Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Membangun Resiliensi Peran Perempuan dalam Kampung Madani

15 Juni 2024   08:55 Diperbarui: 15 Juni 2024   08:56 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilot project Kampung Madani juga turut membina masyarakat demi kemajuan ekonomi desa.(Dok. PNM) via kompas.com

"Ayo jangan jijik-jijik, ini demi kampung kita supaya tidak banjir!". "Yang putih itu lemak kok, bukan kotoran manusia, tidak apa-apa!". "Jadi anak muda itu harus melestarikan kerja bakti seperti ini, supaya kampung kita guyup.".

Minggu pagi itu, dimana secara rutin kampung kami melakukan kerja bakti membersihkan selokan berdiameter 20 sentimeter di depan tiap-tiap rumah. Kalimat di atas terdengung ke telinga saya. dimana kami para kaum adam merasa seperti tentara perang dengan cipratan hitam pasir got di sekujur tubuhnya. 

Sementara beberapa ibu menyiapkan teh, kopi dan gorengan yang tersaji dalam satu meja panjang.

Saya bukannya tidak mau melakukan hal tersebut, wong 35 tahun hidup di kampung ini juga melakukan hal yang sama tiap tiga bulanannya. Hanya terakhir kali saya melakukannya, sekitar sebulan lalu, saya merasa itu tindakan useless, tidak berguna.

Tidak berguna bukan berarti tidak perlu dilakukan, ya. Maksud saya, adalah tidak ada peningkatan cara untuk membersihkan sampah-sampah yang masuk ke dalam parit atau selokan kampung. Memakai cetok, cangkul kecil, ada juga yang nekat langsung menggunakan tangannya untuk mengeruk kotoran yang menyumbat.

"Monggo, Mas. Diminum dulu kopinya." Suara ibu di belakang memecah keheningan usai saya membersihkan selokan depan rumah.

"Oh, Nggih, Bu Sariyo."

"Merasa sia-sia, ya Mas. Sama, Ibu juga. Sudah diomongi kalau sampah itu dipisah plastik dan organik. Terus jelantah juga bisa dijadikan uang, jadi selokannya kan tidak perlu bolak-balik dikeruk seperti ini. Lampu kampung juga, itu sudah waktunya ganti pakai solar panel."

Deg, saya pikir seorang ibu yang hanya pedangang War-Mad (Warung Madura) tersebut tidak terlalu paham tentang isu lingkungan serta energi baru terbarukan. Lantas mengapa ide bagus tersebut tidak dilakukan? Apa sudah disampaikan dalam forum warga?

"Sudah, Mas. Katanya solar panel mahal. Terus tempat sampah biru-kuning juga mahal. Ibu-ibu PKK tahu semua kok, kan ada penyuluhan Kampung Madani. Cuma ya itu, nyaman dengan wira-wirinya jadi jumantik saja."

Kesadaran dan Stimulus dalam Membentuk Kampung Madani

Sebuah perbincangan singkat yang menjelaskan, bahwa kaum perempuan juga sangat bisa berperan dalam menangani isu lingkungan serta pembangunan berkelanjutan. Teori sudah didapatkan, bahwasanya di daerah saya Surabaya, sejak 2023 sudah digalakkan mengenai gerakan Kampung Madani oleh Pak Walikota Eri Cahyadi.

Dalam situs Disdukcapil Surabaya, Kampung Madani dapat diartikan sebagai kampung yang dalam menjalankan roda kehidupan dan kemasyarakatan mengedepankan prinsip gotong-royong, keswadayaan dan kemandirian ekonomi. (Sumber : www.disdukcapil.surabaya.go.id)  

Jadi kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk membentuk Kampung Madani ternyata sudah ada. Namun mengapa belum bisa dirasakan secara merata? Mungkin masih kurang satu hal, membangun resiliensi.

Membangun resilensi merujuk pada sebuah tindakan bangkit dari runtutan kondisi yang dirasa tidak nyaman ataupun buruk. Memang kondisi buruk tersebut merupakan hal yang relatif di kalangan banyak orang, tetapi jika kita bisa membangun resiliensi untuk bangkit, kehidupan yang lebih baik akan menunggu di depan mata.

Dalam kondisi kampung saya, saya dan Bu Sariyo membutuhkan sebuah resiliensi untuk mengubah mindset kerja bakti untuk lebih dari sekedar gotong royong. Penyampaian mengenai isu lingkungan, solusi, bahkan Kampung Madani harus lebih dikedepankan guna menciptakan habit (kebiasaan) baru di kampung saya.

Protagonis yang wajib dikedepankan adalah peran perempuan. Bapak-bapak, yang mayoritas harinya dihabiskan dengan bekerja, tentu akan kurang waktu mempelajari isu lingkungan sekalipun mereka berada di posisi strategis pimpinan RT (Rukun Tetangga) ataupun RW (Rukun Warga).

Maka dari itu ibu-ibu atau perempuan, yang sudah diberdayakan oleh pemerintah dalam kehidupan kemasyarakatan, harus diberi ruang lebih untuk mensosialisasikan ide dan gagasan mengenai isu lingkungan. Peranan yang sangat penting, karena produksi hingga pengolahan limbah rumah tangga juga mayoritas diperankan oleh para kaum hawa.

Adalah hal penting, supaya pengalaman dan ide mereka tidak hanya untuk didengar, tetapi diejawantahkan dalam suatu karya yang bisa membentuk Kampung Madani. Sisi ekonomi yang menjadi soal (di kampung saya), bisa juga dicarikan solusinya dengan tekun melaksanakan ide-ide yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk lebih "menghasilkan" sehingga menjadi stimulus.

Berikut ini saya jabarkan beberapa ide pengolahan limbah yang sudah ada, agar dapat menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi. Tentu yang saya kedepankan disini adalah ide-ide dengan modal minim.

1. Pengelolaan Bank Sampah (non-organik)

Sudah menjadi program di kampung saya, pun juga di kampung lainnya, Bank Sampah bisa memberikan manfaat ekonomi yang cukup lumayan. Limbah non-organik yang mempunyai nilai, seperti plastik, kertas, kardus, besi, dll bisa dikumpulkan di pengepul atau rombeng untuk ditukar dengan sejumlah uang.

Di beberapa kampung yang sudah maju, kegiatan ini rutin dilakukan seminggu sekali. Uang yang dihasilkan setiap KK (Keluarga) biasanya bisa dimasukkan dalam tabungan RT ataupun dicairkan langsung. Semakin cepat frekuensinya, maka semakin kecil peluang timbunan sampah non-organiknya.

2. Rumah Limbah Jelantah

Masih banyak dikerjakan oleh swasta, pengumpulan minyak goreng sisa atau jelantah ternyata bisa menghasilkan cuan pula. Limbah inilah yang seringkali terbuang secara refleks ke selokan, dan menggumpal menjadi lemak seperti yang dideskripsikan pada kerja bakti kampung saya.

Pengetahuan akan bahaya lingkungan mungkin sudah dimiliki setiap warga. Tetapi untuk resiliensi berdampak baik, diperlukan stimulus berupa pengetahuan bahwa limbah minyak goreng bisa menghasilkan nilai ekonomis.

Limbah minyak goreng biasanya digunakan untuk membuat lilin, sabun batang ataupun sabun cair bari. Tentu bagus jika Kampung Madani bisa menjembatani hingga produksi hilir tersebut. Namun jika belum mampu, tentu masih menguntungkan jika dijual di tingkat pengepul saja. 

3. Pembuatan Komposter

Ide ini mungkin yang sedikit mengeluarkan modal, tetapi dampaknya akan luar biasa. Komposter adalah alat atau tempat khusus yang digunakan untuk mengubah materi organik, seperti sisa makanan, dedaunan, dan bahan-bahan lainnya, menjadi kompos melalui proses fermentasi dan dekomposisi. (sumber : www.liberty-society.com)

Paling tidak dibutuhkan sebuah wadah, biasanya drum, yang berisi tanah, cacing, dan gerabah untuk mengurai sampah-sampah organik menjadi pupuk kompos. Menjadi lebih baik, adalah apabila output yang dihasilkan berupa pupuk kompos cair dengan pemanfaatan media air sebagai finalisasi dekomposisi.   

Cairan pupuk tersebut bisa diperjualbelikan, pun juga dapat digunakan sendiri untuk pertanian di pedesaan ataupun urban farming di kawasan perkotaan. Semuanya bisa menjadi mata rantai untuk menghasilkan nilai ekonomis.

4. Thrifting Store (Toko Barang Bekas)

Dilematis antara produk thrifting dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, seharusnya bisa disikapi secara oportunis. Jika barang bekas dari luar negeri saja laku, maka setiap rumah tangga tentu mempunyai barang bekas yang bernilai ekonomis pula. Konsep inilah yang bisa menyatukan sebuah RT atau RW membuka Toko Barang Bekas kolektif.

Sebuah contoh bagus saya dapatkan dari Jerman, mengenai keberadaan Oxfam Shop. Dalam Oxfam Shop ini menjual berbagai barang bekas, tentu layak pakai atau layak guna, dengan harga relatif murah. Pakaian bekas, lukisan, jam tangan ataupun perabot rumah tangga yang tidak terpakai bisa dibeli pada toko tersebut.

Oxfam Shop di Berlin. Sumber : yvonne salamon via www.shops.oxfam.de
Oxfam Shop di Berlin. Sumber : yvonne salamon via www.shops.oxfam.de

Oxfam sendiri merupakan organisasi nirlaba yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, bekerja sama dengan mitra lainnya untuk mengurangi penderitaan di seluruh dunia. (Sumber : wikipedia)

Oxfam Shop di atas dapat diadaptasi dalam sebuah pergerakan kolektif di RT atau RW untuk mengumpulkan barang bekas yang masih layak guna untuk diperjualbelikan. Pasarnya tentu tidak hanya di kalangan warga, tetapi bisa diekspansi lagi menjadi toko online maupun offline. 

Metode konsinyasi memungkinkan usaha kolektif ini dilakukan tanpa menggunakan modal uang. Tinggal bagaimana proses laundry-ing ataupun pembersihan produk bekas tersebut dilakukan. Bisa dilakukan secara mandiri oleh penitip, ataupun oleh penjual dengan ada biaya tambahan.

Peran Perempuan dalam Kampung Madani Berkelanjutan

Dari beberapa ide di atas, bisa menjadi sumber menghasilkan nilai ekonomi sebagai stimulus bagi ibu-ibu sebagai agen pembangunan berkelanjutan. Nilai ekonomis yang didapatkan, bisa untuk membeli barang tepat guna untuk mendukung penyelesaian masalah lingkungan, seperti tempat sampah "biru-kuning" maupun lampu jalan solar panel.

Tidak perlu menunggu dorongan dari pemerintah dahulu, jika Kampung Madani ini berjalan baik tentu pemerintah akan datang dengan sendirinya bahkan bersedia menjadi partner kerjanya. Transisi energi adil menjadi tonggak semangat untuk perwujudannya.

Jadi, peran perempuan sebagai subyek hulu ke hilir pengelolaan limbah, sangatlah besar dalam membentuk Kampung Madani yang berkelanjutan. Sudah waktunya memberikan ruang kepada pengetahuan dan ide perempuan yang juga merupakan praktisi proses ini.

Jika berjalan dengan baik, maka saya dan para bapak-bapak lainnya punya pekerjaan lebih penting lainnya dalam masyarakat selain membersihkan selokan. Efisiensi, dan sekali lagi, resiliensi, akan menumbuhkan masyarakat menjadi lebih baik lagi. Tidak terus dinina-bobokkan oleh pengalaman, tetapi maju mewujudkan ide dan gagasan.

Demikian dan keep improve our resilience.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun