Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Berwarna Hitam (Part - 2)

1 April 2019   11:24 Diperbarui: 1 April 2019   11:27 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto : pixabay.com

Siang itu berguncang. Akalku terhantam luar biasa melihat Vanita berteriak dan mendekat ke arah kami. Tanpa basa basi, ia langsung menampar Dina dan tak melupakan pipiku untuk ikut menjadi sasaran empuknya.

Selama hampir seminggu, berbagai cara dan penjelasan serinci apa pun berusaha kulakukan agar Vanita rela melepaskan amarahnya yang mengerikan dan itu berhasil setelah kupertemukan dengan Dina untuk memperjelas hubungan kami dan insiden di parkiran itu.

Tapi ternyata rasa lega yang singgah hanya sebentar mendamaikan hatiku. Keributan-keributan kecil mulai sering bermunculan. Vanita, perempuan yang sudah lebih dari lima bulan menjadi kekasihku tak lagi terlihat menggemaskan dan mudah untuk dirindukan.

Terkadang saat pesan lewat ponsel terlambat kubalas atau telponnya tidak bisa kuangkat, maka yang terjadi kemudian adalah, puluhan kali panggilan tak terjawab muncul di layar ponsel dan puluhan pesan dikirim berisi kemarahan.

Bahkan kejadian di parkiran waktu itu selalu diungkit Vanita untuk membuatku tampak bersalah.

"Aku sudah menjelaskannya padamu, kalau kami tidak ada hubungan apa pun. Kau sendiri sudah bicara langsung dengan dia. Sekarang apa lagi yang diragukan?" tanyaku kesal.

Siang itu aku datang ke rumah Vanita. Kebetulan hari minggu, kami berencana pergi jalan-jalan, tapi karena macet menghambat kedatanganku lebih dari setengah jam. Aku pun datang disambutnya dengan dugaan yang tak beralasan.

Ia berdiri di depan pintu yang terbuka dengan wajah emosi, kedua tangan disilangkan di depan dada, menatapku seakan ingin membumi hanguskan dunia.

"Ya, aku memang sudah bicara dengan perempuan itu, tapi aku tidak tahu apakah kalian melakukan persekongkolan untuk membodohiku? Bisa jadi dari tadi kau menyempatkan diri mendatangi rumahnya dan menjadikan macet sebagai alasan."

Oh, Tuhan ... kutarik napas panjang demi merenggangkan urat kepala yang seakan tercekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun