Mohon tunggu...
grace purwo nugroho
grace purwo nugroho Mohon Tunggu... advokat -

penggiat sosial dan politik. Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nilai yang Membentuk Indonesia

12 Mei 2019   19:01 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:18 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengenai stabilitas keamanan, jangan ditanya bahwa dalam masa orde baru semua harus stabil dibawah kehendak pemerintah dan militer, pekerjaan yang menurut banyak pihak adalah luar biasa, mengendalikan dan menuntaskan sisa-sisa komunis yang masih bergerak, membungkam kelompok nasionalis, sekaligus mengendalikan kelompok agama (Islam) agar tidak mengganggu agenda pemerintahan, pekerjaan besar ini jika tidak didukung oleh kekuatan asing/luar yang mendukung pasti akan sukar.  Asing melihat suasana tersebut semakin bergairah, selain memasukan investasi banyak ke Indonesia, negara-negara asing juga membuat koalisi pemberi utang yang tidak terbatas, yang dikemudian hari menjadi beban hutang  yang tidak selesai hingga sekarang. Dalam proses pengendalian stabilitas maka atas nama apapun tidak boleh bergerak tanpa izin rezim, bahkan yang namanya isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) akan menjadi pemukul efektif bila mengganggu. Pada jaman orde barua tidak adanya konflik suku, agama, ras lebih pada tekanan dari kekuasaan militer, bukan karena kesadaran dalam kelompok tersebut, dalam jangka pendek ini efektif tentunya dengan biaya yang tidak sedikit untuk dukungan militer yang masuk dalam parlemen juga  dan mobilisasi politik untuk Golkar sebagai penopang utama kekuatan politik orde baru, sisanya pelengkap saja.

Masa Reformasi

Periode bisa dikatakan peralihan dramatis, mungkin kejatuhan Soekarno dapat disamakan dengan proses kejatuhan Soeharto, sama-sama sudah tidak disukai atau tidak dianggap berguna lagi bagi kepentingan asing, dalam hal ini amerika.  Soekarno karena menentang kapitalisme dan tidak ada negoisiasi ekonomi dengan blok barat, dan disaat sama pemerintahan yang rapuh mudah diprovokasi untuk menjatuhkan.  Soeharto tertimpa krisis ekonomi, dan kepercayaan rakyat sudah hilang, militer yang menjadi penjaganya sudah tidak dapat lagi membendung kehendak rakyat banyak, yang berakhir dengan kemunduran soeharto sebagai presiden.

Pemerintahan reformasi sempat dipimpin kurang lebih selama setahun dari tahun 1999, oleh Habibie yang sebelumnya Wapres dan sekaligus mantan ketua golkar, kebijakan fenomenal dalam era habibie ini adalah dengan membuka kran referendum  di Propinsi Timor Timur, yang kemudian menjadi negara baru Republik Demokratik Timor Leste (yang didukung oleh Australian), yang patut diingat bahwa aneksasi Timor Leste pada tahun 1974 juga didukung oleh Amerika, karena waktu itu faksi terbesar kekuatan timor leste adalah Partai Fretilin yang Sosialis, dan dikhawatirkan mengganggu di kawasan asia tenggara. Sekarang karena perang dingin selesai, Indonesia saat itu  malah didesak melepaskan dengan metode referendum.  Kebijakan berikutnya adalah menetapkan pemilu lagi pada tahun 1999 dengan membuka seluasnya pendaftaran partai politik baru, ruang politik yang dibuka lebar ini kemudian menampilkan fragmentasi (sebaran) kelompok politik yang selama ini bungkam atau diam.  Partai-partai politik Islam yang merupakan reinkarnasi dari partai politik dalam orde lama muncul lagi, lebih kurang terdapat 16 partai yang berasaskan islam dari 48 partai yang mengikuti pemilu 1999, sebut aja yang masih ada hingga pemilu 2014 adalah Partai Kebangkitan Bangsa pembentukannaya didukung sepenuhnya oleh kalangan NU dan Partai Amanat Nasional yang pembentukan didukung sepenuhnya oleh Muhammadiyah, juga terdapat partai Keadilan yang dibentuk oleh jaringan islam modern yang konon  satu ide dengan gerakan pembaharuan  ikhwanul muslimin  yang bergerak melalui jaringan kampus, selebihnya   partai-partai islam lain  hanya mencoba membangkitkan romantisme partai islam sebelumnya seperti Partai Syarikat Islam Indonesia, Masyumi, Partai NU dll yang tidak mendapat dukungan suara dan kursi pada pemilu 1999.

Seperti biasanya pemenang pemilu tetaplah dari partai kalangan nasionalis, Yakni PDI Perjuangan yang merupakan pecahan PDI bentukan pemerintah orde baru, di ikuti dengan partai Golkar (kategori nasionalis) yang masih cukup kuat, dan partai-partai agama masuk dalam partai tengah seperti PKB, PAN, di tambah partai kecil (basis agama kristen dan islam ) lainnya yang kemudian tidak bisa mengikuti kontestasi pada pemilu berikutnya karena persyaratan yang kurang. Trend partai-partai nasionalis semi sekuler, tetap menjadi pemenang dalam sejarah pemilu Indonesia sejak tahun 1955,  walau tidak dominan menang mutlak (karena dalam pemilu fair di Indonesia tidak ada istilah menang mutlak kecuali golkar jaman orde baru), setidaknya partai nasionalis (dengan berbagai jenisnya) menguasai hampir 70 persen kursi atau suara dalam pemilu

Dengan konfigurasi hasil pemilu tahun 1999, menyimpulkan sebuah keadaan bahwa partai --partai dengan haluan Nasionalis masih menjadi pilihan rakyat Indonesia, walau nasionalis juga masih perlu dikategorikan lagi karena PDI Perjuangan dan Golkar dkk mempunyai segmen pemilih dan orientasi politik tersendiri.  Hasil pemilu demikian tidaklah kemudian partai pemenang menjadi capres, karena ketua PDI Perjuangan adalah Hj. Megawati Soekarno Putri, anak dari penggagas konsep nasionalisme Indonesia, tidak mulus dapat dipilih menjadi presiden, dengan sedikit maneuver dari poros tengah yang dipimpin Amin Rais (PAN), jadilah pasangan Gusdur (Abdurahman Wahid) yang juga ketua PKB sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden, Ketua DPR dipegang  Akbar Tanjung (Golkar) dan Ketua MPR Amien Rais (PAN). Ini relasi bagi kuasa yang lumayan adil saat itu eksekutif dan legislative adalah kombinasi kelompok nasional dan agama, secara kasat mata.  Tetapi Gusdur yang memang sejak awal pewaris NU yang punya sikap kritis terhadap rezim orde baru tidak bisa serta merta merepresentasikan diri sebagai mewakili golongan islam, karena nampak lebih nasionalis dari kaum nasionalis itu sendiri, jelas anti rezim milter, anti dominasi asing, dan anti juga agama terlalu masuk dalam kancah kenegaraaan atau setidaknya negara mencampuri urusan golongan agama. Sikap Gusdur ini bukan karena beliau setuju pada sekularisme, tetapi lebih karena catatan buruk negara terlibat mengendalikan organisasi agama secara buruk untuk kepentingan politik, yang pada akhirnya merusak kelompok itu sendiri. Gusdur menghendaki hubungan yang seimbang dan fungsional agama dan negara untuk kemakmuran rakyat berdasarkan konstitusi dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.  Manuver Gusdur dalam pemerintahan juga dianggap sering miskomunikasi dengan pendukungnya di parlemen, dan banyak penguasa yang sudah ada sejak orde baru (militer) bersebrangan dengan sikap Gusdur, bahkan dengan wakilnya sendiri Megawati yang dari partai pemenang pemilu juga kurang lancer hubungannya.  Yang lebih kecewa lagi adalah golongan-golongan islam yang berharap Gusdur bisa mewakili lebih dalam sebagai kaum Islam (santri) malah cenderung sekuler, dan berupaya membatasi peran agama dalam negara, kecuali hal-hal yang sudah disepakati sebelumnya.   Ini kemudian poros tenga dengan pimpinan Amien Rais kembali melakukan manuver dengan membentuk pansus, kemudian meminta pertanggujawaban Gusdur, yang berakhir dengan dilengserkan sebagai presiden dan kemudian Megawati sebagai wakil naik menjadi Presiden dan Hamzah Haz (Partai Persatuan Pembangunan) salah satu partai islam hasil fusi di jaman orde baru didapuk sebagai wakil presiden, pimpinan pada masa ini lumayan stabil hingga pemilu berikutnya 2004.

Pemilu 2004 juga mengejutkan karena Golkar menjadi pemenang pemilu, dan PDI Perjuanga sebagai Runner Up, padahal dalam rentang sama partai golkar terpecah menjadi beberapa partai sebut saja Hanura Oleh Wiranto, Partai Demokrat oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan dalam pemilihan presiden yan diputuskan dipilih langsung oleh rakyat, pasangan SBY dan Yusuf Kalla memenangi Pilpres, mengalahkan Megawati --K.H Hasyim Muzadi (NU). Kondisi ini kemudian menjadi paradoks karena partai pemenang malah gagal mendudukan calonnya sebagai presiden dan wakil Presiden, demikian berlanjut pada Pemilu 2009 Partai Demokrat meloncat menjadi pemenang pemilu dan mendudukan kembali SBY-Budiono (mantan Gubernur BI) menjadi presiden dan wapres, mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo (kader Golkar, bekas Mantu Soeharto, Pendiri Partai Gerindra). Dalam pertarungan Pilpres 2009 warna pertarungan antara kelompok nasionalis dan agama tidak nampak, karena calon yang popular saat itu SBY adalah dari kalangan militer yang dianggap diterima oleh kalangan  nasionalis dan agama, di tambah dengan wakil dari kalanga birokrat/aristocrat tidak banyak mengganggu banyak pihak, sedang lawan kuatnya Megawati dan Prabowo punya basis dukungan riil tetapi tidak mencukupi, ditambah isu pemimpin perempuan (yang tentu saja tidak semua kalangan islam setuju) dan prabowo punya catatan hitam dalam sejarah reformasi 1998 dituduh sebagai dalang penculikan, dan diberhentikan dengan hormat sebagai jenderal aktif.

SBY memimpin selama dua periode (10 tahun) tanpa gejolak yang berarti, mungkin ini lebih disebabkan gaya kepemimpinan yang akomodatif terhadap kalangan militer, nasionalis dan agama bahkan kalangan aktifis kiri yang pernah bermusuhan dengannya juga di akomodasi baik untuk pemerintahan maupun partai demokrat bentukanya.  Pemilu 2014 kemudian menghasilkan pemenangan  PDI Perjuangan (walau tidak mutlak) dan diikuti partai golkar, beserta pecahannya Partai gerindra, Nasdem dan Hanura, Partai-partai dengan basis utama Islam tetap dipimpin oleh PPP, PKB, PAN dan PKS dan tetap menjadi partai tengah yang justru kadang sangat menguntungkan mereka. Dalam pilpres 2014 diikuti dua pasangan yakni Prabowo -- Hatta (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) dan Jokowi -- Jusuf Kalla (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB dan Hanura) kedua kelompok yang nampak dari sisi ideology memiliki tujuan yang berbeda, kecuali dalam level pragmatis mereka juga gampang berubah-ubah.

Dalam satu decade terakhir partai-partai islam di Indonesia juga mulai mewacanakan menjadi partai terbuka, dimana basis islam tetap menjadi asas utama, tetapi juga membuka diri untuk golongan non islam masuk dalam jajaran m kepengurusan mereka, hal ini mengingat karena sebagai negara kepulauan Indonesia penduduk paling banyak terdapat di pulau Sumatera, Jawa  dimana penduduknya mayoritas adalah muslim (walau didalam juga terdapat kantong-kantong non muslim seperti batak, beberapa daerah jawa tengah), dan sebagian ke daerah timur yang banyak dihuni oleh non muslim atau setidak nya campuran (heteregon) seperti Kalimantan, bali, Sulawesi, nusa tenggara, Maluku dan Papua dimana banyak penduduknya memeluk Kristen/Katolik, Hindu, Animisme dan agama lokal setempat.  Kondisi demografi yang demikian seperti tidak memungkinkan  sebuah partai berbasis agama tertentu akan memenangi pemilu (kecuali kemenangan tingkat lokal), PKB cukup terbuka untuk kalangan non muslim, begitupun PAN beberapa tokohnya adalah Non Muslim, tetapi untuk PPP dan PKS nampaknya tidak siap, karena kemungkinan mengingkari yang menjadi asas utama partai yakni syariat Islam. Kalangan non muslim sendiri banyak masuk kepartai-partai nasionalis utamanya PDI Perjuangan (fusi), kemudian Demokrat, Gerindra, Nasdem dan Hanura.

Pembahasan sedikit ini memberi pengantar sedikit mengenai konflik dalam pilpres yang mulai menyeret-nyeret isu agama dalam kancah politik, karena kelompok partai agama terus membuat kampanye dengan sentiment agama, terutama kelompok dari calon presiden prabowo yang partai pendukungnya mendorong sentiment agama (Islam) secara berlebihan, bahkan isu Ras juga sempet muncul dengan tuduhan Jokowi adalah keturunan china dan sebagainya. Agenda pilpres menjadi sarana konsolidasi jaringan dengan sentiment agama, menjadi serba canggung, kelompok non muslim yang di capres prabowo merasa canggung dan kelompok Islam yang berada di capres jokowi merasa kikuk, karena memang golongan non muslim banyak dikelompok mereka. Proses produksi isu agama dan ras dalam pilpres 2014 cukup massif, tetapi tidak sampai merembes  kemana-mana karena figure capres Prabowo dan Jokowi punya kelemahan dan kelebihan masing --masing, jika capres prabowo memang relatif pemilih paham, untuk Jokowi tidak semua orang paham, Jokowi ini figure baru dalam kancah nasional berangkat dari walikota Solo, Gubernur Jakarta (bersama Ahok) dan sebagai kader PDI Perjuangan di calonkan sebagai capres karena memang low profil, rekam jejak memimpin yang bagus, dari kalangan biasa saja, bukan elit nasional.  Karena sejak negeri ini merdeka memang percaturan pimpinan politik hanya didominasi dari kalangan elit saja, bahkaa sejak reformasi pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 pemain utama politik yang itu-itu saja, dan pasangan Jokowi-JK mengambil ruang alternative itu.  Jokowi dipandang tidak mempunya beban sejarah, bisa diterima semua kalangan (agama, abangan) dan tidak pernah ada resistensi asing terhadapnya seperti yang dialami prabowo yang sempat tidak bisa masuk ke Amerika.  Kemenangan Jokowi sebenarnya mengukuhkan kemenangan demokrasi dalam alam dunia liberalisme, karena dalam demokrasi semua punya kesempatan sama terutama dalam pemilu pilpres langsung, bahwa ada faktor kekuatan ekonomi yang mempengaruhi itu biasa saja, dalam demokrasi langsung atau tidak langsung  faktor intervensi kekuasaan ekonomi (modal) akan selalu ada dan bahkan kadang sangat menentukan dukungan finansial tersebut.

Pasca pilpres isu-isu yang berkaitan agama dan ras tetap di produksi,untuk kepentingan apapun akan mengkait-kaitkan dengan isu agama, sebab --sebab trendnya ini hampir bersamaan dengan  trend munculnya gerakan negara Islam Irak dan Syiria (sering disebut ISIS). Di dalam negeri nampaknya mempunyai kegelisahan yang sama, apalagi kemenangan calon PDI Perjuangan dianggap kemenangan non muslim, mengingat banyak kekuatan politik non muslim yang condong kearah Jokowi. Serangan politik berbasis isu agama memang meresahkan karena isu tersebut sudah dirembeskan ke tengah masyarakat, masyarakat jadi mudah terprovokasi dan terpetak-petak, sementara yang berbeda agama dan ras terkungkung dalam keresahan-keresahan social.  Menguatnya Isu agama dalam politik terkristalisasi dalam pemilihan gubernur Jakarta antara Ahok-Jarot Vs Anis-Sandi yang head to head bertarung, maka Ahok yang non muslim dan ras China dijadikan alat serang yang lebih massif, ditambah dengan aksi pidato kepleset yang dianggap menghina Islam, yang memunculkan solidaritas islam Indonesia hingga pada level nasional, dengan berbagai agenda aksi-aksi lapangan umat islam. Konflik pilkada Jakarta berakhir dengan kekalahan Ahok, yang kemudian dinyatakan bersalah melakukan ujaran kebencian dan divonis 2 (dua) tahun.  Apa selesai, jauh panggang dari api, isu agama dan ras sudah merembes dimasyarakat, menghancurkan solidaritas sosial,  dan menebar bibit kebencian antar kelompok masyarakat yang berbeda. Letak bahayanya adalah bahwa di Indonesia tidak ada satu paham baik agama maupun politik akan dominan, satu golongan agamapun (jenis apapun agamanya) secara ajaran kadang memiliki titik tekan yang berbeda dan disitu letak kesukaran untuk menyatukan.  Jika keresahan social  menjadi konflik, maka konflik paling membingungkan dan tidak jelas ujung pangkalnya karena semua berbeda-beda, dan dari sini bisa mulai muncul konflik atau malah masing-masing menahan diri, dan menandakan  konsesus sosial/politik negara  memang belum selesai di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun