Mohon tunggu...
Gloria Pitaloka
Gloria Pitaloka Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga dan Penulis

Perempuan yang mencintai bumi seperti anak-anaknya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Gabug

12 Juni 2023   18:12 Diperbarui: 12 Juni 2023   18:17 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gabug itu artinya kosong. Sejatinya, kosong itu berisi. Berisi itu kosong. Jadi kesimpulannya: gabug itu ya gabug. Kosong itu kosong. Berisi ya berisi."

Kata-kata itu terus bergema di kepala Gayatri semenjak pertemuan dengan keluarga besarnya dan orang-orang sekampung yang menanyakan pertanyaan yang mentradisi dan menjadi sapaan wajib di kancah pergaulan sosial desanya. 

"Mbak Gayatri kapan berisi? Padahal nikahnya sudah lama, lho, Mbak. Jangan-jangan dalam satu keluarga, ada gabugnya? Padahal setahu saya, semua keturunan keluarga Mbah Winaryo semuanya subur-subur, lho. Ibunya saja anaknya aja ada 9 apalagi neneknya sampai 12. Yah, wajar, kan, kalau tidak semua berisi, kan?" tanya tetangga depan rumahnya. 

"Betul juga. Si Mbaknya ini, nikahnya sudah mau lima tahun, tapi isinya malah keduluan adiknya. Jadi jelas, ya, siapa yang gabug dan berisi, kan?" timpal tetangga yang lainnya. 

Gayatri yang sadari tadi berdiam diri saja, berniat membuka mulutnya. "Ibu-Ibu! Tolong berhenti ber-ghibah. Namanya manusia mana ada yang bisa mengatur soal urusan keturunan. Mungkin belum dipercaya sang Pencipta. Makanya, kita harus sabar, tawakal dan berikhtiar. Banyak-banyak berdoa, ibadah dan sedekah agar lekas diberi momongan." Salah seorang 

Namun, sebelum sempat berbicara, seorang ibu menimpali dengan bijak, akan tetapi perkataannya terasa lebih menusuk ke jantung Gayatri. Perempuan yang sudah sudah menikah lama, tetapi belum dikaruniai buah hati itu hanya bisa bersabar. 

Seperti itu, nyaris setiap saat, setiap kali Gayatri keluar rumah dan bersosialisasi yang atas nama silaturahmi atau lebih tepatnya hajatan di desanya. Maka, tak hanya perkataan-perkataan yang menusuk tajam meninggalkan bekas di hatinya. Namun, pandangan-pandangan dengan beragam pemikiran termasuk rasa kasihan padanya lebih tajam dan menusuk sanubari hingga ke akar-akarnya. 

Gayatri hanya bisa menarik napas panjang lalu segaris lengkung muncul di bibirnya. Kali ini dia tak akan membiarkannya. "Maaf, Ibu-ibu. Saya belum berminat mempunyai anak. Jadi, wajar kalau saya belum dikaruniai anak sampai saat ini."

"Mengapa? Anak bukannya rejeki? Jangan sampai nyesel tak mau punya anak. Tak ada yang mengurus di hari tua. Belum sempurna seorang perempuan jika tak mampu mengandung dan melahirkan. Lihat, adikmu masih muda sudah punya tiga anak. Hidup itu lebih lengkap dan bahagia jika memiliki anak. Mereka adalah investasi masa depan kita, dunia mau pun akhirat?"

Gayatri tak langsung menjawab. Dia sedang mencoba mengumpulkan kekuatan untuk membalas mereka. 

"Begini. Saya belum mau punya anak karena tak ingin memiliki banyak anak tetapi tidak mampu mendidiknya sehingga tak memiliki akhlak yang baik. Contohnya seperti: menjaga mulut untuk tidak menghina orang lain, mencampuri dan mengatur-ngatur kehidupan dan urusan orang lain. Jangan sampai anak-anaknya yang berisi itu menjadi gabug tak berisi. Paham, Buibu?" Gayatri memandang tajam dengan penekanan pada kalimat terakhirnya. 

Para tetangga yang bergibah itu bergeming dan kemudian hanya melengos. Sekakmat! batin Gayatri puas. 

Seperti itulah yang terjadi. Gayatri selalu disandingkan dengan Mayatri. Gadis manis yang berhasil menikahi kekasih pujaan--anak Juragan Katuk, dan memberikan beberapa cucu dalam tempo empat tahun. Luar biasa. Dada Gayatri berdenyut nyeri. Meskipun sudah dibilang terbiasa, tetap saja dia tak selalu kebal. Maka, memasang wajah tanpa ekspresi adalah caranya menutupi luka dengan berpura-pura baik-baik saja. 

Gayatri lega ketika tiba di pintu rumahnya. Bebannya terasa hilang seketika. Namun, seraut wajah ceria menyambutnya ketika pintu terbuka. 

"Mbak, apa yang terjadi?" Mayatri tersentak melihat wajah sang kakak yang lesu dan berubah masam ketika bersirobok dengan dirinya. 

"Hai, Dik. Tidak apa-apa. Aku mau istirahat, dulu."

"Ah, iya, Mbak. Istirahatlah. Sepertinya butuh pulihkan energi dulu." Seperti biasa, Mayatri tersenyum di depan kakaknya, tetapi setelah berlalu, senyum itu memudar dan berubah menjadi cebikkan. 

Gayatri mengangguk lalu berlalu dan menghadap meja makan. Matanya menatap tudung saji itu, barangkali ada makanan yang bisa mengembalikan semangatnya. Namun, saat dibuka, alih-alih makanan menggugah selera, yang tampak si sana hanyalah tumpukan piring kosong yang kotor. 

"Bude! Bude! Bikinin kita pesawat-pesawatan kertas dong!"

"Aku duluan!"

"Aku!" 

Teriakkan- teriakkan keponakan-keponakannya, tiba-tiba menyadarkan Gayatri bahwa harapan tak selamanya indah. Dan itulah kesehariannya: mengasuh dan mengurusi mereka. 

"Ini hanya sebentar, ini hanya sementara, sekali ini lagi saja, ya, hanya sekali ini. Benar," batin Gayatri membujuk hatinya sendiri dengan keyakinan-keyakinan yang dia sendiri sudah memperkirakan bagaimana wujud ke depannya. 

***

Lengkingan tinggi dan suara benda pecah menyusul tangisan bayi, membangunkan Gayatri yang baru saja terlelap. 

Bergegas dia menuju sumber suara. Tampak sesosok perempuan beruban dengan kerutan di seluruh wajahnya terbungkuk-bungkuk menggendong bayi dan melerai pertengkaran dua keponakannya yang berusia tiga dan dua tahun. Sedangkan lantai sudah dipenuhi pecahan beling, nasi, air yang tumpah dan mainan yang berserakan. 

"Ibu!" teriak Gayatri dan bergegas menghampiri dan menarik kedua ponakannya menjauhi pecahan beling. 

"Kalian tunggu dulu di sini, jangan ke mana-mana! Kalau ada yang bergerak, Bude kasih hukuman nanti!" Gayatri pun bergegas membersihkan lantai dan meminta ibunya agar segera duduk di sofa. 

Tangisan bayi akhirnya berhenti, tetapi omelan Gayatri tak kunjung reda kala dia mengetahui adiknya yang bungsu itu pergi meninggalkan ketiga anaknya di rumah ibunya. 

"Lagi-lagi dia begitu. Setiap saat menyusahkan Ibu saja. Pergi kemana dia, sudah banyak anak, enggak mau ngurusin malah merepotkan orang tua!"

"Sudahlah, Ay."

"Enggak, Bu! Ya, ampun! Ini sudah keterlaluan. Sampai meninggalkan bayinya juga? Kalau Ibu diamkan saja perilakunya itu, lama-lama dia makin enggak tahu diri! Ibu, 'kan, sudah sepuh gini, mana sakit-sakitan lagi, tega bener dia!"

"Sudah! Sudah! Ibu enggak apa-apa." 

"Ibu ini, selalu belain dia terus. Ini akibatnya, Mayatri jadi manja dan enggak berpikir. Kapan dia akan dewasa, Bu?"

"Tapi Ibu ikhlas, Nak, untuk kalian."

"Ibu--"

"Gayatri! Jadi, seperti itu kamu memandangku?"

"Apa maksudmu?"

Mayatri yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka, berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk kalap pada kakaknya sehingga membangunkan tidur bayinya dan menangis seketika. Tanpa basa-basi dia merebut bayinya, lalu menyeret kakak-kakaknya. 

"Dasar memang perempuan gabug! Anak gabug, tak akan pernah tahu rasanya gimana jadi seorang ibu. Makanya seperti itu!" umpatnya sembari menyertarter motor dan menaikkan ke jok depan dan belakang anak-anaknya yang berusia tiga dan empat tahun itu. 

"Mayatri, tunggu, Nak. Jangan bawa mereka dalam keadaan emosi. Tak baik, Nak. Maafkan Ibu dan Kakakmu ini." Ibu mengejar dengan langkah tertatih-tatih. Namun, Mayatri tak peduli dan terus melajukan scoopy-nya. 

Gayatri syok dengan perlakuan Mayatri dan hanya termangu. Lalu dia menggumamkan kata-kata gabug itu secara berulang-ulang tanpa sadar. 

"Gabug. Berisi. Kosong. Ada anak gabug, anak berisi. Semua kosong. Semua berisi. Kosong dan berisi. Gabug tak berguna. Berisi tapi tak berguna. Kopong."

***

Purwakarta, 18 Desember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun