Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mimpi Siang Bolong

25 November 2018   17:42 Diperbarui: 25 November 2018   18:12 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto:pixabay.com)

Gadis itu terbilang sangat hati-hati apalagi dengan berbagai pemberitaan yang sekarang ini sedang naik daun tentang pembunuhan para penjaja seks komersial.

"Jangan memakai pakaian yang mencolok seperti anak cabe-cabean. Kita harus kelihatan normal seperti anak-anak remaja yang sedang ingn bersantai untuk menghindari kecurigaan mata-mata orang," ucapnya memberi penjelasan, sekali lagi lengkap dengan senyuman.

Sesaat kemudian, Adriana pamit keluar dengan alasan untuk membeli sesuatu. Kau tahu kan, masa-masa menunggu adalah masa yang melelahkan. Kebosanan mulai membungkusku, kantuk merayapi keinginan untuk memejamkan mata.

Dan akhirnya kepalaku mendarat nyaman di kasur empuk milik Adriana. Dalam lelap, sebuah mimpi siang bolong menyusup pelan, memberikan tayangan mengkhawatirkan.

Ibuku sedang menangis, beliau terlihat duduk sambil berbicara di lantai dapur. Aku berusaha menggunakan telingaku untuk memahami keadaan dan tiba-tiba aku terbangun.

Beberapa menit selanjutnya, aku dan Adriana mempersiapkan diri untuk bertemu pelanggan pertamaku, itu yang dikatakannya. Saat keluar tadi, ia sempat mendapat panggilan seseorang laki-laki di ponselnya dan Adriana mengambil keputusan kalau saat itu adalah kesempatanku memulai pekerjaan kelam.

"Tenang saja, pelanggan pertamamu bukan Om botak yang membawa perut buncit. Laki-laki ini masih keren dan lajang dan tentu saja, tampan." Adriana menyunggingkan senyumnya lengkap dengan kerlingan mata nakal.

Begitu menuju tempat pertemuan yang telah ditentukan, dalam taksi ber-ac, aku duduk gelisah. Dadaku berdentum keras, pikiran kocar-kacir kebingungan menentukan apakah aku harus mengundurkan niat untuk menjual diri atau tidak?

Mimpi siang bolong yang sempat menjambangi tidurku telah membuat goyah, tapi berat untuk menghentikan langkah karena membayangkan uang yang akan kuterima.

Akhirnya, pertemuan itu tetap terjadi di sebuah rumah mewah, walaupun gelisah menguasai hati, aku tetap fokus pada pelanggan pertamaku.

Basa basi terjalin, aku, Adriana dan laki-laki yang masih terbilang umur 30-an itu memulai komunikasi santai sebelum menuju ruang keintiman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun