"Apa lagi?" keluhku menatapnya sambil menghela napas pendek.
"Kita harus bicara!" Vanita menjawab dengan intonasi suara yang meninggi, tak memedulikan beberapa pasang mata yang langsung memerhatikan kami.
"Tidak sekarang. Nanti!" kataku menekan nada dengan tegas.
"Tapi aku mau sekarang," ketusnya dengan suara rendah, sesekali memerhatikan orang-orang sekeliling. Mengingat saat itu belum waktunya masuk kantor.
"Aku tidak mau. Kalau kau masih berkeras, silakan ribut di sini," kataku mengambil sikap, menatap wajahnya dengan tegas, karena aku tak ingin dikendalikan.
Wajah Vanita memerah, amarahnya memuncak, apalagi setelah aku menolak bicara. Walaupun begitu, ia masih bisa mengontrol diri karena keberadaan orang-orang yang masih terlihat mengobrol di sekeliling kami.
"Baiklah, aku tunggu siang ini di kafe biasa."
Setelah mengatakan permintaannya, aku langsung masuk ke dalam kantor dan menghempaskan diri di atas kursi. Memejamkan mata sambil menghela napas panjang.
Perlahan cinta memperlihatkan rasa suram, akibat dari sebuah tekanan yang terjadi dalam hubungan kami. Bukannya aku tak pernah mengalami hal ini, hanya saja aku tak menyangka ini akan terjadi lagi.
Ketika mengingat beberapa perempuan yang pernah bersamaku. Harapan agar Vanita tidak seperti mereka sungguh sangat kuinginkan, tapi kalau perempuan yang masih kucintai itu ternyata tak jauh berbeda, maka yang kulakukan selanjutnya tidak akan berbeda dari sebelumnya.
Tak terasa jam makan siang tiba. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu Vanita. Pikiranku masih kacau, aku hanya ingin menenangkan diri dan jauh darinya, tapi kenyataan kalau kami harus bicara membuatku berada di sebuah kafe, tempat di mana kami selalu menghabiskan makan siang bersama.