"Begini. Saya belum mau punya anak karena tak ingin memiliki banyak anak tetapi tidak mampu mendidiknya sehingga tak memiliki akhlak yang baik. Contohnya seperti: menjaga mulut untuk tidak menghina orang lain, mencampuri dan mengatur-ngatur kehidupan dan urusan orang lain. Jangan sampai anak-anaknya yang berisi itu menjadi gabug tak berisi. Paham, Buibu?" Gayatri memandang tajam dengan penekanan pada kalimat terakhirnya.Â
Para tetangga yang bergibah itu bergeming dan kemudian hanya melengos. Sekakmat! batin Gayatri puas.Â
Seperti itulah yang terjadi. Gayatri selalu disandingkan dengan Mayatri. Gadis manis yang berhasil menikahi kekasih pujaan--anak Juragan Katuk, dan memberikan beberapa cucu dalam tempo empat tahun. Luar biasa. Dada Gayatri berdenyut nyeri. Meskipun sudah dibilang terbiasa, tetap saja dia tak selalu kebal. Maka, memasang wajah tanpa ekspresi adalah caranya menutupi luka dengan berpura-pura baik-baik saja.Â
Gayatri lega ketika tiba di pintu rumahnya. Bebannya terasa hilang seketika. Namun, seraut wajah ceria menyambutnya ketika pintu terbuka.Â
"Mbak, apa yang terjadi?" Mayatri tersentak melihat wajah sang kakak yang lesu dan berubah masam ketika bersirobok dengan dirinya.Â
"Hai, Dik. Tidak apa-apa. Aku mau istirahat, dulu."
"Ah, iya, Mbak. Istirahatlah. Sepertinya butuh pulihkan energi dulu." Seperti biasa, Mayatri tersenyum di depan kakaknya, tetapi setelah berlalu, senyum itu memudar dan berubah menjadi cebikkan.Â
Gayatri mengangguk lalu berlalu dan menghadap meja makan. Matanya menatap tudung saji itu, barangkali ada makanan yang bisa mengembalikan semangatnya. Namun, saat dibuka, alih-alih makanan menggugah selera, yang tampak si sana hanyalah tumpukan piring kosong yang kotor.Â
"Bude! Bude! Bikinin kita pesawat-pesawatan kertas dong!"
"Aku duluan!"
"Aku!"Â