Merupakan sebuah rahasia umum bahwa masih banyak sekali kesenjangan antara pelaku kreatif dengan perbankan. Hal semacam ini sempat dikeluhkan oleh Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia atau AINAKI yang sulit mendapatkan pendanaan (Nisaputra, 2017) dan juga terdapat fenomena bahwa para pelaku industri kreatif enggan meminjam bank karena memiliki risiko life cycle kegagalan tinggi (Yulistara, 2018).Â
Saat ini perbankan diketahui mulai menunjukkan keterbukaannya yang lebih positif terhadap industri kreatif (Richard, 2020; Bankmandiricoid; 2019). Meskipun begitu, masalah ini dirasa belum selesai karena lebih banyak pelaku industri kreatif tidak memiliki fixed asset sebagai jaminan melainkan hanya memiliki kekayaan intelektual.Â
Meskipun saat ini ada undang-undang yang menyebutkan perbankan bisa menerima jaminan properti intelektual sebagai aset pendanaan, penerapannya sampai sekarang masih belum optimal. Dengan begitu, para seniman akan tetap terus kesulitan berkarya lantaran kurangnya pendanaan. (Yunianto, 2023). Hal ini dapat mempersulit advokasi peningkatan investasi dan dukungan bagi sektor-sektor ini.
Penutup
Berdasarkan gambaran kompleksitas masalah industri kreatif di atas, segala bentuk sinergi, kolaborasi dan keterbukaan antar pihak diperlukan satu sama lain untuk mengedukasi masyarakat.Â
Jika Indonesia serius untuk memajukan ekonomi kreatif, mengatasi tantangan-tantangan di atas merupakah hal sangat penting untuk menumbuhkan ekosistem kreatif dan membuka seluruh potensi industri-industri ini untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia.
Tanpa adanya satu kesepakatan dan pandangan yang sevisi, agaknya industri kreatif akan selalu menemui kendalanya di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI