Teriakkan- teriakkan keponakan-keponakannya, tiba-tiba menyadarkan Gayatri bahwa harapan tak selamanya indah. Dan itulah kesehariannya: mengasuh dan mengurusi mereka.Â
"Ini hanya sebentar, ini hanya sementara, sekali ini lagi saja, ya, hanya sekali ini. Benar," batin Gayatri membujuk hatinya sendiri dengan keyakinan-keyakinan yang dia sendiri sudah memperkirakan bagaimana wujud ke depannya.Â
***
Lengkingan tinggi dan suara benda pecah menyusul tangisan bayi, membangunkan Gayatri yang baru saja terlelap.Â
Bergegas dia menuju sumber suara. Tampak sesosok perempuan beruban dengan kerutan di seluruh wajahnya terbungkuk-bungkuk menggendong bayi dan melerai pertengkaran dua keponakannya yang berusia tiga dan dua tahun. Sedangkan lantai sudah dipenuhi pecahan beling, nasi, air yang tumpah dan mainan yang berserakan.Â
"Ibu!" teriak Gayatri dan bergegas menghampiri dan menarik kedua ponakannya menjauhi pecahan beling.Â
"Kalian tunggu dulu di sini, jangan ke mana-mana! Kalau ada yang bergerak, Bude kasih hukuman nanti!" Gayatri pun bergegas membersihkan lantai dan meminta ibunya agar segera duduk di sofa.Â
Tangisan bayi akhirnya berhenti, tetapi omelan Gayatri tak kunjung reda kala dia mengetahui adiknya yang bungsu itu pergi meninggalkan ketiga anaknya di rumah ibunya.Â
"Lagi-lagi dia begitu. Setiap saat menyusahkan Ibu saja. Pergi kemana dia, sudah banyak anak, enggak mau ngurusin malah merepotkan orang tua!"
"Sudahlah, Ay."
"Enggak, Bu! Ya, ampun! Ini sudah keterlaluan. Sampai meninggalkan bayinya juga? Kalau Ibu diamkan saja perilakunya itu, lama-lama dia makin enggak tahu diri! Ibu, 'kan, sudah sepuh gini, mana sakit-sakitan lagi, tega bener dia!"