"Aku tidak ingin putus," katanya. Saat itu wajah Vanita terlihat berharap, suaranya terdengar memohon.
Kami duduk berhadapan dan aku hanya termangu mendengar kalimatnya. Berpikir, lalu berkata, "tidak. Kau memang ingin putus dariku," kataku, menatapnya datar.
"Hei, aku tidak pernah bilang begitu." Spontan jidatnya membentuk kerutan.
"Kau memang tidak pernah bilang, tapi sikapmu terlihat jelas menginginkan putus dariku."
Wajah Vanita tampak sedikit emosi dengan napas terlihat naik turun. Sadar dengan sikapnya yang mulai memperlihatkan protes, aku tidak ingin menunggu perempuan itu mengeluarkan kalimat tambahan.
"Aku pernah menjalani hubungan dengan orang lain, begitu pun denganmu. Mungkin kau terbiasa mencemburui mereka habis-habissan dan mencurigai segala hal yang ada pada mantanmu. Tapi aku, kekasihmu yang sekarang tidak ingin menjalani hubungan dengan perasaan tertekan seperti itu." Sesaat kutatap wajahnya dan secepatnya melanjutkan kalimat, "aku tidak ingin bersama dengan perempuan yang selalu berubah menjadi menyeramkan ...." Sampai di kalimat itu wajah Vanita terlihat tidak terima, karena itu berarti, ketika ia marah wajahnya menjadi sangat menakutkan jauh dari paras cantik dan menggemaskan. Oh, please ....
Dengan suara bergetar, Vanita kembali meminta hal yang sama seperti beberapa menit sebelumnya. "Ernest, aku tidak ingin putus darimu," katanya dengan air mata yang menggenang.
Aku diam, menatap datar. Berpikir dan bertanya pada diri sendiri, haruskah mengikuti keinginannya?
"Aku berjanji semua akan berubah." Wajah Vanita memperlihatkan ketulusan.
"Tidak mungkin. Ini pasti akan terjadi lagi." Dan aku tidak berani berharap.
BERSAMBUNG