Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pertanyaan Sinis dan Kekuatan Jawaban

8 November 2018   12:57 Diperbarui: 8 November 2018   13:39 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto:pixabay.com)


Wah, wah, wah, setelah selesai memposting tulisan beberapa minggu yang lalu, acara menulis saya mampet again hehehe.... Tapi Alhamdulilah sekarang saya sudah memaksakan diri untuk menulis lagi.

Lho kenapa dipaksa? Karena kalau tidak begitu, pikiran saya akan tetap stuck, walaupun banyak hal yang ingin saya tulis. Masing-masing penulis berbeda-beda tentang hal ini.

Okehh, ummm ... ada sebuah moment yang sebenarnya sudah sangat lama ingin saya tulis di sini. Moment yang membuat saya sulit tidur, sulit makan, sampai-sampai untuk nonton acara drama kesukaan saya saja, otak ini tidak menemukan jalur konsentrasinya. Ciiyyeeehhh berat cyynnn hehehe ... untungnya moment acak adut itu tidak berpengaruh besar pada peta pikiran saya.

Bagaimana kalau saya sampai jatuh sakit hanya karena masalah ini? tidak mungkin, kan, saya harus memanggil salah satu dokter tampan di Indonesia hanya untuk memeriksa saya? yang ada malah tambah sakit, karena ingin betah dirawat sama si dokter tampan itu.

Sangking beratnya saya harus mencari orang yang benar-benar mengerti dalam bidang menulis untuk dimintai tolong, bayangkan, berapa banyak halangan yang harus saya harus lewati, dari badai, hujan dan petir. (ceritanya lebbay)

Hingga akhirnya saya menemukan orang itu. Huffttt ... (lega). Dia seorang perempuan baik hati yang juga seorang penulis seperti saya, tapi bedanya beliau ini sudah banyak menghasilkan karya buku, sedangkan saya baru saja meniti karir jadi penulis. Saya mengenalnya lewat media social, facebook. Senangnyaaaaa!! (sambil jingkrak-jingkrak!)

Kembali lagi ke moment yang begitu kuatnya menyita perhatian. Saya punya seorang teman perempuan, anggap saja inisialnya A. Saya memutuskan untuk tidak menyebutkan nama, ntar bisa kena hak cipta (jiaaahhhh, lebbay === bercanda :D )

Saat itu kami baru beberapa bulan saling kenal. Pertemanan kami karena peran seorang teman yang berinisial B, karena jarak tempat tinggal antara saya dan si A cukup jauh, kami pun baru bertatap muka sebanyak tiga kali.

Di masa itu saya sedang tidak ingin dikenal sebagai penulis, karena cukup banyak yang memandang sinis ketika saya dengan jujur menjawab. "Aku lagi meniti karir jadi penulis."

Hinaan dan cemoohan pun sudah cukup memenuhi isi telinga, jadi saya putuskan untuk tidak mengatakan apa pun tentang profesi yang sedang saya geluti.

Tapi sayangnya ... ya, sekali lagi, hati dan pikiran saya harus kembali dihantam keras dengan kalimat-kalimat sinis dari orang-orang yang ingin memborbardir semangat juang saya. Uuugghh geregetan!! (langsung ngunyah cobek batu, tapi itu Limbad bukan saya) hehehe ....

Dari si B, akhirnya si A tahu kalau saya seorang penulis. Padahal sebelumnya saya sudah wanti-wanti pada si B untuk tidak mengatakan apa yang sering saya kerjakan di rumah.

Seperti di film para agen, seorang agen rahasia akan selalu meminta pada teman yang dipercayainya untuk merahasiakan jati dirinya dan itulah yang saya lakukan, hemmm... (yang ini sengaja ngambil dari adegan film), tapi si B beralasan kalau orang yang dikenalkannya pada saya juga suka menulis. Dari situlah semua moment itu bermula.

Suatu hari saya dan si A ngobrol lewat telefon, awalnya pembicaraan berjalan biasa-biasa saja, tapi saat saya bertanya padanya,

"Kamu masih nulis sekarang?"

"Nggak, buat apa?" kalimatnya langsung sinis dan bersambung, "sekarang ini nggak jamannya lagi nulis, banyakin baca aja."
Deg, seperti ada batu yang melempar ulu hati ini. Saya bingung kenapa tiba-tiba seorang teman yang baru beberapa bulan saya kenal menjawab dengan kalimat se-sinis itu. Kemudian saya pun tidak membahas ucapannya, karena saya pikir dia mungkin ada masalah sampai harus memberi jawaban yang membuat saya tersinggung.

Tapi, beberapa hari kemudian, saat saya sedang asyik menulis sebuah cerita pendek, tiba-tiba dia mengirimi sms.

"Sedang apa, sibuk ya?"

Dan saya pun menjawab. "Ya, aku lagi nulis nih hehehe ...."

Tidak disangka kiriman sms selanjutnya adalah, "jadi orang, jangan cuma mikir terus di rumah. Kamu tahu nggak, jadi penulis itu nggak asyik, seperti 'nggak mau keluar dari zona aman', ngabisin waktu aja."

Sekali lagi saya diamkan ucapannya dan sekali lagi juga masih berpikir untuk tetap berprasangka baik. Lewat dari beberapa hari, si A itu kembali mengirimi saya sms.

"Berhentilah menulis, jadi penulis itu cuma mimpi disiang bolong. Menulis itu nggak ada tantangannya sama sekali."

Upsss ... Untungnya saya bukan orang yang suka cari ribut sama orang lain hehehe ... saya cinta damai. Kondisi ini sangat berbeda ketika saya dibentak oleh seorang teman yang memaksa untuk masuk bisnisnya waktu itu. (ada apa dengan penulis) saat dibentak, saya akan balas membentak karena saya dalam koridor yang benar, tapi ini ... seorang teman mengatakan dengan halus dan lemah lembut kalimat kesinisan dan karena itulah saya mengambil sikap diam.

Saya tiba-tiba ingat dengan tokoh kartun samurai x kesukaan saya, Ken Shi Himura. Weeiittss, dia sangat tahu siapa orang yang pantas dia lawan, karena insting pendekarnya bisa langsung menebak, apakah musuhnya memiliki ilmu tingkat tinggi yang sama dengannya atau hanya seorang musuh "kerdil" yang beraninya sekedar menakut-nakuti saja. Seperti terdengar aauman singa, tapi saat dilihat eehhh ... hanya seekor anak kucing biasa. :D

Lagi pula waktu itu, saya tidak mau peta pikiran yang sudah berpola untuk saya tulis, jadi acak-acakkan hanya karena sebuah sms.

Namun setelah selesai menulis, semua kalimat si A itu malah tertancap kuat dipikiran, sama seperti saat kita sedang memikirkan seseorang, tapi kita tidak tahu entah di mana orang itu berada. Ya, sebagian kegiatan saya jadi terganggu selama berhari-hari. Oh tuhan saya tersiksa (sambil pengang jidat) saya sampai berpikir, apa saya telah salah memilih jadi penulis??

Naahhh ... disaat itulah saya bertemu dengan seorang mbak yang saya ceritakan di atas. Namanya Aliya Nurlela, kepadanyalah saya memberikan tiga pertanyaan yang sebelumnya sudah dikatakan si A dengan sinis.

Sayang sekali saya tidak bertemu langsung dengan Mbak Al (begitu saya memanggilnya), karena beliau ini tinggal di Ciamis, Jawa Barat. Sedangkan saya tinggal di Kalimantan Timur, maka pembicaraan pun terjadi lewat inbox. Disana saya berkeluh kesah pada beliau.

Kalau dalam cerita Naruto, saat terjadi perang besar. Ayah Ino ditugaskan untuk menggunakan telepati pikiran agar bisa bicara dengan semua personel di medan perang. Saya selalu berharap bisa melakukan itu pada orang lain. Tidak perlu sms atau telpon, tinggal pegang kepala saja dan langsung bisa bicara dengan semua orang yang dimaksud hehehe .... (ngawurr) :P

Kembali ketopik pembicaraan. "Mbak Al, seorang teman pernah bilang pada saya, kalau sekarang bukan lagi jamannya menulis, tapi banyakin baca aja. Bener begitu, Mbak?" lewat inbox facebook saya menunggu jawaban Mbak Al dengan hati berdebar.

"Pendapat saya, kurang setuju dengan pendapat temanmu itu, karena dari mana kita membaca, kalau tidak ada yang menulis?"

Ketika membaca pesan itu saya langsung tersenyum senang. I know it!! Saya yakin kalau tidak salah bertemu dengan mbak ini dan bertanya padanya tentang masalah saya, hingga pertanyaan pun berlanjut.

"Mbak Al, bener ya jadi penulis yang kerjanya mikir dan nulis di rumah doang, seperti 'nggak mau keluar dari zona aman', menurut Mbak gimana??"

"Hmmm, justru jadi penulis itu sedang melatih pikiran agar keluar dari zona aman, untuk mendapat kenyamanan berikutnya yang lebih baik."

Sampai di situ saya agak kebingungan dengan jawaban si mbak, kepala saya sampai miring ke kanan dan ke kiri sambil mengerutkan dahi berulang kali mencerna jawabannya, tapi dari pada saya makin bingung, lagian di rumah ga ada tiang yang bisa dipegang, saya pun kembali bertanya setelah mengumpulkan tenaga dalam yang terbuang. Hehehe ... pakai perumpamaan dikit biar keren.

"Gimana dengan kegiatan yang secara fisik nggak kita lakukan? Karena kita kerjanya nulis, menyendiri, sampai-sampai teman saya bilang kalau saya 'seperti malas' keluar dari zona aman."

"Wah, menulis itu bukan berarti malas lho. Memang kelihatannya hanya duduk saja tanpa mengerjakan aktivitas fisik, tapi sebenarnya kegiatan berpikir itu lebih berat dari kerja fisik sebab kita memerlukan kondisi tubuh dan pikiran yang fresh."

Yuuppss itu benar!! Karena selama saya menulis, pikiran benar-benar terkuras, tubuh bisa langsung kelelahan, perut spontan keroncongan, padahal baru beberapa jam diisi dan itu adalah sebuah fakta. Yah, fakta ini cuma tinggal disahkan saja di rapat dewan DPR dan MPR. (hadeehhhh)

"Trus, menulis itu nggak ada tantangannya sama sekali. Apa itu benar mbak??"

"Menulis itu memang tidak bisa sambil loncat-loncat, jingkrak-jingkrak, berkendara, naik turun tebing, tapi bukan berarti menulis itu tidak menantang lho. Meramu kata adalah sebuah tantangan tersendiri, meskipun dilakukan sambil duduk manis. Pikiran kita bekerja, "menjungkir-balikkan" kata agar enak dibaca. Bisa sama sulitnya dengan belajar mendaki gunung. Awal kita menulis, sama seperti halnya "berenang" dulu di tempat yang dangkal. Semakin lama kita menulis, tentu harus berani "berenang" di kedalaman, itu artinya, menjadi penulis adalah sebuah tantangan."

Taaraaaaaaaa, setelah tiga pertanyaan menyakitkan itu terjawab dengan tiga jawaban sakti dari Mbak Aliya Nurlela, semua beban berat yang betah bertengger di pundak saya langsung lepas begitu saja.

Jadi ingat salah satu film kolosal cina, kalau ada murid yang keracunan, si guru langsung mengeluarkan tenaga dalam yang ditransfer ke tubuh si murid, lalu si murid akan tiba-tiba memuntahkan racun dari mulutnya. Uueeggkk...

Endingnya, semua kegaitan saya kembali lancar hehe ... saya tidak lagi mempedulikan sebab, kenapa teman saya mengatakan semua kalimat sinis itu, saya juga tidak mempedulikan betapa remehnya dia memandang saya. Yang saya pikirkan hanya menulis dan menulis.

"Apa pun mimpi Anda, jika Anda terus saja mendengarkan orang-orang yang ada di sekitar Anda, peluang mimpi Anda untuk menjadi nyata sangatlah tipis." (Shopia Amaruso)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun