Sebagai seorang pemain di industri kreatif, saya cukup sering mengalami banyak momen maupun curhatan bagaimana jasa desain ditawar murah, pembuatan film animasi yang budgetnya tidak sepadan dengan biaya produksi, hingga jasa foto yang dibayar dengan ucapan "terima kasih".Â
Kadang hal itu membuat saya maupun rekan-rekan lainnya bergumam "kok begini banget ya, susah-susah sekolah tinggi-tinggi tapi di lapangan kayak hampir gak ada harganya?". Fenomena ini saya kira cukup umum menjadi keluhan para pelaku kreatif di Indonesia.
Di balik berbagai dukungan terhadap industri kreatif untuk pengembangan ekonomi kreatif yang saat ini tengah digadang-gadang oleh pemerintah, sebenarnya banyak sekali kendala di lapangan yang perlu diatasi.Â
Data dari Serikat Sindikasi tahun 2022 sendiri menjelaskan bahwa para pekerja kreatif di Indonesia sebenarnya cukup menyenangi pekerjaan mereka, meskipun begitu terdapat bayang-bayang kekhawatiran utama pada ketidakstabilan penghasilan, kelayakan upah/gaji, hingga kesulitan mendapatkan pekerjaan/proyek.Â
Ini terlihat dari ketimpangan upah yang cukup jauh antar subsektor dimana arsitektur dapat memperoleh gaji hingga 5,33 juta per bulan namun industri fotografi hanya memperoleh 1,4 juta per bulan.Â
Apresiasi masyarakat terhadap pekerja dalam hal ini menjadi akar masalah dimana tingkat apresiasinya dianggap masihlah rendah dan belumlah merata (Gityandraputra, 2020; Kristiani, 2022; Hidimas, 2023) dan untuk mengubahnya perlu peran edukatif yang besar dari jalinan kerja sama banyak pihak mulai dari pemerintah, industri, serta akademisi. Meskipun begitu, terdapat tantangan yang perlu dijawab untuk dapat mengedukasi nilai dari industri kreatif di Indonesia.
Pemahaman Standard Baku tentang Konsep Ekonomi Kreatif Itu Sendiri
Saat ini, Indonesia sendiri diakui menurut Kemlu (Kemlu, 2023) masih membutuhkan banyak upaya untuk peningkatan kesadaran akan ekonomi kreatif. Bahkan menurut UNESCAP (Lestariningsih et al, 2019), pendefinisian standard menurut KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) akan sektor-sektor hingga kepada proses dalam industri kreatif sendiri masih belumlah memadai.Â
Dengan kondisi di mana masih kurangnya kesadaran dan pemahaman terhadap konsep ekonomi kreatif yang kokoh dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional, hal ini menghambat pengembangan kebijakan dan sistem pendukung yang efektif bagi industri kreatif.
Preferensi Masyarakat terhadap Jalur Karier Tradisional
Ada sebuah anekdot yang cukup berkembang di mana profesi-profesi tertentu menjadi sebuah bentuk preferensi favorit di kalangan masyarakat Indonesia. Jika ditanya cita-cita pada anak-anak Indonesia, tentu akan banyak yang menjawab menjadi dokter, insinyur, akuntan, pengacara.
Tekanan masyarakat dan norma budaya yang telah mendarah daging ini tentunya akan lebih mendukung kepada jalur karier tradisional di bidang-bidang seperti kedokteran, teknik, dan hukum.Â
Saat ini, pasar pekerja kreatif sendiri tercatat diisi sejumlah 19,2 juta pekerja atau 15,21% dari tenaga kerja nasional (fisip ui, 2023). Data dari Revou secara konsisten menunjukkan angka peminatan jurusan yang lebih tinggi pada bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) ketimbang industri kreatif.Â
Hal ini dapat membuat preferensi berkarier terutama secara jangka panjang di industri kreatif lebih kecil, meskipun orang-orang memiliki bakat dan passion.
Infrastruktur dan Sistem Pendukung yang Tidak Memadai
Industri kreatif di Indonesia seringkali kekurangan akses terhadap infrastruktur, pendanaan, dan sistem pendukung yang memadai (jurnalpost, 2023). Hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri-industri tersebut serta membatasi peluang bagi para profesional kreatif.Â
Selain itu, dari infrastruktur yang telah ada sendiri seperti creative space diketahui konversi daya tarik masyarakat untuk bergabung dan menjadi anggota sangat kecil karena dianggap sebagai "kafe dengan akses internet yang lebih cepat" (britishcouncil, 2017). Efek pandemi memperparah usaha semacam ini hingga akhirnya berguguran (kumparan, 2023)
Dalam tatanan pemerintah, Kemenparekraf sendiri menyatakan dukungan infrastruktur digital untuk membantu industri kreatif (antaranews, 2023). Meskipun begitu, untuk dapat meraih tujuan tersebut, diperlukan kesamaan perspektif dan tujuan pembangunan industri kreatif.Â
Diketahui terdapat kritik yang menyatakan pula bahwa saat ini tiga pihak dalam pemangku kepentingan (pemerintah, industri, akademisi) belum terhubung satu sama lain dalam tujuan yang sama dimana sering kali segala sesuatunya dilakukan secara individual sehingga menghasilkan proyek yang setengah matang.Â
Akademisi dianggap sering melakukan penelitian tanpa audiens untuk dimanfaatkan lebih lanjut, praktik industri yang tidak etis merajalela, dan pemerintah tidak membuat kebijakan yang memikirkan siapapun yang menjadi pelakunya (shapeofthoughts, 2020).
Terbatasnya Akses Terhadap Pendidikan dan Pelatihan Berkualitas
Data global (Global Enterpreneurship Monitor, 2022) menyajikan bahwa Indonesia menemukan tingkat prevalensi atau proporsi dari populasi pendidikan kewirausahaan kreatif yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata global.Â
Data ini mengimplikasikan adanya indikasi kesenjangan dalam pelatihan maupun edukasi bagi individu kreatif untuk mengubah keterampilan mereka menjadi usaha. Secara singkat, kesinambungan antara pendidikan dan dunia industri langsung masihlah belum terjembatani secara optimal.
Selain itu, bukan sebuah rahasia bahwa beberapa bidang kreatif dalam akademis seperti Broadcasting, Desain Komunikasi Visual, maupun Seni adalah bidang kuliah yang mahal terutama karena alat-alat kebutuhannya sehingga hanya orang-orang tertentu yang sedari awal dapat mengakses pendidikannya (Rusito, 2022).Â
Belum lagi sertifikasi-sertifikasi untuk profesional berbayar juga seringkali menjadi tuntutan profesi untuk memberikan bukti spesialisasi bidang keahlian.Â
Fenomena kurangnya akses terhadap program pendidikan dan pelatihan berkualitas yang dirancang khusus untuk profesi-profesi industri kreatif ini menjadi sebuah kendala tersendiri. Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan keterampilan dan menyulitkan individu untuk mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor tersebut.
Kesulitan dalam Mengukur Dampak Industri Kreatif
Salah satu hal yang menjadi ujung dari sulitnya pendanaan dari industri kreatif adalah bagaimana dampak industri kreatif seringkali tidak berwujud dan sulit diukur dengan menggunakan indikator ekonomi tradisional. Aspek perbankan merupakan industri yang cukup perhatian atas nilai berwujud ini.Â
Merupakan sebuah rahasia umum bahwa masih banyak sekali kesenjangan antara pelaku kreatif dengan perbankan. Hal semacam ini sempat dikeluhkan oleh Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia atau AINAKI yang sulit mendapatkan pendanaan (Nisaputra, 2017) dan juga terdapat fenomena bahwa para pelaku industri kreatif enggan meminjam bank karena memiliki risiko life cycle kegagalan tinggi (Yulistara, 2018).Â
Saat ini perbankan diketahui mulai menunjukkan keterbukaannya yang lebih positif terhadap industri kreatif (Richard, 2020; Bankmandiricoid; 2019). Meskipun begitu, masalah ini dirasa belum selesai karena lebih banyak pelaku industri kreatif tidak memiliki fixed asset sebagai jaminan melainkan hanya memiliki kekayaan intelektual.Â
Meskipun saat ini ada undang-undang yang menyebutkan perbankan bisa menerima jaminan properti intelektual sebagai aset pendanaan, penerapannya sampai sekarang masih belum optimal. Dengan begitu, para seniman akan tetap terus kesulitan berkarya lantaran kurangnya pendanaan. (Yunianto, 2023). Hal ini dapat mempersulit advokasi peningkatan investasi dan dukungan bagi sektor-sektor ini.
Penutup
Berdasarkan gambaran kompleksitas masalah industri kreatif di atas, segala bentuk sinergi, kolaborasi dan keterbukaan antar pihak diperlukan satu sama lain untuk mengedukasi masyarakat.Â
Jika Indonesia serius untuk memajukan ekonomi kreatif, mengatasi tantangan-tantangan di atas merupakah hal sangat penting untuk menumbuhkan ekosistem kreatif dan membuka seluruh potensi industri-industri ini untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia.
Tanpa adanya satu kesepakatan dan pandangan yang sevisi, agaknya industri kreatif akan selalu menemui kendalanya di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI