Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mimpi Siang Bolong

25 November 2018   17:42 Diperbarui: 25 November 2018   18:12 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto:pixabay.com)

Jual diri. Singkatnya, itu yang dikatakan Adriana. Siapa pun yang tahu arah pembicaraannya, pasti langsung mengerti seperti mudahnya menebak 1+1 = 2. Ya, saat itu Adriana memang tak tampak menutup-nutupi dari mana handphone canggih yang dimilikinya.

Bayangkan, seorang anak sekolahan sepertiku dan masih memakai rok abu-abu sudah bisa mendapatkan semua yang kuinginkan hanya dengan membiarkan seorang laki-laki tak dikenal menikmati tubuhku dalam cinta sesaat.

Kemudian dari kantong kecilnya akan keluar berlembar-lembar uang berwarna merah dengan nominal yang jarang sekali kupegang. Ya, ya, aku tahu. Faktanya, di kehidupanmu ada teman-teman sekolah yang berprofesi seperti itu, bahkan kenyataan yang tidak bisa ditampik anak berseragam SMP mana pun mampu nekat melakukan hal yang sama.

Hingga malam menuju puncaknya, aku belum bisa berdamai dengan indra penglihatanku. Sepasang mata ini enggan tertutup walaupun untuk sejenak mengambil jeda.

Hatiku mengalami perang dahsyat. Aku memang belum memberikan jawaban yang pasti pada Adriana, apakah aku setuju atau tidak untuk ikut dengannya melakukan jual diri, karena sudah jelas pekerjaan itu sangat bertolak belakang dengan apa pun pengajaran orang tua, agama bahkan guru sekali pun.

Tapi aku sangat menginginkan hidup yang lebih baik, bukan ketertinggalan karena tidak bisa memiliki apa-apa dan tidak bisa membeli apa-apa.

Selama ini aku sudah cukup dituntut untuk mengerti keadaan keluarga, bahkan aku juga tidak pernah menuntut apa pun dari seorang pria dan wanita yang kusebut sebagai ibu dan bapak.

Aku bukan anak yang tidak mengerti kalau menjajakan diri adalah salah satu dosa terbesar yang paling di murkai Tuhan.

Hanya saja begitu banyak bayang-bayang keadaan keluargaku yang melintas di langit-langit kamar, hingga membuat pengertianku tentang kemarahan Tuhan menjadi terkikis sedikit demi sedikit.

Aku tidak bisa lupa saat kakakku, Nuria. Pulang di tanggal gajian, tapi uang yang masih tersegel rapi di dalam amplop itu dengan mudahnya berpindah tangan ke para preman yang mencegatnya di puncak malam.

Beruntung, kakakku bisa pulang dengan napas dan kondisi yang sehat wal'afiat, bukan malah menjadi pemberitaan betapa kejinya pembunuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun