengan cermin yang sudah tidak oval utuh lagi. Sebenarnya aku sangat mengantuk, tetapi ritual tanda tangan di IGD membuatku harus terjaga hingga diputuskan, ibuku pulang atau opname.
Kunyalakan air keran yang mengalir pelan, kuusap semua jemari tanganku. Kemudian aku menggayung dengan mangkok telapak tangan, dan mengibaskan airnya ke wajahku.
Setelah mengelap wajah dengan lengan hoodie-ku, aku langsung rebahan di kursi coklat panjang tanpa sandaran ini. Terakhir aku bangun jam delapan pagi kemarin. Pantaslah kantuk ini tak bisa kutahan.
Aku pun tertidur.
Dunia mimpi ini sudah akrab bagiku sedari setahun terakhir, saat ritme tidurku kacau gara-gara kuliah malam.Â
Aku serasa menjadi raja dalam dunia ini, karena tidak seperti banyak orang, aku bisa mengatur mau pergi ke mana dalam mimpi ini.Â
Awalnya hanya kelindihan atau sleep paraliysis biasa, namun lama kelamaan menjadi lebih sering dan mulai mengganggu tidurku.Â
Sebenarnya tidak berbahaya jikalau hanya di tahap awal, paling-paling hanya perlu menghentakkan kepala dengan keras sesudah berdoa Bapa Kami. Tapi aku sudah pada fase yang lebih dalam, aku bisa melihat tubuhku sendiri yang sedang tertidur!
Ya, aku pernah masuk beberapa kali ke mode proyeksi astral ini. Tidak mengenakkannya, untuk bangun dari mimpi harus secara berulang. Kadang bisa dua, atau bahkan tiga lapis mimpi.
Di depan ruang IGD Rumah Sakit Rakanza, kini aku bisa melihat tubuhku rebahan di atas kursi. Hoodie hitam Adidas yang jadi favoritku, bisa kulihat sudah agak lusuh berpadan dengan celana jins biru dongker Levi's.
"Aku harus bangun, bisa berkali-kali ini mimpinya," pikirku sembari menyentakkan kepala