Mohon tunggu...
grace purwo nugroho
grace purwo nugroho Mohon Tunggu... advokat -

penggiat sosial dan politik. Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nilai yang Membentuk Indonesia

12 Mei 2019   19:01 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:18 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah peradaban manusia dapat dilihat sebagai perjalanan spiritual umat manusia, tidak ada sejarah manusia tanpa melibatkan sebuah kuasa diatasnya yang sering disebut  Tuhan atau lainnya, ini sebuah kewajaran karena manusia adalah mahluk transenden yang cenderung memikirkan melampaui apa yang bisa di jangkau oleh akal, dan senang mencari sesuatu kuasa dibalik semua peristiwa (yang diluar kemampuan manusiawi) dan melakukan devosi (pemujaan) terhadap yang maha melampaui. Bisa jadi angin, matahari, atau batu sebelum datangnya konsep monoteisme agama-agama Ibrahim (Abraham). Ini juga jadi pertanyaan sejauh mana manusia bisa menjadi begitu sekuler sehingga mengambil jarak dengan agama atau sebuah spiritualitas yang juga nampak dalam sejarah terbentuknya sebuah negara.

Indonesia adalah bangsa imigran dari berbagi penjuru dunia dan menghuni daerah kepulauan, maka agak sukar mengindentifikasi secara general seperti apa yang disebut bangsa Indonesia, karena masing-masing daerah secara spesifik  punya khasnya masing-masing.  Keuntungan daerah kepulauan karena semua sudut bisa menjadi akses masuk apapun, timur, barat, utara, selatan adalah garis pantai yang terbuka bagi siapapun (setidaknya waktu dulu), bisa membawa ideologi, tradisi, agama, fashion, bahasa dan sistem hubungan social lain. Dan hampir tidak ada yang mampu secara dominan menguasai nusantara yang bernama Indonesia, kecuali dengan kekuasaan politik, itupun tidak akan berlangsung lama secara absolut.  Dalam masyarakat tradisional segala sesuatu kehidupan saling berkaitan dan berelasi, tidak ada yang terpisah-pisah, bicara ekonomi didalamnya terdapat  unsur religinya. Kekuasaan, serta seluruh kehidupan akan berhubungan antara dunia spirit (mitos) dan dunia nyata sehari-hari, contoh kongkrit adalah animisme dan dalam tradisi di Eropa dalam abad pertengahan dimana benda-benda mati pun diberi kehidupan (dianggap hidup). Kehidupan tradisional adalah harmoni antara rasionalitas dan alam mitologi, sebuah model yang saat ini mungkin dianggap aneh.

Indonesia modern adalah ketika masuk  dalam abad 20, yakni ketika kaum terdidik mulai muncul karena politik etis (balas budi) kolonial belanda. Muncul kaum terpelajar Indonesia, diiringi kebangkitan negara negara baru, pasca perang Dunai I, sebagai contoh awal muncul Budi Utomo sebagai awal organisasi modern  di nusantara, hingga terkumpul pemuda pada 28 Oktober 1928  yang dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda.  Hingga perang dunia II kaum intelektual Indonesia  berkutat terhadap model negara bangsa yang di anggap ideal. 

 Pasca Belanda kalah dengan Jepang,  kekuatan jepang dalam mempertahankan daerah yang dianeksasi begitu rapuh, menyusul kekalahan diberbagai perang pasifik, maka pada awal tahun 1945 sekitar bulan Maret, Jepang menginisiasi pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pembentukan badan ini dalam banyak catatan sejarah adalah upaya menarik simpati rakyat jajahan pada waktu,  tetapi dalam perjalanan yang cukup singkat badan ini menjadi pergulatan wacana ke Indonesian jika memang merdeka dari penjajah.

Masing kelompok dalam BPUPKI diwakili dari komunitas social, politik dan agama yang ada pada saat itu, yang setidaknya terbagi secara umum adalah kelompok agama (Islam), Kelompok Kebangsaan (Nasionalis, Non Islam) dan Kelompok sosialis., dua kelompok pertama adalah yang besar, sedangkan kelompok sosialis dianggap minor karena minim jumlah pendukung, tapi yang jelas masing-masing kelompok berupaya memperjuangkan gagasan mengenai konsep bernegara sesuai dengan pandangan kelompoknya.

Pandangan kelompok tersebut juga sangat dibayangi dengan isu-isu yang masih hangat pada masa itu, kebangkitan nasionalisme pasca perang dunia I yang menumbuhkan negara-negara baru, antara lain, Irak, Saudi Arabia, Mesir, Iran, Syiria dan Yordania, dan di eropa timur muncul negara hongaria, Polandia, Yugoslavia dan Ceko. 

Di timur tengah muncul karena runtuhnya Khilafah Utsmani dan di Eropa Timur karena revolusi sosialis Bolshewik di Rusia, yang merupakan rangkaian penggulingan kekaisaran Tsar dan  Rusia menjadi dikator proletariat.  Begitupun sosialisme/Komunisme juga mengalami kebangkitan melakukan perlawanan terhadap liberalisasi ekonomi politik ala barat, yang dipimpin oleh Lenin di Rusia (Uni Soviet), Mao Che Tung di china, yang kedua poros komunisme ini membentuk jaringan komunis internasional (Komintern) dan Tan  Malaka  pernah menjadi perwakilan Indonesia pada pertemuan-pertemuan Internasional.

Pesatnya gagasan sosialisme/komunisme dalam negara berkembang, terutama adalah akibat penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara kuat, yang merupakan metode antitesa dari kapitalisme yang dicetuskan dalam gagasan socialism/komunisme seperti yang ditesiskan dalam beberapa karya Karl Marx, yang kemudian dikenal sebagai teori marxisme, dan dikembangkan oleh pemikir berikutnya dinegara-negara jajahan lain secara kontesktual. Dalam  golongan Islam, mereka sudah sejak lama membangun diri ketika mulai muncul kebangkitan bangsa 1908 (Budi Utomo) yang kemudian terbentuk Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian ber-evolusi Menjadi Serikat Islam (SI), sebelum akhirnya pecah pula karena pengaruh komunisme yang tumbuh di Semarang.

Menarik juga dalam arena politik saat itu adalah Islam dan  gagasan Komunisme bisa bertemu dalam rampak persatuan dan perlawanan dengan kolonial,  titik  temunya bukan dasar pemikiran atau sumber pemikiran yang sama, tetapi lebih pada bertemunya  lawan yang sama yaitu Kolonialisme yang dianggap merugikan dunia Islam (sekularisasi/modernisme) dan proses penghisapan kepada bangsa-bangsa jajahan yang ditentang kaum revolusioner komunis.

Mungkin koalisi seperti ini juga terbentuk di negara-negara timur tengah dan asia yang mengalami penjajahan, dan sekaligus negara tersebut penduduk mayoritasnya adalaha Islam.  Selanjutnya kelompok Islam secara modern juga terbentuk yaitu Muhammdiyah  sebuah organisasi Islam modern yang di bentuk K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, dan kemudian Nahdlatul Ulama oleh K.H. Hasyim Asy'ari pada tahun 1926, dimana pelembagaan ini sebelumnya melalui proses yang cukup sulit juga, kedua lembaga ini bergerak di bidang social, pendidikan dan dakwah Islam, dan  sebelumnya juga sudah lahir Persatuan Islam (Persis)  pada tahun 1923, Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyah pada tahun 1914.

Lembaga-lembaga Islam tersebut mempunyai tujuan yang sama menegakan Syariat Islam melalui pelayanan social, pendidikan dan dakwah, akan tetapi masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri, tergantung pembawa, pendiri dan pengaruh aliran/mazhab dari negara lain di timur tengah dan asia,  walaupun bersandarnya kepada Quran dan Hadist, tetapi metode tafsir berbeda kadang menyulitkan dalam membangun agenda bersama. Tetapi di masa Jepang, atas permintaan jepang tentunya, terbentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk bersama --sama organisasi Islam saat itu yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam dan beberapa organisasi islam yang di izinkan oleh pemerintah penjajah jepang.

Masyumi sebagai media social politik, salah satu misinya adalah mendukung pan islamisme setidaknya untuk wilayah Indonesia karena ada janji kemerdekaan dari jepang. Dalam masyumilah muncul tokoh-tokoh yang menjadi wakil dalam BPUPK, yang kemudian juga muncul perdebatan untuk memasukan unsur islam (syariat) dalam proses penyusunan dasar negara dan konstitusi jika memang negara ini lahir.

Soal Dasar Negara

Perdebatan penjang mengenai dasar dan konstitusi negara, terjadi secara fenomenal dan cepat, pada pidato 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan pidato di BPUPK yang isinya menyampaikan konsepsi dasar negara Indonesia yakni, 1. Kebangsaan Indonesia (yang mencangkup semua golongan masyarakat, agama/etnis), 2. Internasionalisme/Perikemanusiaan (yakni ikut dalam persatuan dan persaudaraan dunia, 3. Mufakat/Demokrasi (mendasarkan diri pada permufakatan perwakilan, 4. Kesejahteraan social (kesejahateran dan keadilan dalam bidang ekonomi), 5. Ketuhanan yang berkebudayaan (soal taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai prinsip kemerdekaan).

Dalam konsespsi Soekarno ini dapat kita lihat bahwa ada unsur-unsur pandangan Kebangsaan (Nasionalisme) karena Indonesia harus bisa untuk hidup semua manusia penuh ragam. Demokrasi perwakilan dan Internasionalisme ini adalah produk jaman pencerahan, dimana didalamnya terdapat nilai-nilai Hak Asasi Manusia (produk pergulatan barat yang melahirkan liberalisme). Keadilan/kesejahteraan social dalam demokrasi ekonomi (bisa dipandang gagasan dari sosialisme) dan Ketuhanan yang mewakili ciri khas bangsa yang menganut agama, dimana agama besarnya adalah Islam.  Penjelasan sederhana, gagasan itu adalah percampuran antara konsep Nasionalisme yang bukan Chauvinis, Liberalisme, sosialisme dan agama, campuran yang unik yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu.

Konsep gagasan ini pun masih terjadi pertentangan, karena golongan islam ingin menerapkan konsep Syariat Islam bagi umat Islam, dan dalam konstitusi ada kewajiban presiden harus beragama Islam, konsep ini muncul pada 22 Juni 1945, atau yang dikenal sebagai Piagam Jakarta atau rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, konsep ini dihasilkan oleh Panitia kecil yang dipimpin Soekarno, berjumlah 9 (Sembilan) orang, diwakili kelompok Kebangsaan dan Kelompok Islam, dan panitia kecil ini adalah bagian dari BPUPK.

Konsep ini diterima, hingga menjelang kemerdekaan tokoh perwakilan di Indonesia bagian timur melakukan keberatan atas pencantuman syarat syariat agama Islam,  dan kemudian kelompok Kristen/Protestan juga melakukan keberatan kepada pemerintah Penjajah Jepang yang membentuk badan itu, dan lebih suka berdiri sendiri sebagai negara di luar Indonesia.  Singkatnya kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 di ubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal  UUD 45 menyatakan presiden adalah orang Indonesia asli (kata Islam di hilangkan).

Dari kompromi tersebut dapat terlihat bahwa kelompok islam yang tergabung dalam badan atau panitia tersebut sangat moderat, demi persatuan nasional dan semangat bersama, maka menerima konsep dasar negara yang tidak tegas mendasarkan diri  pada syariat Islam, dan dari sisi kerelaan umat islam perlu di apresiasi (walau tidak semua juga legowo tentunya), tetapi jika dilihat dari ukuran jumlah, non muslim pasti sangat minoritas. Ketika diselesai ditetapkan, maka tidak ada lagi pembahasan lebih lanjut karena sebagai negara baru saat itu belum tuntas menghadapi problem luar negeri karena belanda ingin kembali dan merasa masih mempunyai kuasa atas jajahannya, dan ada pula rongrongan dari dalam negeri.  Kaum nasionalis nampak cukup puas, tetapi kalangan agama dan sosialis masih merasa belum puas, dan dampak akan terasa dalam perjalanan bangsa Indonesi kedepan.

Ditambah dengan perundingan-perundingan dengan belanda (perjanjian renville) yang dibawah tim delegasi M. Hatta menyetujui konsep negara federasi untuk Indonesia, dan menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, dengan UUD RIS  Indonesia menjadi sekumpulan negara bagian dan menjadi sangat sekuler karena desakan pemerintah belanda.  Belum lagi pada awal tahun 50 an Masyumi yang merupakan kumpulan dari organisasi Islam mulai pecah, dengan mundur NU dari Partai Masyumi dan menjadi partai sendiri Partai NU, dan mengikuti pemilu pertama kali pada tahun 1955, yang kelompok lima besar pemenang pemilu adalah sesui urutan Partai Nasional Indonesia (PNI) 22,3 % (nasionalisme Kebangsaan),Partai Masyumi (20.9 %) (Islam), Partai NU (Islam) (18,4%) Partai Komunis Indonesia  (16,4%) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89%), hasilnya golongan agama hampir 40 % lebih, sisanya dibagi kelompok kebangsaaan dan komunis.  Ini juga cermin dari representasi komponen bangsa pada awal persiapan kemerdekaan, ada kekuatan agama, nasionalis/kebangsaan, dan komunisme, dengan menerapkan pemilu sebagai sistem demokrasi, dan menjadi bagian sejarah modern dunia menerapkan demokrasi dengan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat, proses ini juga memulai demokrasi sebagai produk barat dipakai oleh negara-negara baru pasca perang dunia II.

Pola-pola relasi hubungan antara kekuatan social, agama dan politik tetap pada polarisasi yang lama, kekuatan Islam,Nasionalis dan Komunis masih dapat saling memahami dan bekerja sama dibawah pengaruh dan kharisma Presiden Soekarno (dan tentu saja saling curiga), apalagi kemudian Soekarno mengeluarkan gagasan konsep bernegara dengan  kerja sama Nasionalis, Agama dan Komunis atau yang lebih dikenal dengan Nasakom.  Ide ini sebenarnya upaya kristalisasi ulang gagasan mengenai Pancasila yang belum diresapi dan di internalisasi oleh segenap komponen pendiri bangsa, atau lebih hanya jargon pancasila semata.

Konsep Nasakom ini juga penuh kontradiksi karena Golongan Nasionalis selalu berbenturan dengan kaum agama, begitupun agama menaruh kecurigaan karena dulu pernah dibajak, walau pernah bekerja sama dengan golongan komunisme tetapi itu pada masa penjajahan kolonial. Kalangan nasionalis juga curiga karena beberapa kali kelompok sosialis menarik diri dari kesepakatan nasional, dan membuat agenda tersendiri (peristiwa madiun menjadi catatan).

Begitupun kalangan sosialis/komunis menyatakan tidak setuju melakukan negosiasi dengan mantan penjajah dan kelompok negara liberal lainnya, dan hendak membuat garis yang jelas, tetapi kamu agama dan nasionalis masih bersedia dengan catatan bekerja sama dan negosiasi ulang dengan negara kolonial.

Ini sungguh sesuatu yang sulit, karena kompromi justru melahirkan konflik, kelompok komunis dituduh sering melakukan aksi sepihak di lapangan untuk menuntut nasionalisasi (merebut) asset asing, kelompok nasionalis sibuk dengan soal-soal pemerintahan dan jabatan, dan menjadi lamban, dan tak kalah geram adalah kelompok agama juga mulai berpikiran lain soal negara Indonesia, dan berujung pembubaran Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (pro barat) pada yahun 1960 dituduh bekerja sama dalam pemberontaka PRRI di sumatera dengan dukungan Amerika. Praktis sejak kemerdekaan 1945 hingga 1965, atau kurang lebih 20 tahun Indonesia Merdeka Pancasila tidak mengalami perkembangan secara berarti, baik dalam kerangka kebijakan maupun internal para pendiri negara, bahkan soekarno menerapkan model demokrasi terpimpin pasca kembali ke UUD 45  dengan  dekrit presiden pada tahun 1957, dan mendapat dukungan militer dan masyarakat.  

Pemaknaan Pancasila dan UUD 45 dalam masa yang disebut orde lama (1945-1965), kurang mendapat perhatian seperti pada awal pembentukan dan perumusannya, tetapi malah perdebatan  antara golongan agama, nasionalis dan komunis yang makin menjadi-jadi, belum  lagi gangguan belanda pasca proklamasi dengan berbagai jenis perjanjian yang merugikan bangsa Indonesia (dalih menguasai kembali). Sehingga Presiden Soekarno mengambil peran tunggal dengan model demokrasi terpimpin ala Soekarno, dengan menerapkan sentralisme kekuasaaan pada individunya sendiri, tanpa memperhatikan tatanan konstitusi (UUD 1945), karena periode 20 tahun merdeka baru ada 1 kali pemilu yaitu tahun 1955, dan demokrasi terpimpin yang dimaksud bukan merupakan kolektifitas ide bersama dari perwakilan rakyat, tapi menyebut diri sebagai pemimpin besar revolusi.  Ini adalah pangkal ambiguitas Soekarno, karena menggagas ide revolusi kebangsaan untuk melawan tirani liberalisme dan kapitalisme global, tetapi tidak semua golongan mendukung ide revolusi tersebut, baik kalangan agama, nasionalis, militer bahkan kalangan islam menganggap  soekarno terlalu memberi angin terhadap kelompok komunis , dan memang yang menjadi korban adalah  PKI sebagai partai yang punya gagasan revolusi . Dan lebih celakanya bahwa saat itu akhir tahun 50 dan awal 60 an adalah sejarah perang dingin dimulai pasca gencatan senajata perang korea (terbelah korea selatan dan utara, seperti Jerman Timur --Jerman Barat), Blok Barat (negara imperialisme) dipimpin oleh Amerika dan blok timur dipimpin oleh Uni Soviet (komunisme).  Semua kekuatan dua blok tersebut bertarung secara tidak langsung dinegara-negara yang dianggap strategis, dengan menggunakan isu apapun, agama, nasionalisme dan kepentingan ekonomi, dan Indonesia dianggap daerah penting untuk dikuasai.

Tidak ada pemaknaan yang relevan yang dapat dilaksanakan pemerintah orde lama terhadap Pancasila dan UUD 45, sebagian memaklumi karena sebagai negara yang baru berdiri konsolidasi pemerintahan tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.  Pancasila sebagai filsafat dasar hidup berbangsa (rumusan awal), kemungkinan dimanfaatkan dalam kondisi-kondisi kritis, dan Soekarno sebagai pencetus dasar Pancasila juga mulai juga mengevolusi gagasan dengan aneka hal yang baru, mengkampanyekan kembali nasakom sebagai landasan hidup bersama, dan pencapaian kemandirian bangsa melalui revolusi yang didengungkan.  Dalam sejarah revolusi, revolusi adalah ide yang ditangkap oleh rakyat menjadi pergerakan-pergerakan sambung menyambung, dan pemimpin revolusi yang menuntaskannya dengan legitimasi rakyat.

Dasar Negara Dalam Perspektif Orde baru

Masa orde baru juga menggunakan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar pijakan untuk memerintah, tentunya dengan tafsir orde baru yang pro terhadap liberalisme ekonomi dan sumber daya alam.  Bisa dikatakan orde baru adalah kemenangan blok barat, komunisme di Indonesia di bubarkan dan dilokalisir (bahasa sarkasnya dibasmi). Kelompok agama juga mendapat tekanan yang luar biasa karena ita ketahui sebelumnya untuk berhadapan dengan barat, kaum agama menentang sekularisasi agama dan kaum komunis menentang penghisapan ekonomi, keduanya sama-sama menentang blok barat mendominasi, walau ketika blok kapitalisme tidak ada maka kelompok agama dan komunis sering berkonflik.

Perjalanan orde baru  sudah banyak yang mengetahui, dan orde baru ditopang oleh dua kekuatan, secara politik oleh golongan karya (bentukan militer) dan oleh kekuatan militer itu sendiri melakukan control pada setiap gerak dan aktifitas politik manapun di Indonesia.  Indonesia ditengah kemunduran politik dan ekonomi, pada masa orde baru mendapat dukungan dari negara-negara barat dibawah koordinasi amerika, melakukan komitmen ekonomi dengan konsesi-konsesi  sumber daya alam, merubah kebijakan yang lebih terbuka terhadap kekuatan ekonomi liberal  untuk akses pertambangan, kehutanan, dan kelautan secara massif.  Untuk menjaga kestabilan politik, karena bagaimanapun tiga kekuatan nyata dalam masyarakata yakni kelompok agama, nasionalis dan sisa komunisme harus dikendalikan, dan pengendalian yang efektif adalah de lebih ngan kekuatan bersenjata, dulu ABRI sekarang TNI dan hasilnya lumayan efektif karena kurang lebih 32 (tiga puluh dua) tahun berhasil mengkontrol rakyat secara politik dan ekonomi.

Tetapi yang menarik, bahwa dalam masa orde baru pancasila menjadi jargon yang luar biasa massif, segala urusan negeri harus mensyaratkan dokumen-dokumen yang berisi keterangan sudah melalui kursus penghayatan pancasila yang lebih dikenal dengan program P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dibentuk dengan ketetapan MPR tahun 1978, yang kemudian sila-sila dalam pancasila di definisikan lagi sebagai panduan etika hidup antara sesama warga negara/penduduk, bukan sebagai roh secara menyeluruh dalam mengambil kebijakan negara,sikap terhadap hubungan antar negara, demokrai dan keadilan social dalam bidang ekonomi. Dalam sila pertama malah ditekankan bagaimana bersikap sebagai penganut agama apapun.  Definisi ulang ini sangat berlainan dengan pertama kali pancasila dicetuskan sebagai falsafah bernegara, jika kita lihat pancasila pada periode orde baru adalah seperti panduan budi pekerti warga negara.    sehingga memang tepat jika dalam praktek bernegara orde baru tidak ada urusan soal keadilan social, hak asasi manusia, demokrasi  dll,  yang tidak sesuai dengan kehendak kekuasaan adalah bertentangan dengan pancasila, dan untuk itu bisa berhadapan dengan hukum atau kekuatan militer.   Kontrol terhadap cara bersikap dan bertindak para penduduk mendapat pengawasan yang ketat dari aparatur militer dari pusat hingga tingkat desa, yang biasa disebut babinsa (bintara pembina desa) dari komando militer setempat.  Militer membangun kerja sama sistematis dengan mendukung partai penguasa yakni Golongan Karya (yang saat ini masih ada), yang menjadikan sebagai partai pemenang tunggal, mirip-mirip juga dengan Partai Komunis China (PKC) secara hirarkis menempatkan organ organisasinya (Parpol) bersama Tentara Merah (sebutan untuk militer china) disetiap jenjang negara.

Golongan Islam dan Nasionalis dalam masa orde dikebiri sedemikian rupa, dalam lingkup partai politik Islam, Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah Islamiyah di gabung (dengan tekanan) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dikalangan nasionalis dibentuk fusi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan penggabungan Partai Nasionalis Indonesia  (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pejuang Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Kedua kelompok mendapat pukulan politik yang keras, dari semula partai nasionalis mendapat dukungan yang cukup baik selama ini, menjadi hancur, begitupun partai Islam yang mempunyai pendukung loyalis yang fanatik sempat eksis di pemilu 1977, kemudiaan secara perlahan-lahan berkurang,  Apalagi PDI yang mengalami alienasi politik yang paling menderita, karena klaim sebagai partai nasionalis diambil alih secara paksa oleh golongan karya (Golkar) sebagai partai pemerintah.

Orde baru walaupun melakukan redefinisi ulang terhadap Pancasila dan UUD 45, dapat menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 sebelum akhirnya jatuh pada tahun 1998, dengan mundurnya Presiden Soeharto.  Demokrasi secara formal memang dilaksanakan dengan pemilu, tetapi pemasungan terhadap peserta pemilu dibawah control rezim, menjadikan kualitas demokrasi tidak bisa jadikan sandaran kehendak rakyat.  Demokrasi sebagai produk pencerahan eropa dan dianggap sebagai jalan terbaik mencapai kehendak orang banyak, ternyata dapat dimanipulasi dengan control sebuah rezim secara sistematis, mungkin ini bisa juga disebut paradoks demokrasi liberal.

Kemudian apakah dengan kondisi demikian kelompok agama  menjadi diam dan kelompok nasional hilang kekuatan, bisa jadi memang secara perlahan mereka tidak mempunyai daya, apalagi orde baru Menekan  kelompok nasionalis dan agama dengan  kekuatan social dan politik. Secara ekonomi dan sosial orde baru menghalusinasi rakyat dengan kecukupan pangan dan bentuk kenyamanan social lain, mis. Stabilitas keamanan.  Kelompok agama (Islam) adalah kelompok yang mengalami tekanan luar biasa, dalam wilayah politik asas yang dianut harus tunggal yakni Pancasila versi Orba, dan Islam menjadi lebih tersekularisasi di masa itu. Sehingga kemudian kelompok NU  dan muhamadiyah sebagai ormas besar Islam harus rela untuk teralieneasi dan nyaris tidak terlibat dalam rezim, kecuali orang perorang. Kelompok islam lain juga berupaya melakukan perlawanan secara fisik, peristiwa penangkapan golongan islam garis keras pada peristiwa tanjung priok dan Talang Sari Lampung adalah satu bentuk resistensi umat islam terhadap orde baru.  Beberapa kelompok islam yang dikategorikan sebagai fundamentalis, melakukan konsolidasi bawah tanah, dan beberapa kali melakukan gerakan teror di beberapa tempat seperti pembajakan Pesawat   Woyla dan peledakan stupa Borobudur, semua tindakan terjadi karena suara-suara mereka mekanisme demokrasi formal dan normal tidak tersalurkan dengan baik. 

Bagaimana dengan kalangan nasionalis dalam masa orde baru, tidak banyak juga gerakan yang dilakukan oleh kalangan yang tergabung kelompok nasional, selain melakukan pembinaan terhadap kaum pelajar (mahasiswa) untuk kritis terhadap pembangunan ala orde baru yang dipimpin Soeharto yang dinilai sangat pro asing, dan memberikan kelonggaran-kelonggaran terhadap masuknya modal ke Indonesia.  Kalangan nasionl banyak masuk kedalam kampus-kampus, memunculkan kelompok-kelompok kritis sekuler, peristiwa demonstransi tahun 1974 dan 1978 diawali dari demo-demo di kampus, dan juga peristiwa jatuhnya orde baru pada tahun 1998 adalah diawali dengan gerakan-gerakan protes aktivis mahasiwa kampus, tentunya secara diam-diam kelompok-kelompok agama yang kritis dikalangan NU dan muhammadiyah juga mendukung gerakan itu.

Mengenai stabilitas keamanan, jangan ditanya bahwa dalam masa orde baru semua harus stabil dibawah kehendak pemerintah dan militer, pekerjaan yang menurut banyak pihak adalah luar biasa, mengendalikan dan menuntaskan sisa-sisa komunis yang masih bergerak, membungkam kelompok nasionalis, sekaligus mengendalikan kelompok agama (Islam) agar tidak mengganggu agenda pemerintahan, pekerjaan besar ini jika tidak didukung oleh kekuatan asing/luar yang mendukung pasti akan sukar.  Asing melihat suasana tersebut semakin bergairah, selain memasukan investasi banyak ke Indonesia, negara-negara asing juga membuat koalisi pemberi utang yang tidak terbatas, yang dikemudian hari menjadi beban hutang  yang tidak selesai hingga sekarang. Dalam proses pengendalian stabilitas maka atas nama apapun tidak boleh bergerak tanpa izin rezim, bahkan yang namanya isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) akan menjadi pemukul efektif bila mengganggu. Pada jaman orde barua tidak adanya konflik suku, agama, ras lebih pada tekanan dari kekuasaan militer, bukan karena kesadaran dalam kelompok tersebut, dalam jangka pendek ini efektif tentunya dengan biaya yang tidak sedikit untuk dukungan militer yang masuk dalam parlemen juga  dan mobilisasi politik untuk Golkar sebagai penopang utama kekuatan politik orde baru, sisanya pelengkap saja.

Masa Reformasi

Periode bisa dikatakan peralihan dramatis, mungkin kejatuhan Soekarno dapat disamakan dengan proses kejatuhan Soeharto, sama-sama sudah tidak disukai atau tidak dianggap berguna lagi bagi kepentingan asing, dalam hal ini amerika.  Soekarno karena menentang kapitalisme dan tidak ada negoisiasi ekonomi dengan blok barat, dan disaat sama pemerintahan yang rapuh mudah diprovokasi untuk menjatuhkan.  Soeharto tertimpa krisis ekonomi, dan kepercayaan rakyat sudah hilang, militer yang menjadi penjaganya sudah tidak dapat lagi membendung kehendak rakyat banyak, yang berakhir dengan kemunduran soeharto sebagai presiden.

Pemerintahan reformasi sempat dipimpin kurang lebih selama setahun dari tahun 1999, oleh Habibie yang sebelumnya Wapres dan sekaligus mantan ketua golkar, kebijakan fenomenal dalam era habibie ini adalah dengan membuka kran referendum  di Propinsi Timor Timur, yang kemudian menjadi negara baru Republik Demokratik Timor Leste (yang didukung oleh Australian), yang patut diingat bahwa aneksasi Timor Leste pada tahun 1974 juga didukung oleh Amerika, karena waktu itu faksi terbesar kekuatan timor leste adalah Partai Fretilin yang Sosialis, dan dikhawatirkan mengganggu di kawasan asia tenggara. Sekarang karena perang dingin selesai, Indonesia saat itu  malah didesak melepaskan dengan metode referendum.  Kebijakan berikutnya adalah menetapkan pemilu lagi pada tahun 1999 dengan membuka seluasnya pendaftaran partai politik baru, ruang politik yang dibuka lebar ini kemudian menampilkan fragmentasi (sebaran) kelompok politik yang selama ini bungkam atau diam.  Partai-partai politik Islam yang merupakan reinkarnasi dari partai politik dalam orde lama muncul lagi, lebih kurang terdapat 16 partai yang berasaskan islam dari 48 partai yang mengikuti pemilu 1999, sebut aja yang masih ada hingga pemilu 2014 adalah Partai Kebangkitan Bangsa pembentukannaya didukung sepenuhnya oleh kalangan NU dan Partai Amanat Nasional yang pembentukan didukung sepenuhnya oleh Muhammadiyah, juga terdapat partai Keadilan yang dibentuk oleh jaringan islam modern yang konon  satu ide dengan gerakan pembaharuan  ikhwanul muslimin  yang bergerak melalui jaringan kampus, selebihnya   partai-partai islam lain  hanya mencoba membangkitkan romantisme partai islam sebelumnya seperti Partai Syarikat Islam Indonesia, Masyumi, Partai NU dll yang tidak mendapat dukungan suara dan kursi pada pemilu 1999.

Seperti biasanya pemenang pemilu tetaplah dari partai kalangan nasionalis, Yakni PDI Perjuangan yang merupakan pecahan PDI bentukan pemerintah orde baru, di ikuti dengan partai Golkar (kategori nasionalis) yang masih cukup kuat, dan partai-partai agama masuk dalam partai tengah seperti PKB, PAN, di tambah partai kecil (basis agama kristen dan islam ) lainnya yang kemudian tidak bisa mengikuti kontestasi pada pemilu berikutnya karena persyaratan yang kurang. Trend partai-partai nasionalis semi sekuler, tetap menjadi pemenang dalam sejarah pemilu Indonesia sejak tahun 1955,  walau tidak dominan menang mutlak (karena dalam pemilu fair di Indonesia tidak ada istilah menang mutlak kecuali golkar jaman orde baru), setidaknya partai nasionalis (dengan berbagai jenisnya) menguasai hampir 70 persen kursi atau suara dalam pemilu

Dengan konfigurasi hasil pemilu tahun 1999, menyimpulkan sebuah keadaan bahwa partai --partai dengan haluan Nasionalis masih menjadi pilihan rakyat Indonesia, walau nasionalis juga masih perlu dikategorikan lagi karena PDI Perjuangan dan Golkar dkk mempunyai segmen pemilih dan orientasi politik tersendiri.  Hasil pemilu demikian tidaklah kemudian partai pemenang menjadi capres, karena ketua PDI Perjuangan adalah Hj. Megawati Soekarno Putri, anak dari penggagas konsep nasionalisme Indonesia, tidak mulus dapat dipilih menjadi presiden, dengan sedikit maneuver dari poros tengah yang dipimpin Amin Rais (PAN), jadilah pasangan Gusdur (Abdurahman Wahid) yang juga ketua PKB sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden, Ketua DPR dipegang  Akbar Tanjung (Golkar) dan Ketua MPR Amien Rais (PAN). Ini relasi bagi kuasa yang lumayan adil saat itu eksekutif dan legislative adalah kombinasi kelompok nasional dan agama, secara kasat mata.  Tetapi Gusdur yang memang sejak awal pewaris NU yang punya sikap kritis terhadap rezim orde baru tidak bisa serta merta merepresentasikan diri sebagai mewakili golongan islam, karena nampak lebih nasionalis dari kaum nasionalis itu sendiri, jelas anti rezim milter, anti dominasi asing, dan anti juga agama terlalu masuk dalam kancah kenegaraaan atau setidaknya negara mencampuri urusan golongan agama. Sikap Gusdur ini bukan karena beliau setuju pada sekularisme, tetapi lebih karena catatan buruk negara terlibat mengendalikan organisasi agama secara buruk untuk kepentingan politik, yang pada akhirnya merusak kelompok itu sendiri. Gusdur menghendaki hubungan yang seimbang dan fungsional agama dan negara untuk kemakmuran rakyat berdasarkan konstitusi dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.  Manuver Gusdur dalam pemerintahan juga dianggap sering miskomunikasi dengan pendukungnya di parlemen, dan banyak penguasa yang sudah ada sejak orde baru (militer) bersebrangan dengan sikap Gusdur, bahkan dengan wakilnya sendiri Megawati yang dari partai pemenang pemilu juga kurang lancer hubungannya.  Yang lebih kecewa lagi adalah golongan-golongan islam yang berharap Gusdur bisa mewakili lebih dalam sebagai kaum Islam (santri) malah cenderung sekuler, dan berupaya membatasi peran agama dalam negara, kecuali hal-hal yang sudah disepakati sebelumnya.   Ini kemudian poros tenga dengan pimpinan Amien Rais kembali melakukan manuver dengan membentuk pansus, kemudian meminta pertanggujawaban Gusdur, yang berakhir dengan dilengserkan sebagai presiden dan kemudian Megawati sebagai wakil naik menjadi Presiden dan Hamzah Haz (Partai Persatuan Pembangunan) salah satu partai islam hasil fusi di jaman orde baru didapuk sebagai wakil presiden, pimpinan pada masa ini lumayan stabil hingga pemilu berikutnya 2004.

Pemilu 2004 juga mengejutkan karena Golkar menjadi pemenang pemilu, dan PDI Perjuanga sebagai Runner Up, padahal dalam rentang sama partai golkar terpecah menjadi beberapa partai sebut saja Hanura Oleh Wiranto, Partai Demokrat oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan dalam pemilihan presiden yan diputuskan dipilih langsung oleh rakyat, pasangan SBY dan Yusuf Kalla memenangi Pilpres, mengalahkan Megawati --K.H Hasyim Muzadi (NU). Kondisi ini kemudian menjadi paradoks karena partai pemenang malah gagal mendudukan calonnya sebagai presiden dan wakil Presiden, demikian berlanjut pada Pemilu 2009 Partai Demokrat meloncat menjadi pemenang pemilu dan mendudukan kembali SBY-Budiono (mantan Gubernur BI) menjadi presiden dan wapres, mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo (kader Golkar, bekas Mantu Soeharto, Pendiri Partai Gerindra). Dalam pertarungan Pilpres 2009 warna pertarungan antara kelompok nasionalis dan agama tidak nampak, karena calon yang popular saat itu SBY adalah dari kalangan militer yang dianggap diterima oleh kalangan  nasionalis dan agama, di tambah dengan wakil dari kalanga birokrat/aristocrat tidak banyak mengganggu banyak pihak, sedang lawan kuatnya Megawati dan Prabowo punya basis dukungan riil tetapi tidak mencukupi, ditambah isu pemimpin perempuan (yang tentu saja tidak semua kalangan islam setuju) dan prabowo punya catatan hitam dalam sejarah reformasi 1998 dituduh sebagai dalang penculikan, dan diberhentikan dengan hormat sebagai jenderal aktif.

SBY memimpin selama dua periode (10 tahun) tanpa gejolak yang berarti, mungkin ini lebih disebabkan gaya kepemimpinan yang akomodatif terhadap kalangan militer, nasionalis dan agama bahkan kalangan aktifis kiri yang pernah bermusuhan dengannya juga di akomodasi baik untuk pemerintahan maupun partai demokrat bentukanya.  Pemilu 2014 kemudian menghasilkan pemenangan  PDI Perjuangan (walau tidak mutlak) dan diikuti partai golkar, beserta pecahannya Partai gerindra, Nasdem dan Hanura, Partai-partai dengan basis utama Islam tetap dipimpin oleh PPP, PKB, PAN dan PKS dan tetap menjadi partai tengah yang justru kadang sangat menguntungkan mereka. Dalam pilpres 2014 diikuti dua pasangan yakni Prabowo -- Hatta (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) dan Jokowi -- Jusuf Kalla (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB dan Hanura) kedua kelompok yang nampak dari sisi ideology memiliki tujuan yang berbeda, kecuali dalam level pragmatis mereka juga gampang berubah-ubah.

Dalam satu decade terakhir partai-partai islam di Indonesia juga mulai mewacanakan menjadi partai terbuka, dimana basis islam tetap menjadi asas utama, tetapi juga membuka diri untuk golongan non islam masuk dalam jajaran m kepengurusan mereka, hal ini mengingat karena sebagai negara kepulauan Indonesia penduduk paling banyak terdapat di pulau Sumatera, Jawa  dimana penduduknya mayoritas adalah muslim (walau didalam juga terdapat kantong-kantong non muslim seperti batak, beberapa daerah jawa tengah), dan sebagian ke daerah timur yang banyak dihuni oleh non muslim atau setidak nya campuran (heteregon) seperti Kalimantan, bali, Sulawesi, nusa tenggara, Maluku dan Papua dimana banyak penduduknya memeluk Kristen/Katolik, Hindu, Animisme dan agama lokal setempat.  Kondisi demografi yang demikian seperti tidak memungkinkan  sebuah partai berbasis agama tertentu akan memenangi pemilu (kecuali kemenangan tingkat lokal), PKB cukup terbuka untuk kalangan non muslim, begitupun PAN beberapa tokohnya adalah Non Muslim, tetapi untuk PPP dan PKS nampaknya tidak siap, karena kemungkinan mengingkari yang menjadi asas utama partai yakni syariat Islam. Kalangan non muslim sendiri banyak masuk kepartai-partai nasionalis utamanya PDI Perjuangan (fusi), kemudian Demokrat, Gerindra, Nasdem dan Hanura.

Pembahasan sedikit ini memberi pengantar sedikit mengenai konflik dalam pilpres yang mulai menyeret-nyeret isu agama dalam kancah politik, karena kelompok partai agama terus membuat kampanye dengan sentiment agama, terutama kelompok dari calon presiden prabowo yang partai pendukungnya mendorong sentiment agama (Islam) secara berlebihan, bahkan isu Ras juga sempet muncul dengan tuduhan Jokowi adalah keturunan china dan sebagainya. Agenda pilpres menjadi sarana konsolidasi jaringan dengan sentiment agama, menjadi serba canggung, kelompok non muslim yang di capres prabowo merasa canggung dan kelompok Islam yang berada di capres jokowi merasa kikuk, karena memang golongan non muslim banyak dikelompok mereka. Proses produksi isu agama dan ras dalam pilpres 2014 cukup massif, tetapi tidak sampai merembes  kemana-mana karena figure capres Prabowo dan Jokowi punya kelemahan dan kelebihan masing --masing, jika capres prabowo memang relatif pemilih paham, untuk Jokowi tidak semua orang paham, Jokowi ini figure baru dalam kancah nasional berangkat dari walikota Solo, Gubernur Jakarta (bersama Ahok) dan sebagai kader PDI Perjuangan di calonkan sebagai capres karena memang low profil, rekam jejak memimpin yang bagus, dari kalangan biasa saja, bukan elit nasional.  Karena sejak negeri ini merdeka memang percaturan pimpinan politik hanya didominasi dari kalangan elit saja, bahkaa sejak reformasi pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 pemain utama politik yang itu-itu saja, dan pasangan Jokowi-JK mengambil ruang alternative itu.  Jokowi dipandang tidak mempunya beban sejarah, bisa diterima semua kalangan (agama, abangan) dan tidak pernah ada resistensi asing terhadapnya seperti yang dialami prabowo yang sempat tidak bisa masuk ke Amerika.  Kemenangan Jokowi sebenarnya mengukuhkan kemenangan demokrasi dalam alam dunia liberalisme, karena dalam demokrasi semua punya kesempatan sama terutama dalam pemilu pilpres langsung, bahwa ada faktor kekuatan ekonomi yang mempengaruhi itu biasa saja, dalam demokrasi langsung atau tidak langsung  faktor intervensi kekuasaan ekonomi (modal) akan selalu ada dan bahkan kadang sangat menentukan dukungan finansial tersebut.

Pasca pilpres isu-isu yang berkaitan agama dan ras tetap di produksi,untuk kepentingan apapun akan mengkait-kaitkan dengan isu agama, sebab --sebab trendnya ini hampir bersamaan dengan  trend munculnya gerakan negara Islam Irak dan Syiria (sering disebut ISIS). Di dalam negeri nampaknya mempunyai kegelisahan yang sama, apalagi kemenangan calon PDI Perjuangan dianggap kemenangan non muslim, mengingat banyak kekuatan politik non muslim yang condong kearah Jokowi. Serangan politik berbasis isu agama memang meresahkan karena isu tersebut sudah dirembeskan ke tengah masyarakat, masyarakat jadi mudah terprovokasi dan terpetak-petak, sementara yang berbeda agama dan ras terkungkung dalam keresahan-keresahan social.  Menguatnya Isu agama dalam politik terkristalisasi dalam pemilihan gubernur Jakarta antara Ahok-Jarot Vs Anis-Sandi yang head to head bertarung, maka Ahok yang non muslim dan ras China dijadikan alat serang yang lebih massif, ditambah dengan aksi pidato kepleset yang dianggap menghina Islam, yang memunculkan solidaritas islam Indonesia hingga pada level nasional, dengan berbagai agenda aksi-aksi lapangan umat islam. Konflik pilkada Jakarta berakhir dengan kekalahan Ahok, yang kemudian dinyatakan bersalah melakukan ujaran kebencian dan divonis 2 (dua) tahun.  Apa selesai, jauh panggang dari api, isu agama dan ras sudah merembes dimasyarakat, menghancurkan solidaritas sosial,  dan menebar bibit kebencian antar kelompok masyarakat yang berbeda. Letak bahayanya adalah bahwa di Indonesia tidak ada satu paham baik agama maupun politik akan dominan, satu golongan agamapun (jenis apapun agamanya) secara ajaran kadang memiliki titik tekan yang berbeda dan disitu letak kesukaran untuk menyatukan.  Jika keresahan social  menjadi konflik, maka konflik paling membingungkan dan tidak jelas ujung pangkalnya karena semua berbeda-beda, dan dari sini bisa mulai muncul konflik atau malah masing-masing menahan diri, dan menandakan  konsesus sosial/politik negara  memang belum selesai di Indonesia.

Satu lagi, dalam isu-isu politik nasional baik dalam rangka pilpres maupun agenda partai politik semua menjual anti asing, kaum nasional mengkampanyekan kemandirian ekonomi dan politik dari dominasi asing, kaum agama mengkampanyekan anti barat yang menurut mereka adalah kaum kapitalis, plus kafir dll, Satu lagi kaum nasionalis-pramagtis-religius (sebuah kategori partai atau kelompok politik yang serba bisa)  kelompok terakhir ini yang menunggu mana yang paling menguntungkan akan di dukung.  Isu-isu asing menurut beberapa pihak memang masih sangat laku dalam  iven/hajat politik tertentu, sejak jaman penjajahan kolonial belanda, jepang isu anti asing  memang cukup mempersatukan kekuatan rakyat. Jika anti Asing dalam konteks penjajahan masih bisa masuk akal, tetapi ketika Indonesia masuk dalam ekonomi neoliberalisme, kapitalisme dunia maka mau tidak mau memang terlibat dalam kepentingan asing terutama sector ekonomi, bagaiamanapun Indonesia menjadi anggota WTO, Peminjam di IMF dan Bank dunia, membangun hubungan bilateral untuk hal ekonomi. Bahkan dalam kawasan asia tenggara Indonesia adalah inisiator ASEAN.  Kampanye bahwa yang asing membahayakan bagi ekonomi, politik, budaya bahkan agama, terjadi dimana-mana, masih efektif sebagai penarik isu atau musuh bersama, untuk mobilisasi kepentingan politik dalam negeri walaupun nanti pasca pemilu lupa lagi.  Lebih dalam jika bicara anti asing, di Indonesia sendiri sudah tidak ada lagi yang orisinal baik kebangsaan, agama, kultur, semua dipengaruhi asing, karena jika kampanye asing pasti ada pribumi aslinya, lalu siapa pribumi asli kita atau mungkin tulang/fosil Homo Erectus Sangiran, di Sragen Jawa Tengah adalah penduduk asli kita. Konsep asing dan tidak asing belum juga secara jernih diselesaikan di Indonesia, asing yang bermanfaat maupun asing yang mencelakakan.

Pancasila Pasca Reformasi

Pancasila adalah barang menakutkan, sakral, penuh kuasa, dan atas nama pancasila bisa memberangus yang tidak sesuai dengan kekuasaan saat itu, ini tafsiran pancasila pada zaman orde baru, dan ini persepsi yang dialami orang yang melewati orang- orde baru demikianlah adanya. Sehingga awal-awal reformasi pertama kali dihapus adalah kursus-kursus pancasila bagi ormas-ormas dan setiap jenjangan pendidian dari SMP,SMA, Perguruan tinggi yang dahulu pada masa orientasi siswa atau mahasiswa menjadi syarat utama tidak dilaksanakan lagi dan sekedar menjadi orientasi pendidikan saja.  Pendidikan dan kursus pancasila di zaman orde baru memang berisi indoktrinasi, dan pancasila di turunkan dalam bentuk butir-butir pancasila yang menjadi pedoman tingkah laku individu,bukan pancasila seperti yang diperdebatkan Soekarno dalam sidang BPUPK  sebelum proklamasi, yang mengaggas secara komprehensif tentang bagaimana Indonesia bisa terus ada.

Saking trauma dengan pendidikan pancasila ala orde baru, dalam orde reformasi pendidikan mata pelajaran/penataran  pancasila disekolah atau di mata kuliah dasar, selama beberapa tahun sempat dihapuskan, bahkan ketika Gusdur atau Megawati menjadi Presiden masih belum bisa bergerak dan menganggap bahwa pancasila dengan definisi orde baru adalah barang yang tidak diperlukan dan badan-badan yang mengurusi Pancasila dibubarkan.  Pendidikan sekolah untuk pencasila diganti dengan pendidikan kewarganegaraan bagi siwa SD, SMP dan SMA.  Dan pembahasan mengenai konsepsi pancasila seperti yang dipidatokan Soekarno dan dijadikan dasar negara tidak dibahas lagi, karena masih curiga juga Pancasila versi mula-mula ini juga kumpulan isme-isme lain.  Hingga SBY memerintah pendidikan Pancasila di kembalikan, tetapi digabungkan menjadi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan jurusan keguruan untuk jurusan ini juga menyesuaikan. Dalam praktek lapangan masih ada juga keengganan untuk mengajarkan, jika soal  etika kehidupan biasanya sudah dalam pelajaran agama dan budi pekerti,  nah padahal pancasila ini adalah  cara pandang hidup kebangsaan yang mesti dipahami dasar filosofinya bukan etika hidup harian, tapi lebih makna filosofis. Ini yang kemudian pasca reformasi lebih kurang 15 (lima belas) tahun Pancasila yang disebut sebagai pondasi tidak pernah di urai.

Dalam situasi sekarang ini ketika mulai terasa ada gangguan terkait hubungan antar agama, persatuan dan keadilan baru terasa ada yang hilang panduan makna kebangsaan, mungkin selama ini masih berkutat bagaimana demokrasi diikuti dan dijalankan, tetapi pihak-pihak yang menjadi konstetan demokrasi (parpol) bisa dengan sendirinya menentukan ideology dan garis politik kelompoknya, walau terdapat syarat-syarat dalam pembentukan parpol, tetapi dalam praktek lapangan semua ideologi bebas bertaburan didalam pasar politik, dan sebagai dari ideology tertentu juga tidak setuju demokrasi pemilu, mungkin punya cara lain untuk merebut kekuasaan politik.

Pemerintah saat ini era Jokowi mulai memikirkan lagi menangani bagaimana konsep pancasila dalam kondisi sekarang dan proyeksi untuk menjaga kedepan dengan membentuk badan yang menangani falsafah atau nilai , yang tugasnya memberi panduan kebijakan panresiden dalam menerapkan pancasila. Persoalan utama pancasila adalah soal tafsir, karena memang tidak tafsir baku mengenai pancasila, tetapi membedah pancasila secara mendalam sesuai dengan pertama kali dipidatokan oleh Soekarno 1 Juni 1945, juga tidak semua pihak cukup informasi, karena itu perdebatan pasti akan muncul, mungkin nilai-nilai umum yang jadi kesepakatan bangsa yang harus di declare ulang sebagai nilai keutamaan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun