Mohon tunggu...
grace purwo nugroho
grace purwo nugroho Mohon Tunggu... advokat -

penggiat sosial dan politik. Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nilai yang Membentuk Indonesia

12 Mei 2019   19:01 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:18 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini sungguh sesuatu yang sulit, karena kompromi justru melahirkan konflik, kelompok komunis dituduh sering melakukan aksi sepihak di lapangan untuk menuntut nasionalisasi (merebut) asset asing, kelompok nasionalis sibuk dengan soal-soal pemerintahan dan jabatan, dan menjadi lamban, dan tak kalah geram adalah kelompok agama juga mulai berpikiran lain soal negara Indonesia, dan berujung pembubaran Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (pro barat) pada yahun 1960 dituduh bekerja sama dalam pemberontaka PRRI di sumatera dengan dukungan Amerika. Praktis sejak kemerdekaan 1945 hingga 1965, atau kurang lebih 20 tahun Indonesia Merdeka Pancasila tidak mengalami perkembangan secara berarti, baik dalam kerangka kebijakan maupun internal para pendiri negara, bahkan soekarno menerapkan model demokrasi terpimpin pasca kembali ke UUD 45  dengan  dekrit presiden pada tahun 1957, dan mendapat dukungan militer dan masyarakat.  

Pemaknaan Pancasila dan UUD 45 dalam masa yang disebut orde lama (1945-1965), kurang mendapat perhatian seperti pada awal pembentukan dan perumusannya, tetapi malah perdebatan  antara golongan agama, nasionalis dan komunis yang makin menjadi-jadi, belum  lagi gangguan belanda pasca proklamasi dengan berbagai jenis perjanjian yang merugikan bangsa Indonesia (dalih menguasai kembali). Sehingga Presiden Soekarno mengambil peran tunggal dengan model demokrasi terpimpin ala Soekarno, dengan menerapkan sentralisme kekuasaaan pada individunya sendiri, tanpa memperhatikan tatanan konstitusi (UUD 1945), karena periode 20 tahun merdeka baru ada 1 kali pemilu yaitu tahun 1955, dan demokrasi terpimpin yang dimaksud bukan merupakan kolektifitas ide bersama dari perwakilan rakyat, tapi menyebut diri sebagai pemimpin besar revolusi.  Ini adalah pangkal ambiguitas Soekarno, karena menggagas ide revolusi kebangsaan untuk melawan tirani liberalisme dan kapitalisme global, tetapi tidak semua golongan mendukung ide revolusi tersebut, baik kalangan agama, nasionalis, militer bahkan kalangan islam menganggap  soekarno terlalu memberi angin terhadap kelompok komunis , dan memang yang menjadi korban adalah  PKI sebagai partai yang punya gagasan revolusi . Dan lebih celakanya bahwa saat itu akhir tahun 50 dan awal 60 an adalah sejarah perang dingin dimulai pasca gencatan senajata perang korea (terbelah korea selatan dan utara, seperti Jerman Timur --Jerman Barat), Blok Barat (negara imperialisme) dipimpin oleh Amerika dan blok timur dipimpin oleh Uni Soviet (komunisme).  Semua kekuatan dua blok tersebut bertarung secara tidak langsung dinegara-negara yang dianggap strategis, dengan menggunakan isu apapun, agama, nasionalisme dan kepentingan ekonomi, dan Indonesia dianggap daerah penting untuk dikuasai.

Tidak ada pemaknaan yang relevan yang dapat dilaksanakan pemerintah orde lama terhadap Pancasila dan UUD 45, sebagian memaklumi karena sebagai negara yang baru berdiri konsolidasi pemerintahan tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.  Pancasila sebagai filsafat dasar hidup berbangsa (rumusan awal), kemungkinan dimanfaatkan dalam kondisi-kondisi kritis, dan Soekarno sebagai pencetus dasar Pancasila juga mulai juga mengevolusi gagasan dengan aneka hal yang baru, mengkampanyekan kembali nasakom sebagai landasan hidup bersama, dan pencapaian kemandirian bangsa melalui revolusi yang didengungkan.  Dalam sejarah revolusi, revolusi adalah ide yang ditangkap oleh rakyat menjadi pergerakan-pergerakan sambung menyambung, dan pemimpin revolusi yang menuntaskannya dengan legitimasi rakyat.

Dasar Negara Dalam Perspektif Orde baru

Masa orde baru juga menggunakan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar pijakan untuk memerintah, tentunya dengan tafsir orde baru yang pro terhadap liberalisme ekonomi dan sumber daya alam.  Bisa dikatakan orde baru adalah kemenangan blok barat, komunisme di Indonesia di bubarkan dan dilokalisir (bahasa sarkasnya dibasmi). Kelompok agama juga mendapat tekanan yang luar biasa karena ita ketahui sebelumnya untuk berhadapan dengan barat, kaum agama menentang sekularisasi agama dan kaum komunis menentang penghisapan ekonomi, keduanya sama-sama menentang blok barat mendominasi, walau ketika blok kapitalisme tidak ada maka kelompok agama dan komunis sering berkonflik.

Perjalanan orde baru  sudah banyak yang mengetahui, dan orde baru ditopang oleh dua kekuatan, secara politik oleh golongan karya (bentukan militer) dan oleh kekuatan militer itu sendiri melakukan control pada setiap gerak dan aktifitas politik manapun di Indonesia.  Indonesia ditengah kemunduran politik dan ekonomi, pada masa orde baru mendapat dukungan dari negara-negara barat dibawah koordinasi amerika, melakukan komitmen ekonomi dengan konsesi-konsesi  sumber daya alam, merubah kebijakan yang lebih terbuka terhadap kekuatan ekonomi liberal  untuk akses pertambangan, kehutanan, dan kelautan secara massif.  Untuk menjaga kestabilan politik, karena bagaimanapun tiga kekuatan nyata dalam masyarakata yakni kelompok agama, nasionalis dan sisa komunisme harus dikendalikan, dan pengendalian yang efektif adalah de lebih ngan kekuatan bersenjata, dulu ABRI sekarang TNI dan hasilnya lumayan efektif karena kurang lebih 32 (tiga puluh dua) tahun berhasil mengkontrol rakyat secara politik dan ekonomi.

Tetapi yang menarik, bahwa dalam masa orde baru pancasila menjadi jargon yang luar biasa massif, segala urusan negeri harus mensyaratkan dokumen-dokumen yang berisi keterangan sudah melalui kursus penghayatan pancasila yang lebih dikenal dengan program P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dibentuk dengan ketetapan MPR tahun 1978, yang kemudian sila-sila dalam pancasila di definisikan lagi sebagai panduan etika hidup antara sesama warga negara/penduduk, bukan sebagai roh secara menyeluruh dalam mengambil kebijakan negara,sikap terhadap hubungan antar negara, demokrai dan keadilan social dalam bidang ekonomi. Dalam sila pertama malah ditekankan bagaimana bersikap sebagai penganut agama apapun.  Definisi ulang ini sangat berlainan dengan pertama kali pancasila dicetuskan sebagai falsafah bernegara, jika kita lihat pancasila pada periode orde baru adalah seperti panduan budi pekerti warga negara.    sehingga memang tepat jika dalam praktek bernegara orde baru tidak ada urusan soal keadilan social, hak asasi manusia, demokrasi  dll,  yang tidak sesuai dengan kehendak kekuasaan adalah bertentangan dengan pancasila, dan untuk itu bisa berhadapan dengan hukum atau kekuatan militer.   Kontrol terhadap cara bersikap dan bertindak para penduduk mendapat pengawasan yang ketat dari aparatur militer dari pusat hingga tingkat desa, yang biasa disebut babinsa (bintara pembina desa) dari komando militer setempat.  Militer membangun kerja sama sistematis dengan mendukung partai penguasa yakni Golongan Karya (yang saat ini masih ada), yang menjadikan sebagai partai pemenang tunggal, mirip-mirip juga dengan Partai Komunis China (PKC) secara hirarkis menempatkan organ organisasinya (Parpol) bersama Tentara Merah (sebutan untuk militer china) disetiap jenjang negara.

Golongan Islam dan Nasionalis dalam masa orde dikebiri sedemikian rupa, dalam lingkup partai politik Islam, Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah Islamiyah di gabung (dengan tekanan) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dikalangan nasionalis dibentuk fusi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan penggabungan Partai Nasionalis Indonesia  (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pejuang Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Kedua kelompok mendapat pukulan politik yang keras, dari semula partai nasionalis mendapat dukungan yang cukup baik selama ini, menjadi hancur, begitupun partai Islam yang mempunyai pendukung loyalis yang fanatik sempat eksis di pemilu 1977, kemudiaan secara perlahan-lahan berkurang,  Apalagi PDI yang mengalami alienasi politik yang paling menderita, karena klaim sebagai partai nasionalis diambil alih secara paksa oleh golongan karya (Golkar) sebagai partai pemerintah.

Orde baru walaupun melakukan redefinisi ulang terhadap Pancasila dan UUD 45, dapat menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 sebelum akhirnya jatuh pada tahun 1998, dengan mundurnya Presiden Soeharto.  Demokrasi secara formal memang dilaksanakan dengan pemilu, tetapi pemasungan terhadap peserta pemilu dibawah control rezim, menjadikan kualitas demokrasi tidak bisa jadikan sandaran kehendak rakyat.  Demokrasi sebagai produk pencerahan eropa dan dianggap sebagai jalan terbaik mencapai kehendak orang banyak, ternyata dapat dimanipulasi dengan control sebuah rezim secara sistematis, mungkin ini bisa juga disebut paradoks demokrasi liberal.

Kemudian apakah dengan kondisi demikian kelompok agama  menjadi diam dan kelompok nasional hilang kekuatan, bisa jadi memang secara perlahan mereka tidak mempunyai daya, apalagi orde baru Menekan  kelompok nasionalis dan agama dengan  kekuatan social dan politik. Secara ekonomi dan sosial orde baru menghalusinasi rakyat dengan kecukupan pangan dan bentuk kenyamanan social lain, mis. Stabilitas keamanan.  Kelompok agama (Islam) adalah kelompok yang mengalami tekanan luar biasa, dalam wilayah politik asas yang dianut harus tunggal yakni Pancasila versi Orba, dan Islam menjadi lebih tersekularisasi di masa itu. Sehingga kemudian kelompok NU  dan muhamadiyah sebagai ormas besar Islam harus rela untuk teralieneasi dan nyaris tidak terlibat dalam rezim, kecuali orang perorang. Kelompok islam lain juga berupaya melakukan perlawanan secara fisik, peristiwa penangkapan golongan islam garis keras pada peristiwa tanjung priok dan Talang Sari Lampung adalah satu bentuk resistensi umat islam terhadap orde baru.  Beberapa kelompok islam yang dikategorikan sebagai fundamentalis, melakukan konsolidasi bawah tanah, dan beberapa kali melakukan gerakan teror di beberapa tempat seperti pembajakan Pesawat   Woyla dan peledakan stupa Borobudur, semua tindakan terjadi karena suara-suara mereka mekanisme demokrasi formal dan normal tidak tersalurkan dengan baik. 

Bagaimana dengan kalangan nasionalis dalam masa orde baru, tidak banyak juga gerakan yang dilakukan oleh kalangan yang tergabung kelompok nasional, selain melakukan pembinaan terhadap kaum pelajar (mahasiswa) untuk kritis terhadap pembangunan ala orde baru yang dipimpin Soeharto yang dinilai sangat pro asing, dan memberikan kelonggaran-kelonggaran terhadap masuknya modal ke Indonesia.  Kalangan nasionl banyak masuk kedalam kampus-kampus, memunculkan kelompok-kelompok kritis sekuler, peristiwa demonstransi tahun 1974 dan 1978 diawali dari demo-demo di kampus, dan juga peristiwa jatuhnya orde baru pada tahun 1998 adalah diawali dengan gerakan-gerakan protes aktivis mahasiwa kampus, tentunya secara diam-diam kelompok-kelompok agama yang kritis dikalangan NU dan muhammadiyah juga mendukung gerakan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun