Kecemburuan dan prasangkanya pun semakin menjadi-jadi. Tuduhan-tuduhan yang tak berkesudahan membuatku tak mampu menahan diri untuk mengakhiri hubungan.
"Baiklah, bagaimana kalau kita putus?" Aku mengultimatum.
Wajah Vanita yang emosi bertambah menjadi shock.
"Putus? jadi kau lebih memilih perempuan itu dari pada bersamaku?" tanyanya dengan nada tinggi.
Aku semakin tidak nyaman, karena pertengkaran kami akan mengundang tetangga sekitar rumahnya untuk mengamati. Dengan pasrah dan menyerah kulengkapi pernyataanku sekali lagi.
"Vani, dengar. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan perempuan itu dan silakan menuduhku dengan semua kecurigaanmu, karena aku sudah tidak tahan lagi. Hubungan kita sampai di sini. Aku pamit."
Diiringi teriakan Vanita yang tidak bisa menerima keputusan itu, aku pergi melajukan motor meninggalkan rumahnya.
****
Sejak memutuskan hubungan dengan perempuan yang telah lima bulan lebih menjadi kekasihku. Dari kemarin siang hingga pagi ini, ponselku penuh dengan pesan dan panggilan telepon yang tidak juga kuangkat. Aku malas. Lelah. Muak.
Karena aku tahu, Vanita hanya akan terus mengajak berdebat. Ia tidak ingin mengalah ketika mendengar pembelaan diriku.
Aku pun mengindahkan semua kegusaran dan melanjutkan aktifitas pergi ke tempat kerja seperti hari-hari sebelumnya. Dan begitu sampai di sana, tepat di samping pintu kantor, Vanita terlihat menunggu, sikapnya tegang, kemarahan tampak tak berkurang dari raut wajahnya.