Mohon tunggu...
Gracia Odelia
Gracia Odelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga

"Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice, and most of all, love of what you are doing."

Selanjutnya

Tutup

Surabaya Pilihan

Di Balik Jas Putih : Menyoroti Gangguan Mental Mahasiswa Kedokteran

2 Januari 2025   20:20 Diperbarui: 2 Januari 2025   20:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surabaya. Sumber ilustrasi: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Jas putih seringkali dianggap sebagai simbol kesucian, profesionalisme, dan kekuatan. Namun, dibalik jas putih yang menjadi salah satu jas penanda seorang tenaga medis, seperti dokter, tersimpan sebuah perjuangan mental yang dialaminya. Sebagai calon dokter, gangguan kesehatan mental sudah menjadi hal yang tidak diherankan lagi karena banyaknya jumlah kasus gangguan mental yang sering dialami oleh mahasiswa kedokteran. Terkadang, perjuangan yang dikeluarkan oleh mahasiswa kedokteran tidak seimbang dengan pendapatan yang mereka terima saat menjadi dokter. Lantas, mengapa peminat Fakultas Kedokteran tetap menjadi salah satu peminat terbanyak yang dipilih oleh sebagian besar anak SMA dalam memasuki dunia perkuliahan?

Sebagian anak SMA menjawab karena keinginannya untuk menolong orang yang sakit, sedangkan sebagian lagi menjawab karena keinginan orang tua mereka. Memilih jurusan yang tidak sesuai dengan keinginan atau kemampuan pada anak dapat menyebabkan seorang mengalami kesulitan selama di perkuliahan. Hal ini pun akan berdampak pada psikologis anak ketika mereka menjadi seorang mahasiswa. 

Menjadi mahasiswa kedokteran tidak hanya dituntut secara hard skill saja, namun soft skill juga menjadi tuntutan mereka sebagai salah satu kemampuan yang digunakan untuk berkomunikasi dengan pasien nantinya. Jurusan Kedokteran dianggap menantang karena memiliki masa belajar yang panjang dan berat, serta persaingan yang ketat. Selain itu, tekanan yang diberikan dari tenaga pengajar untuk meningkatkan performa mereka di bidang Kedokteran terkadang menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari. Tidak hanya dari tenaga pengajar saja, namun tekanan dari orang tua, teman, atau bahkan pacar pun dapat membuat seorang mahasiswa kedokteran mengalami gangguan mental. 

Tekanan akademik, ekspektasi yang tinggi, serta ketidakseimbangan emosional adalah pemicu gangguan mental pada mahasiswa kedokteran itu sendiri. Mahasiswa kedokteran harus dapat menyeimbangkan jadwal pelajaran yang padat, tantangan dalam ujian, serta kegiatan di luar kampus yang berbeda-beda pada tiap mahasiswa. Ditambah lagi, apabila mahasiswa tersebut mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya. 

Sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Gracia Odelia membagikan pengalamannya dalam menghadapi temannya yang mengalami gangguan mental. 

"Terkadang seorang yang mengalami gangguan mental tidak membutuhkan nasihat dari kita. Mereka hanya perlu didengar. Hal ini karena belum tentu setiap nasihat yang kita berikan dapat diterima olehnya. Jangan sampai malah semakin memperburuk suasana hatinya yang berujung pada tindakan bunuh diri," ujarnya. 

Gracia pun menambahkan, "Peningkatan pengedukasian tentang Gangguan Mental sangatlah dibutuhkan. Generasi kita memang sudah banyak yang mengalami gangguan mental itu sendiri, khususnya pada mahasiswa kedokteran. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Namun, sebagai bentuk kepedulian generasi muda Indonesia, belajar mengatasi stress bukanlah hal yang sulit,"

"Dalam mengejar pendidikan membutuh perjuangan dan pengorbanan. Namun, menyerah bukanlah kata yang pantas dalam hal ini. Semangat yang tinggi akan membawa kita menuju kesuksesan. Bukankah tujuan kita sama, yaitu membuat kedua orang tua kita tersenyum dengan pencapaian kita? Mari berjuang bersama dengan tetap memiliki pemikiran yang positif, serta mewaspadai gangguan mental itu sendiri!," lanjutnya. 

Mahasiswa kedokteran, khususnya generasi muda sekarang rentan dengan gangguan mental. Bagaimana sebenarnya gangguan mental pada mahasiswa kedokteran? Simak pembahasan selengkapnya di bawah ini!

Pengertian Gangguan Mental 

Melansir dari Student Research Journal, gangguan mental adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku seseorang, serta sering kali berdampak signifikan pada fungsi sehari-hari dan kualitas hidup penderita. Seorang yang tidak dapat menyeimbangkan tekanan fisik dan psikis akan memicu gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, dan burnout.  

Stigma Gangguan Mental pada Mahasiswa Kedokteran 

Di kalangan masyarakat, mahasiswa kedokteran dikenal dengan mahasiswa "kutu buku" yang kerjanya belajar dan tidak punya waktu sama sekali untuk bersenang-senang. "Siap, Bu Dokter" adalah kata-kata yang sering dilontarkan oleh masyarakat sekitar dalam menanggapi mahasiswa kedokteran. Namun, bagi sebagian mahasiswa kedokteran, kata-kata tersebut menjadi sebuah tekanan bagi mereka karena takut gagal dalam memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitar untuk menjadi seorang dokter. Hal tersebut menjadikan mereka lebih memilih untuk bergaul dengan sesama mahasiswa kedokteran karena merasa lebih dimengerti tentang kesibukannya sebagai mahasiswa kedokteran. 

Adanya keterbatasan dalam pergaulan mengakibatkan mahasiswa kedokteran kehilangan "teman aman" untuk melampiaskan stress dan mendapatkan dukungan penuh dari orang-orang terdekatnya. 

Walaupun mahasiswa kedokteran mengetahui tentang penyakit gangguan mental, namun tanpa disadari, hal ini pun dapat terjadi bagi mereka. Stigma mengenai mahasiswa kedokteran dengan gangguan mental membuat mereka enggan untuk mencari bantuan profesional karena takut dianggap lemah atau tidak kompeten. Akibatnya, mereka yang enggan untuk berkonsultasi dengan pihak profesional seperti psikolog membuat kondisi mental mereka semakin buruk. 

Ciri-ciri Gangguan Mental 

Adapun gangguan mental yang sering ditemui pada mahasiswa kedokteran adalah depresi dan gangguan cemas. Seorang dengan gangguan tersebut dapat ditandai dengan ciri-ciri, seperti : 

  1. Perubahan suasana hati secara drastis 

  2. Sering merasa sedih

  3. Jantung lebih sering berdebar kencang

  4. Telapak tangan lebih sering berkeringat

  5. Raut wajah yang terlihat gelisah dan panik

  6. Sering menarik diri dari aktivitas sosial

  7. Hilangnya rasa percaya diri

  8. Pola makan yang tidak teratur

  9. Kesulitan untuk tidur di malam hari

  10. Sering merasa lelah di siang hari

  11. Rambut lebih mudah untuk rontok

  12. Munculnya pikiran untuk bunuh diri

Penanganan Gangguan Mental 

Semakin meningkatnya kasus gangguan mental, para psikolog dan psikiatri pun meningkatkan pelayanannya untuk menekan kasus bunuh diri yang dapat terjadi akibat gangguan mental yang dialami oleh sebagian besar mahasiswa kedokteran. Pada dasarnya, kunci dalam menangani gangguan mental adalah komunikasi. Selain itu, beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai teman untuk mendukung seorang dengan gangguan mental, seperti :

  1. Menjadi pendengar yang baik

  2. Memberi dukungan untuk tetap semangat

  3. Mencari bantuan pada pihak profesional jika beresiko

  4. Mengajak untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan 

  5. Tidak memaksakan

  6. Tetap tenang dan tidak ikut panik

Cara-cara yang Dapat Dilakukan agar Terhindar dari Gangguan Mental

Adapun cara-cara yang wajib dilakukan agar terhindar dari Gangguan Mental adalah sebagai berikut :

  1. Mengatur prioritas yang baik

  2. Manajemen stress dan teknik relaksasi yang baik

  3. Membangun pola hidup yang sehat, seperti makan dan istirahat yang cukup

  4. Memanfaatkan bantuan profesional 

  5. Tidak mudah terlarut dalam emosi

  6. Menciptakan sistem dukungan 

  7. Mendekatkan diri dalam kerohanian 

Di balik jas putih yang mereka kenakan, mahasiswa kedokteran hanyalah manusia biasa yang rentan terhadap tekanan mental. Mengabaikan isu ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan di masa depan. Karena itu semua pihak, baik itu institusi pendidikan, keluarga, hingga masyarakat, harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental mereka. Dengan begitu, jas putih benar-benar menjadi simbol harapan, tidak hanya bagi pasien, tetapi juga bagi mereka yang memakainya.

DAFTAR PUSTAKA

Vitoasmara, K., Hidayah, F. V., Purnamasari, N. I., Aprilia, R. Y., Dewi, L. D. (2024). 

Gangguan Mental (Mental Disorders). Student Research Journal, 2(3), 57-68. Diakses pada situs, file:///C:/Users/ASUS/Downloads/SRJ+-VOLUME.+2+NO.+3+JUNI+2024+hal+57-68.pdf. 

Abubakar, R. A. (2023). OPINI : Kesehatan Mental Remaja Indonesia. IAIN PAREPARE 

Program Studi Komunikasi & Penyiaran Islam. Diakses pada situs, https://kpi.iainpare.ac.id/2023/11/opini-kesehatan-mental-remaja-indonesia.html. 

Hikmah, D., Akib, M. N. R., Julyani, S., Royani, I., Murfat, Z. (2022). Pengaruh 

Pembelajaran Islam Disiplin Ilmu Kedokteran terhadap Kesehatan Jiwa Mahasiswa Program Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. FAKUMI MEDICAL JOURNAL. Diakses pada situs, file:///C:/Users/ASUS/Downloads/147-Article%20Text-226-1-10-20221205.pdf 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun